بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
214
“Tubuh
Baru” Manusia di Akhirat Merupakan Perwujudan “Kitab Catatan Amal” yang Nyata
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai percakapan antara Allah
Swt. dengan para malaikat
dan iblis dalam kisah monumental “Adam – Malaikat -- Iblis” (QS.2:31-35)t idak perlu diartikan secara
harfiah sebagai sungguh-sungguh telah
terjadi. Seperti dinyatakan di atas, kata qāla kadang-kadang dipakai dalam arti kiasan, untuk mengemukakan hal yang sebenarnya bukan suatu ungkapan lisan, melainkan hanya keadaan
yang sama dengan ungkapan lisan. Maka
ayat ini hanya berarti bahwa para malaikat
itu dengan keadaan mereka
menyiratkan jawaban yang di
sini dikaitkan kepada kata-kata yang
diucapkan mereka, firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ رَبُّکَ لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اِنِّیۡ جَاعِلٌ
فِی الۡاَرۡضِ
خَلِیۡفَۃً ؕ قَالُوۡۤا اَتَجۡعَلُ
فِیۡہَا مَنۡ یُّفۡسِدُ فِیۡہَا وَ یَسۡفِکُ
الدِّمَآءَ ۚ وَ نَحۡنُ
نُسَبِّحُ بِحَمۡدِکَ وَ نُقَدِّسُ لَکَ ؕ قَالَ اِنِّیۡۤ اَعۡلَمُ مَا
لَا تَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika Rabb (Tuhan) engkau berfirman
kepada malaikat-malaikat: “Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi”, mereka
berkata: “Apakah Engkau akan menjadikan
di dalamnya yakni di bumi orang
yang akan mem-buat kerusakan di dalamnya
dan akan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan pujian
Engkau dan kami senantiasa men-sucikan Engkau?” Dia berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.” (Al-Baqarah [2]:31).
Malā’ikah (malaikat-malaikat) yang adalah
jamak dari malak diserap dari malaka, yang berarti: ia
mengendalikan, mengawasi; atau dari alaka, artinya ia me-ngirimkan. Para malaikat disebut
demikian sebab mereka mengendalikan kekuatan-kekuatan alam atau mereka membawa
wahyu Ilahi kepada rasul-rasul Allah dan
pembaharu-pembaharu samawi.
Para
malaikat tidak mengemukakan keberatan
terhadap rencana Ilahi atau mengaku diri mereka lebih unggul daripada Nabi Adam
a.s. Pertanyaan mereka didorong oleh
pengumuman Allah Swt. mengenai rencana-Nya untuk mengangkat seorang khalifah. Wujud khalifah
diperlukan bila tertib harus
ditegakkan dan hukum harus
dilaksanakan.
Keberatan
semu para malaikat menyiratkan bahwa akan ada orang-orang di bumi yang akan
membuat kerusakan dan menumpahkan
darah. Karena manusia dianugerahi kekuatan-kekuatan besar untuk berbuat baik dan jahat para malaikat menyebut segi gelap tabiat manusia, tetapi Allah Swt. mengetahui bahwa manusia dapat mencapai
tingkat akhlak yang sangat tinggi,
sehingga ia dapat menjadi cermin
(bayangan) sifat-sifat Ilahi,
contohnya adalah Adam. Jawaban Allah
SWt. terhadap “keberatan” para malaikat اِنِّیۡۤ اَعۡلَمُ مَا لَا
تَعۡلَمُوۡنَ -- “Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui" menyebutkan segi terang tabiat manusia.
Peranan Besar Kulit
Sebagai Indera
Jadi, kembali kepada firman-Nya mengenai dialog orang-orang kafir dengan anggota tubuhnya:
وَ قَالُوۡا لِجُلُوۡدِہِمۡ لِمَ
شَہِدۡتُّمۡ عَلَیۡنَا ؕ قَالُوۡۤا
اَنۡطَقَنَا اللّٰہُ الَّذِیۡۤ اَنۡطَقَ کُلَّ شَیۡءٍ وَّ ہُوَ
خَلَقَکُمۡ اَوَّلَ مَرَّۃٍ وَّ اِلَیۡہِ تُرۡجَعُوۡنَ ﴿﴾
Dan mereka
berkata kepada kulit mereka: ”Mengapa kamu memberi kesaksian terhadap
kami?” Kulit mereka akan menjawab: ”Allah-lah Yang telah membuat kami berbicara seperti Dia telah membuat berbicara segala sesuatu,
dan Dia-lah Yang pertama kali telah
menciptakan kamu dan kepada Dia-lah
kamu dikembalikan. (Hā Mīm – As-Sajdah / Al-Fushshilat [41]:22).
Kulit memainkan peranan paling penting dalam perbuatan-perbuatan manusia, sebab kulit bukan saja mencakup indera
peraba, melainkan juga semua indera
lainnya. Kalau dosa mata dan telinga terbatas pada penglihatan dan pendengaran saja maka dosa-dosa
”kulit” meluas ke segala anggota atau bagian tubuh. Berkenaan dengan kulit dalam surah lain Allah Swt.
berfirman:
اِنَّ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا بِاٰیٰتِنَا سَوۡفَ نُصۡلِیۡہِمۡ نَارًا ؕ
کُلَّمَا نَضِجَتۡ جُلُوۡدُہُمۡ بَدَّلۡنٰہُمۡ جُلُوۡدًا غَیۡرَہَا لِیَذُوۡقُوا
الۡعَذَابَ ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ عَزِیۡزًا حَکِیۡمًا ﴿﴾
Sesungguhnya
orang-orang yang kafir kepada Ayat-ayat (Tanda-tanda) Kami,
segera Kami masukkan mereka ke dalam Api,
dan setiap kali kulit mereka hangus
Kami ganti dengan kulit lainnya, supaya mereka
merasakan azab itu. Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (An-Nisā
[4]:57).
Ilmu
kedokteran telah membuktikan bahwa kulit
jauh lebih peka terhadap rasa sakit daripada daging, karena dalam kulit terdapat banyak saraf. Al-Quran menge-mukakan kebenaran
agung ini kira-kira 1400 tahun yang lalu dengan mengatakan bahwa kulit
— dan bukan daging — yang
dipunyai penghuni neraka akan dibuat baru sesudah terbakar hangus.
Sehubungan dengan “dialog” orang-orang kafir dengan kulitnya
sendiri selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ مَا کُنۡتُمۡ تَسۡتَتِرُوۡنَ اَنۡ یَّشۡہَدَ عَلَیۡکُمۡ سَمۡعُکُمۡ وَ
لَاۤ اَبۡصَارُکُمۡ وَ لَا جُلُوۡدُکُمۡ
وَ لٰکِنۡ ظَنَنۡتُمۡ اَنَّ اللّٰہَ لَا یَعۡلَمُ
کَثِیۡرًا مِّمَّا تَعۡمَلُوۡنَ
﴿۲۲﴾ وَ ذٰلِکُمۡ
ظَنُّکُمُ الَّذِیۡ ظَنَنۡتُمۡ بِرَبِّکُمۡ اَرۡدٰىکُمۡ فَاَصۡبَحۡتُمۡ مِّنَ
الۡخٰسِرِیۡنَ ﴿﴾ فَاِنۡ یَّصۡبِرُوۡا فَالنَّارُ مَثۡوًی لَّہُمۡ ۚ وَ اِنۡ یَّسۡتَعۡتِبُوۡا فَمَا ہُمۡ مِّنَ
الۡمُعۡتَبِیۡنَ ﴿﴾
”Dan kamu sekali-kali tidak dapat menyembunyikan
bahwa telinga
kamu, dan mata kamu, dan kulit kamu menjadi saksi melawan kamu,
tetapi kamu menyangka bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa
yang kamu kerjakan. Dan itulah sangkaan kamu yang kamu sangkakan kepada Rabb
(Tuhan) kamu yang telah membinasakan kamu maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang rugi. Lalu jika
mereka bersabar maka Api tempat-tinggal bagi mereka, dan jika mereka mengemukakan alasan maka sekali-kali
mereka tidak termasuk orang-orang yang diterima alasan-alasannya. (Hā Mīm – As-Sajdah / Al-Fushshilat
[41]: 23-25).
Sesungguhnya segala dosa merupakan akibat lemahnya iman
yang hidup kepada Allah Swt. Keburukan orang-orang
kafir itu begitu busuk dan menjijikan sehingga mereka tidak akan
dianugerahi atau dikembalikan ke dalam haribaan karunia Ilahi; atau artinya ialah
orang-orang kafir malahan tidak akan diizinkan mendekati 'atabah
(ambang pintu) 'Arasy Ilahi untuk memohon kasih-Nya.
“Tubuh Baru” Manusia di
Akhirat
Dengan demikan jelaslah bahwa menurut ayat-ayat tersebut pada
hakikatnya tubuh jasmani manusia pun
secara keseluruhan merupakan bagian
dari rekaman (catatan) amal manusia, dan di akhirat akan mengambil bentuk suatu “tubuh
baru” yang keadaannya sesuatu dengan baik-buruknya
amal perbuatan manusia.
Jadi, pada hakikatnya berbagai macam perumpamaan
mengenai nikmat-nikmat surga mau pun penderitaan-penderitaan
neraka yang dikemukakan dalam Al-Quran merupakan gambaran
penampakan rekaman (catatan) amal manusia yang langsung dirasakan oleh para
penghuni surga mau pun para penghuni neraka, namun kenyataan sebenarnya dari rekaman (catatan) amal tersebut -- baik di alam
barzah mau pun pada Hari Kebangkitan
-- tidak seorang manusia pun di
dunia ini yang mengetahui hakikatnya,
karena hanya mereka yang telah
berada di alam akhirat sajalah
yang benar-benar mengetahuinya secara haqqul-yaqin
(QS.102:1-9), firman-Nya:
فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٌ مَّاۤ
اُخۡفِیَ لَہُمۡ مِّنۡ قُرَّۃِ اَعۡیُنٍ ۚ جَزَآءًۢ بِمَا
کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿ ﴾ اَفَمَنۡ کَانَ
مُؤۡمِنًا کَمَنۡ کَانَ فَاسِقًا ؕؔ لَا یَسۡتَوٗنَ
﴿ ﴾ اَمَّا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَلَہُمۡ جَنّٰتُ
الۡمَاۡوٰی ۫ نُزُلًۢا بِمَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿ ﴾
Maka tidak ada sesuatu jiwa mengetahui
apa yang tersembunyi bagi mereka dari penyejuk mata sebagai balasan
terhadap apa yang telah mere-ka kerjakan. Maka apakah
seorang yang beriman sama seperti orang fasik? Mereka tidak sama. Ada pun orang-orang
yang beriman dan beramal saleh,
maka bagi mereka ada surga-surga tempat
tinggal, sebagai jamuan untuk apa yang telah mereka kerjakan. (As-Sajdah
[32]:18-20).
Waktu Nabi Besar Muhammad asw. menggambarkan bentuk dan sifat nikmat
dan kesenangan surga, beliau saw. diriwayatkan pernah bersabda: “Tiada mata pernah melihatnya (nikmat surga
itu) dan tiada pula telinga pernah mendengarnya, tidak pula pikiran manusia
dapat membayangkannya” (Bukhari,
Kitab Bad’al-Khalaq).
Hadits itu menunjukkan bahwa nikmat kehidupan ukhrawi tidak akan
bersifat kebendaan seperti di dunia ini. Nikmat-nikmat itu akan merupakan penjelmaan-keruhanian perbuatan dan tingkah-laku baik yang telah dikerjakan orang-orang bertakwa di alam dunia ini.
Demikian pula halnya dengan siksaan-siksaan
neraka jahannam akan merupakan penjelmaan-keruhanian
perbuatan dan tingkah-laku buruk yang
telah dikerjakan orang-orang berdosa di
alam dunia ini.
Kata-kata yang dipergunakan untuk
menggambarkan nikmat-nikmat itu dalam
Al-Quran telah dipakai hanya dalam arti kiasan.
Ayat yang sekarang pun dapat berarti bahwa karunia
dan nikmat Ilahi yang akan
dilimpahkan kepada orang-orang beriman yang
bertakwa di alam akhirat bahkan jauh lebih baik dan jauh lebih
berlimpah-limpah dari yang dikhayalkan atau dibayangkan. Nikmat-nikmat itu akan berada jauh di luar batas jangkauan daya cipta manusia. Demikian juga halnya
dengan siksaan dalam neraka jahannam, firman-Nya:
مَثَلُ الۡجَنَّۃِ الَّتِیۡ وُعِدَ الۡمُتَّقُوۡنَ ؕ فِیۡہَاۤ اَنۡہٰرٌ مِّنۡ
مَّآءٍ غَیۡرِ اٰسِنٍ ۚ وَ
اَنۡہٰرٌ مِّنۡ لَّبَنٍ لَّمۡ
یَتَغَیَّرۡ طَعۡمُہٗ ۚ وَ
اَنۡہٰرٌ مِّنۡ خَمۡرٍ لَّذَّۃٍ
لِّلشّٰرِبِیۡنَ ۬ۚ وَ اَنۡہٰرٌ مِّنۡ عَسَلٍ مُّصَفًّی ؕ وَ لَہُمۡ فِیۡہَا مِنۡ کُلِّ الثَّمَرٰتِ وَ
مَغۡفِرَۃٌ مِّنۡ رَّبِّہِمۡ ؕ
کَمَنۡ ہُوَ خَالِدٌ فِی النَّارِ وَ سُقُوۡا مَآءً حَمِیۡمًا
فَقَطَّعَ اَمۡعَآءَہُمۡ ﴿﴾
Perumpamaan
surga yang dijanjikan kepada orang-orang
yang bertakwa, di dalamnya terdapat sungai-sungai
yang airnya tidak akan rusak; dan sungai-sungai
susu yang rasanya tidak berubah, dan sungai-sungai
arak yang sangat lezat rasanya bagi orang-orang
yang meminum, dan sungai-sungai madu
yang dijernihkan. Dan bagi mereka di dalamnya ada segala macam buah-buahan, dan pengampunan dari Rabb
(Tuhan) mereka. Apakah sama seperti
orang yang tinggal kekal di dalam Api dan diberi minum air mendidih, sehingga akan merobek-robek usus mereka? (Muhammad [47]:16).
Firman-Nya lagi:
وَ بَشِّرِ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَہُمۡ
جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ؕ
کُلَّمَا رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا ۙ قَالُوۡا ہٰذَا
الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ ۙ وَ اُتُوۡا بِہٖ
مُتَشَابِہًا ؕ وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ
مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman dan beramal saleh bahwa sesungguhnya untuk mereka ada kebun-kebun
yang di bawahnya mengalir sungai-sungai.
Setiap kali diberikan kepada mereka buah-buahan dari kebun itu sebagai
rezeki, mereka berkata: “Inilah yang
telah direzekikan kepada kami sebelumnya”, akan diberikan kepada mereka yang serupa dengannya,
dan bagi mereka di dalamnya ada jodoh-jodoh yang suci, dan mereka
akan kekal di dalamnya. (Al-Baqarah
[2]:26).
Ayat
ini memberikan gambaran singkat
mengenai ganjaran yang akan diperoleh
orang-orang beriman dalam surga di akhirat. Para kritikus Islam telah melancarkan
berbagai keberatan atas lukisan atau kiasan
itu. Kecaman-kecaman itu karena mereka sama sekali tidak memahami ajaran Islam tentang nikmat-nikmat
surgawi.
Gambaran
Kiasan Perwujudan Iman
dan Amal Shaleh di Akhirat
Dengan
sendirinya timbul pertanyaan: Mengapa nikmat-nikmat
surga diberi nama yang biasa dipakai untuk benda-benda di bumi ini? Hal
demikian adalah karena seruan
Al-Quran itu tidak hanya semata-mata tertuju kepada orang-orang yang maju dalam bidang ilmu, karena itu
Al-Quran mempergunakan kata-kata
sederhana yang dapat dipahami semua
orang.
Dalam
menggambarkan karunia Ilahi, Al-Quran
telah mempergunakan nama benda yang
pada umumnya dipandang baik di bumi ini,
dan orang-orang beriman
diajari bahwa mereka akan mendapat
hal-hal itu semuanya dalam bentuk
yang lebih baik di alam yang akan datang (akhirat).
Untuk menjelaskan perbedaan penting itulah maka dipakai kata-kata yang telah dikenal, selain itu tidak ada
persamaan antara kesenangan duniawi
dengan karunia-karunia ukhrawi,
itulah makna firman-Nya:
ؕ کُلَّمَا رُزِقُوۡا
مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا ۙ قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ
Setiap kali diberikan kepada mereka buah-buahan dari kebun itu sebagai
rezeki, mereka berkata: “Inilah yang
telah direzekikan kepada kami sebelumnya.”
Tambahan
pula menurut Islam kehidupan di akhirat itu tidak ruhaniah
dalam artian bahwa hanya akan terdiri atas keadaan
ruhani, bahkan dalam kehidupan di
akhirat pun ruh manusia akan
mempunyai semacam tubuh baru
tetapi tubuh itu tidak bersifat benda.
Baik-buruknya “tubuh baru” manusia di akhirat tersebut sesuai dengan baik-buruknya
keimanan dan amal manusia di
dunia, karena itu betapa pentingnya
masalah keimanan dan amal shaleh tersebut sebab kedua hal itulah yang di akhirat digambarkan dalam Al-Quran
sebagai “kebun-kebun” yang di
bawahnya “mengalir sungai-sungai”,
atau sebaliknya merupakan keadaan neraka
jahannam yang penuh dengan berbagai jenis siksaan.
Kembali kepada firman Allah Swt. mengenai “minuman surgawi” yang campurannya kafur,
firman-Nya:
فَوَقٰہُمُ اللّٰہُ شَرَّ ذٰلِکَ
الۡیَوۡمِ وَ لَقّٰہُمۡ نَضۡرَۃً
وَّ سُرُوۡرًا ﴿ۚ﴾ وَ جَزٰىہُمۡ بِمَا صَبَرُوۡا جَنَّۃً وَّ حَرِیۡرًا﴿ۙ﴾ مُّتَّکِـِٕیۡنَ فِیۡہَا عَلَی
الۡاَرَآئِکِ ۚ لَا یَرَوۡنَ فِیۡہَا شَمۡسًا وَّ لَا
زَمۡہَرِیۡرًا ﴿ۚ﴾ وَ دَانِیَۃً عَلَیۡہِمۡ ظِلٰلُہَا وَ ذُلِّلَتۡ قُطُوۡفُہَا
تَذۡلِیۡلًا ﴿﴾ وَ یُطَافُ عَلَیۡہِمۡ
بِاٰنِیَۃٍ مِّنۡ فِضَّۃٍ وَّ اَکۡوَابٍ کَانَتۡ قَؔوَارِیۡرَا۠
﴿ۙ﴾ قَؔوَارِیۡرَا۠
مِنۡ فِضَّۃٍ قَدَّرُوۡہَا تَقۡدِیۡرًا ﴿﴾ وَ یُسۡقَوۡنَ فِیۡہَا کَاۡسًا کَانَ مِزَاجُہَا
زَنۡجَبِیۡلًا ﴿ۚ﴾ عَیۡنًا فِیۡہَا تُسَمّٰی سَلۡسَبِیۡلًا ﴿﴾
Maka Allah memelihara
mereka dari keburukan hari itu,
dan menganugerahkan kepada mereka kesenangan
dan kebahagiaan. Dan Dia membalas mereka karena kesabaran
mereka dengan kebun dan sutera, duduk
bersandar di dalamnya di atas
dipan-dipan, mereka tidak melihat di dalamnya terik matahari dan tidak pula
dingin yang sangat. Dan keteduhannya
didekatkan atas mereka dan tandan-tandan
buahnya direndahkan serendah-rendahnya. Dan bejana-bejana minuman dari
perak diedarkan kepada
mereka dan piala-piala seperti kaca, seperti kaca, terbuat dari
perak, mereka mengukurnya sesuai
dengan ukuran. Dan di dalamnya mereka
diberi gelas minuman yang campurannya jahe. Dari mata air di dalamnya yang disebut Salsabil. (Ad-Dahr
-- Al-Insān [76]:12-19).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 16 Maret
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar