بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
218
Kesempurnaan “Mi’raj”
(Kenaikan Ruhani) Nabi Besar Muhammad
Saw. dan Hakikat “Pingsannya” Nabi Musa a.s. Ketika Menyaksikan Tajalli Ilahi kepada “Gunung”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai peristiwa Mi’raj (Kenaikan Ruhani) Nabi Besar Muhammad Saw, dalam kaitannya dengan “sungai khamar” serta “kemabukan
ruhani” yang dialami para penempuh suluk (jalan ruhani) -- sebagaimana telah dikemukakan berkenaan
dengan dua Sufi terkenal: Abu Yazid al-Bisthami dan Mansyur “Al-Hallaj” sehingga dalam keadaan “mabuk ruhani” mengucapkan kata-kata (ucapan-ucapan) yang sukar
difahami oleh orang-orang yang belum mencapai tingkatan fana
atau keadaan “dhāllan”
atau “dhāllin” atau “manunggal” seperti itu.
Dalam Al-Quran Allah Swt. mengemukakan
dua macam fana, yakni (1) yang berkaitan dengan Tuhan (Allah Swt.) yakni Haququllāh (pemenuhan hak-hak Allah
Swt.) dan (2) yang berkaitan dengan umat manusia yakni haququl-‘Ibād
(pemenuhan hak-hak sesama hamba Allah Swt.), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ﴿﴾ وَ النَّجۡمِ اِذَا ہَوٰی
ۙ﴿﴾ مَا ضَلَّ صَاحِبُکُمۡ وَ مَا غَوٰی ۚ﴿﴾ وَ مَا یَنۡطِقُ عَنِ
الۡہَوٰی ؕ﴿﴾
اِنۡ ہُوَ اِلَّا
وَحۡیٌ یُّوۡحٰی ۙ﴿﴾
عَلَّمَہٗ شَدِیۡدُ الۡقُوٰی ۙ﴿﴾ ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ فَاسۡتَوٰی ۙ﴿﴾ وَ ہُوَ
بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی ؕ﴿﴾ ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾ فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی
ۚ﴿﴾
فَاَوۡحٰۤی اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ
اَوۡحٰی ﴿ؕ﴾ مَا
کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا رَاٰی
﴿﴾
اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾ وَ
لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً اُخۡرٰی
﴿ۙ﴾ عِنۡدَ
سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾ عِنۡدَہَا
جَنَّۃُ الۡمَاۡوٰی
﴿ؕ﴾ اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی
﴿ۙ﴾ مَا زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی ﴿﴾ لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ الۡکُبۡرٰی ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah,
Maha Penyayang. Demi bintang apabila jatuh. Sahabat
kamu tidak sesat dan tidak pula keliru.
Dan ia
sekali-kali tidak berkata-kata menuruti keinginannya. Perkataannya
itu tidak lain me-lainkan wahyu yang
diwahyukan. Tuhan Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya, Pemilik Kekuatan, lalu Dia
bersemayam di atas
‘Arasy, dan Dia mewahyukan
Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah,
berada di ufuk tertinggi. (An-Najm
[53]:1-8).
Bermacam Makna an-Najm
An-najm berarti bintang atau tumbuhan yang
tidak berbatang. Tetapi bila dikenakan sebagai kata pengganti nama kata itu
berarti “Bintang Tujuh “ (Bintang
Kartika atau Pleiades). Kata itu dianggap juga oleh beberapa ulama sebagai
mengandung arti pewahyuan Al-Quran yang diwahyukan secara
berangsur-angsur.
Oleh beberapa sumber lainnya
kata an-Najm
dianggap mengisyaratkan kepada Nabi Besar Muhammad saw. sendiri, karena dalam QS.33:46-47
beliau saw. disebut sebagai sirājan- munāran
(bintang yang becahaya cemerlang). Kata jamaknya an-nujum, berarti juga
para kepala kaum atau kepala negara-negara kecil atau jajahan atau kerajaan-kerajaan kecil (Kasysyaf,
Taj-ul ’Arus & Ghara’ib-al-Quran).
Mengingat akan arti yang berbeda-beda maka kata an-najm dalam
ayat ini dapat diterangkan:
(1) Menurut sebuah
hadits yang masyhur, sehubungan dengan diwahyukan-Nya Surah Al-Jumu’ah ayat 3-4, Nabi Besar Muhammad saw. pernah mengatakan: “Manakala kegelapan ruhani meliputi seluruh
permukaan bumi dan tidak ada yang tinggal dari Islam kecuali namanya, dan tidak
ada dari Al-Quran kecuali hurufnya dan iman terbang ke Bintang Tsuraya, maka
seorang laki-laki dari keturunan Parsi akan membawanya kembali ke bumi” (Bukhari).
(2) Kata an-najm dalam
arti bintang dapat berarti bahwa Al-Quran memberi kesaksian
atas kebenarannya sendiri,
sebagaimana matahari memberikan kesaksian atas keberadaan dirinya sendiri sebagai sumber cahaya yang sangat
cemerlang (QS.33:46-48).
(3) Kata an-najm dalam arti ”tumbuhan
yang tidak berbatang” mengandung makna bahwa Pohon Islam yang masih lemah, kini seperti akan tumbang oleh angin
perlawanan kuat lagi tidak bersahabat yang bertiup kencang dan sengit ke
arahnya, tidak lama lagi akan bangkit dan berkembang menjadi pohon megah, dan di bawah naungannya
yang sejuk, bangsa-bangsa besar akan berteduh (QS.14:25-26; QS.48:30).
(4) Karena orang-orang
Arab sudah biasa menetapkan arah
dan tujuan serta dibimbing dalam perjalanan mereka pada malam
hari di padang pasir Arabia oleh peredaran bintang-bintang (QS.16:17), demikianlah mereka sekarang secara ruhani akan dibimbing ke tujuan ruhani mereka oleh bintang yang paling cemerlang (QS.33:46-48) dan “cahaya
di atas cahaya” – QS.24:36) yakni Nabi Besar Muhammad saw..
(5) Ayat ini dapat juga
mengandung sebuah nubuatan tentang
jatuhnya negeri Arab yang sudah bobrok, yang digambarkan dalam beberapa Surah Al-Quran sebagai “bintang-bintang berjatuhan” (QS.77:9;
QS.81:1-15; QS.82:1-6). Al-Quran suatu nubuatan
yang lebih jelas lagi diterangkan dalam QS.54:2. tentang “terbelahnya bulan.”
Kesempurnaan Mi’raj (Kenaikan Ruhani) Nabi Besar Muhammad saw.
Makna ayat مَا ضَلَّ
صَاحِبُکُمۡ وَ مَا غَوٰ -- “Sahabat kamu tidak
sesat dan tidak
pula keliru” , yaitu bahwa cita-cita
dan asas-asas yang dikemukakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. tidak
salah lagi pula beliau sekali-kali tidak menyimpang dari asas-asas itu (yakni beliau saw. juga tidak tersesat).
Dengan demikian mengingat cita-cita
luhur serta mulia Nabi Besar Muhammad saw.,
dan mengingat pula cara beliau saw.
menjalani hidup sesuai dengan cita-cita
itu, beliau saw. adalah penunjuk-jalan yang terjamin dan aman.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman وَ مَا یَنۡطِقُ عَنِ الۡہَوٰی – “Dan ia sekali-kali tidak berkata-kata menuruti
keinginannya.” Keterangan itu lebih diperkuat lagi dalam beberapa ayat-ayat
berikutnya.
Ayat اِنۡ ہُوَ
اِلَّا وَحۡیٌ یُّوۡحٰی -- “Perkataannya itu
tidak lain me-lainkan wahyu yang
diwahyukan.” membicarakan sumber
asal wahyu Nabi Besar Muhammad saw. . yang adalah dari Allah Swt.
(QS.26:193-198), maka dua ayat sebelumnya mengisyaratkan kepada tuduhan berdasarkan khayalan
kosong orang yang berotak miring dan kepada alam pikiran yang timbul dari nafsu pribadinya dan dorongan-dorongan ruh jahat, yang menduduh beliau saw.
sebagai orang sesat dan keliru
yang mengaku-aku mendapat wahyu Ilahi.
Namun tuduhan dusta tersebut dibantah dengan
ayat selanjutnya عَلَّمَہٗ شَدِیۡدُ الۡقُوٰی -- “Tuhan Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya,” Al-Quran adalah wahyu yang gagah perkasa, yang di hadapannya semua Kitab Suci terdahulu pudar artinya. ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ فَاسۡتَوٰی ۙ – “Pemilik
Kekuatan, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arasy,” mirrah berarti: kekuatan karya atau
kecerdasan, pertimbangan sehat, kete-guhan (Aqrab-ul-Mawarib). Dzū
mirrah dapat juga berarti “orang
yang kekuatannya nampak kentara dengan lestari.”
Ungkapan istawā
‘alā asy-syai-i dalam ayat فَاسۡتَوٰی ۙ -- “lalu Dia bersemayam di atas ‘Arasy,” berarti bahwa ia memperoleh atau memiliki hak penguasaan atau
pengaruh penuh atas barang itu. Jika
diterapkan kepada Nabi Besar Muhammad
saw., ungkapan itu akan berarti bahwa kekuatan-kekuatan
jasmani dan intelek beliau saw. telah
mencapai kekuatan dan kematangan sepenuh-penuhnya.
Makna ‘Ufuq Tertinggi & Makna “Terbakarnya
Sayap” Malaikat Jibril a.s.
Mengenai kesempurnaan
pribadi Nabi Besar Muhammad saw.
tersebut lebih lanjut Allah Swt. menjelaskan وَ ہُوَ
بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی -- “dan
Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia,
Rasulullah, berada di ufuk tertinggi,” yakni Nabi
Besar Muhammad saw. telah
mencapai batas tertinggi dalam mi’raj atau kenaikan ruhani beliau saw.,
ketika Allah Swt. menampakkan “Wujud-Nya”
(Tajalli Ilahiyyah) kepada beliau saw. dengan kebenaran dan keagungan
yang paling sempurna, yang mungkin dapat disaksikan
oleh manusia.
Atau, ayat
ini dapat berarti bahwa cahaya Islam
ditempatkan pada suatu tempat (‘ufuq) yang amat tinggi dan dari tempat itu
dapat menyinari seluruh dunia. Kata
pengganti huwa dalam ayat وَ ہُوَ
بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی -- “dan
Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia,
Rasulullah, berada di ufuk tertinggi,” dapat menunjuk kepada Allah Swt. dan kepada Nabi
Besar Muhammad saw... Lihat juga ayat 10.
‘Ufuq dalam bahasa Indonesia artinya “cakrawala” atau “garis pertemuan langit dan bumi”,
yang dalam segi ruhani mengisyaratkan
kepada batas tertinggi berbagai kemampuan manusia yang dianugerahkan
Allah Swt. guna menjangkau “langit ruhani”
atau “alam Ketuhanan”.
Sehubungan dengan makna
‘ufuq tersebut dalam peristiwa mi’raj
Nabi Besar Muhammad saw. digambarkan bahwa Nabi Adam a.s. berada pada tingkatan langit yang pertama, lalu Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. dan Nabi Yahya
a.s. pada tingkatan langit kedua,
kemudian Nabi Musa a.s. pada tingkatan langit
kelima, dan Nabi Ibrahim a.s. pada tingkatan langit keenam -- dalam
riwayat lain pada tingkatan langit
ketujuh -- sedangkan Nabi Besar
Muhammad saw. diceritakan terus “naik” (mi’raj) ke tingkatan-tingkatan selanjutnya yang lebih tinggi lagi, yang bahkan diceritakan malaikat Jibril a.s.
pun tidak mampu lagi mendampingi beliau saw., dengan alasan
bahwa jika ia memaksakan diri naik (mi’raj) ke tingkatan “langit Ketuhanan” yang lebih tinggi
lagi bersama dengan Nabi Besar Muhammad saw. maka seluruh “sayapnya” (QS.35:2) akan “terbakar” oleh Cahaya
Tajalliyat Ilahi yang tidak sanggup
dihadapinya.
Makna “Pingsannya” Nabi Musa a.s.
Mengenai makna “seluruh
sayap Malaikat Jibril a.s. akan terbakar” tersebut dapat difahami mengenai “pingsannya”
Nabi Musa a.s. ketika menyaksikan Tajalliyat
Ilahi (penampakkan kebesaran Tuhan)
kepada sebuah gunung dalam “pengalaman ruhani” beliau di gunung Thur,
firman-Nya:
وَ وٰعَدۡنَا مُوۡسٰی
ثَلٰثِیۡنَ لَیۡلَۃً وَّ اَتۡمَمۡنٰہَا
بِعَشۡرٍ فَتَمَّ مِیۡقَاتُ رَبِّہٖۤ
اَرۡبَعِیۡنَ لَیۡلَۃً ۚ وَ قَالَ
مُوۡسٰی لِاَخِیۡہِ ہٰرُوۡنَ اخۡلُفۡنِیۡ
فِیۡ قَوۡمِیۡ وَ اَصۡلِحۡ وَ لَا تَتَّبِعۡ سَبِیۡلَ
الۡمُفۡسِدِیۡنَ ﴿﴾ وَ لَمَّا جَآءَ مُوۡسٰی
لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ اَنۡظُرۡ
اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ
وَ لٰکِنِ انۡظُرۡ اِلَی
الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا
تَجَلّٰی رَبُّہٗ لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا ۚ
فَلَمَّاۤ اَفَاقَ قَالَ سُبۡحٰنَکَ
تُبۡتُ اِلَیۡکَ وَ اَنَا
اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan Kami
menjanjikan kepada Musa tiga puluh malam dan Kami menyempurnakannya dengan sepuluh, maka sempurnalah waktu yang dijanjikan Rabb-nya
(Tuhan-nya) empat puluh malam. Dan
Musa berkata kepada Harun, saudaranya: “Wakililah
aku di kalangan kaumku, perbaikilah
mereka dan janganlah engkau mengikuti
jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Dan tatkala Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan dan Rabb-Nya (Tuhan-nya) bercakap-cakap
dengannya, ia berkata: “Ya Rabb-ku
(Tuhan-ku), perlihatkanlah kepadaku
supaya aku dapat memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau tidak akan pernah dapat melihat-Ku tetapi pandanglah
gunung itu, lalu jika ia tetap ada
pada tempat-nya maka engkau pasti akan dapat melihat-Ku.” فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا -- maka tatkala Rabb-nya
(Tuhan-nya) menjelmakan
keagungan-Nya pada gunung itu Dia
menjadikannya hancur lebur, dan Musa
pun jatuh pingsan. Lalu tatkala ia sadar kembali ia berkata: سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ اِلَیۡکَ
وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ -- “Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.” (Al-A’rā
[7]:143-144).
Ayat 144 memberikan penjelasan mengenai salah satu
masalah keagamaan yang sangat penting, yaitu mungkinkah bagi seseorang menyaksikan Allah Swt. dengan mata jasmaninya – seperti halnya tuntutan Bani Israil kepada Nabi Musa
a.s. (QS.2:56; QS.4:154)?
Ayat itu sedikit pun tidak
mendukung pendapat bahwa Allah Swt. dapat disaksikan oleh mata jasmani (QS.6:104). Jangankan melihat Allah Swt. dengan
mata jasmani, bahkan manusia tidak dapat pula melihat malaikat-malaikat, kita hanya dapat melihat penjelmaan (tajalli) mereka belaka.
Begitu pula hanya tajalli
(penjelmaan keagungan) Allah Swt. sajalah yang dapat kita saksikan, tetapi Wujud
Allah Swt. sendiri tidak. Oleh karena itu tidak
dapat dimengerti bahwa seorang nabi yang
besar seperti Nabi Musa a.s. dengan
segala makrifat (pengetahuan) mengenai
Sifat-sifat Allah Swt. akan mempunyai keinginan mengenai hal-hal yang mustahil.
Tajalli
Sempurna Allah Swt. kepada “Nabi
yang Seperti Musa” yakni Nabi Besar
Muhammad Saw.
Nabi Musa a.s. mengetahui bahwa beliau hanyalah dapat menyaksikan Tajalli (penampakkan
kekuasaan) Allah Swt , dan bukan menyaksikan Wujud-Nya
Sendiri. Akan tetapi beliau sebelumnya sudah melihat suatu Tajalli Allah Swt. dalam bentuk “api” dalam perjalanan beliau dari Midian ke Mesir (QS.28:30).
Jadi apa gerangan maksud Musa a.s. dengan perkataan: رَبِّ اَرِنِیۡۤ اَنۡظُرۡ
اِلَیۡکَ -- “Ya
Rabb-ku (Tuhan-ku), tampakkanlah
kepadaku supaya aku dapat melihat Engkau?”
Permohonan itu nampaknya
mengisyaratkan kepada tajalli-sempurna Allah Saw. yang kelak akan menjelma pada diri Nabi Besar
Muhammad saw. beberapa
masa kemudian. Nabi Musa a.s. diberi janji bahwa dari antara saudara-saudara Bani Israil akan muncul
seorang nabi yang di mulutnya Tuhan akan meletakakan Kalam-Nya (Kitab Ulangan
18:18-22; QS.46:11).
Nubuatan ini
berkenaan dengan suatu tajalli lebih besar daripada yang pernah
dilimpahkan (diperagakan) Allah Swt. kepada Nabi Musa a.s.., karena itu
beliau dengan sendirinya sangat berhasrat melihat
macam bagaimana Keagungan dan Kemuliaan Allah Swt. yang akan tampak dalam tajalli
yang dijanjikan kepada Nabi Besar
Muhammad saw. itu. Beliau berharap bahwa Keagungan
dan Kemuliaan itu, ada yang dapat diperlihatkan kepada beliau.
Tetapi Nabi Musa a.s. diberi tahu bahwa Tajalli ini
berada di luar batas kemampuan beliau
untuk menanggungnya, tajalli itu
tidak akan dapat terjelma pada hati
beliau, tetapi Allah Swt. dalam pengalaman ruhani Nabi Musa a.s.
tersebut memilih gunung untuk bertajalli.
Gunung itu berguncang dengan
hebat serta nampak seakan-akan ambruk, dan Nabi Musa a.s. .
karena dicekam oleh pengaruh
guncangan itu beliau rebah tidak
sadarkan diri (pingsan).
Dengan cara demikian Nabi Musa
a.s. dibuat sadar bahwa beliau tidak mencapai taraf yang demikian tingginya
dalam martabat keruhanian yang dapat
membuat beliau boleh menyaksikannya
sendiri tempat (orang) yang Allah Swt.. bertajalli kepadanya sebagaimana dimohonkan
beliau. Hak istimewa yang unik itu disediakan untuk seorang yang lebih besar daripada
beliau, tak lain ialah Mahkota segala
makhluk Ilahi, yaitu Baginda Nabi
Muhammad Besar Muhammad saw..
Mungkin pula permohonan Nabi Musa
a.s. itu karena didesak para pemuka Bani Israil yang menuntut untuk melihat Allah Swt. dengan mata lahir (QS.2:56; QS.4:154). Pengalaman ruhani Nabi Musa a.s. yang
sangat luar biasa itu memberi kesadaran
kepada beliau bahwa permohonan beliau
itu tidak layak. Itulah sebabnya
setelah sadar dari “pingsannya” sengan serta merta beliau berseru: سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ اِلَیۡکَ
وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ -- “Aku bertaubat
kepada Engkau, dan aku orang pertama di antara orang-orang beriman,” yang
berarti beliau telah sadar bahwa
beliau tidak dianugerahi kemampuan
melihat tajalli-sempurna Keagungan Ilahi yang seharusnya akan menjelma
pada hati Nabi Yang dijanjikan itu
dan bahwa beliau (Nabi Musa a.s.) adalah
orang yang pertama-tama beriman kepada keluhuran
kedudukan ruhani yang telah ditakdirkan akan dicapai oleh Nabi Besar
itu.
Kata-kata Penghibur Allah Swt. kepada Nabi Musa
a.s.
Keimanan Nabi Musa a.s. kepada Nabi Besar Muhammad saw. itu telah disinggung juga dalam
QS.46:11 dan QS28:44-45, walau pun dalam kenyataannya pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. adalah sekitar 2000 tahun
kemudian setelah Nabi Musa a.s.,
atau 600 tahun setelah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., yang menyebut
Nabi Besar Muhammad saw. sebagai “Dia
yang datang dalam nama Tuhan” (Matius 23:37-39) atau “Roh Kebenaran” yang datang “membawa seluruh kebenaran” (Yohanes
16:12-13).
Gunung itu
sebenarnya tidak hancur-lebur.
Kata-kata itu telah dipergunakan secara majasi
(kiasan) untuk menyatakan kehebatan gempa
bumi itu. Lihat Keluaran 24:18 dan juga QS.2:64; QS.7:172.
SElanjutnya Allah Swt. berfirman:
قَالَ یٰمُوۡسٰۤی اِنِّی اصۡطَفَیۡتُکَ عَلَی النَّاسِ
بِرِسٰلٰتِیۡ وَ بِکَلَامِیۡ ۫ۖ فَخُذۡ
مَاۤ اٰتَیۡتُکَ وَ کُنۡ مِّنَ
الشّٰکِرِیۡنَ ﴿﴾
Dia
berfirman: “Hai Musa, sesungguhnya Aku telah memilih engkau atas umat manusia
dengan risalah-Ku dan firman-Ku, maka pegang-te-guhlah apa yang telah Aku berikan ke-pada engkau dan jadilah engkau ter-masuk orang-orang yang
bersyukur.” (Al-‘Arāf
[7]:145).
Ayat ini nampaknya ditujukan kepada Nabi Musa a.s.
sebagai kata-kata penghibur sesudah Allah Swt. membuat beliau sadar bahwa beliau tidak dapat mencapai derajat keruhanian yang tinggi
seperti Nabi Besar dari keturunan Nabi Isma’il a.s. . yang
ditakdirkan akan mencapainya, yakni
Nabi Besar Muhammad saw.. Beliau diminta agar jangan mendambakan kemuliaan tinggi yang disediakan untuk “Nabi
itu” tetapi hendaknyalah merasa
puas dengan dan bersyukur atas
peringkat yang telah dianugerahkan Allah
Swt. kepada beliau.
Jadi, peristiwa “pingsannya” Nabi Musa a.s. menjelaskan mengenai makna ucapan
Malaikat Jibril a.s. mengenai akan “terbakarnya” seluruh “sayap” yang dimilikinya jika beliau menaiki “tingkatan langit Ketuhanan” yang melebihi kemampuan beliau untuk “menaikinya”
bersama Nabi Besar Muhammad saw. dalam peristiwa mi’raj.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 19 Maret
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar