بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
217
Hakikat “Pertemuan” Nabi Besar Muhammad Saw. dengan
Allah Swt. dalam Peristiwa Mi’raj (Kenaikan Ruhani)
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai Surah Adh-Dhuha [93]:1-12, arti kata dhālla dalam ayat وَ وَجَدَکَ ضَآلًّا -- dan Dia
mendapati engkau larut/tenggelam dalam kecintaan kepada kaum engkau, فَہَدٰی -- lalu
Dia memberi engkau petunjuk. dapat
ditafsirkan sebagai berikut:
(1) Nabi Besar Muhammad saw. sebelum diangkat sebagai Rasul Allah, beliau saw. berkelana mencari jalan dan sarana
untuk mencapai Allah Swt., di antaranya sering bertafakkur di
gua Hira selama berhari-hari, lalu
Dia mewahyukan kepada beliau saw. syariat yang terakhir
dan tersempurna yang membimbing
beliau saw. ke arah tujuan yang didambakan;
(2) Beliau bingung dan tidak mengetahui
betapa cara menemukan jalan yang
menjurus ke arah tercapainya apa yang dicari
beliau saw. lalu Allah Swt. membimbing beliau saw. ke jalan itu;
(3) Seluruh wujud beliau saw. telah fana
(hilang/sirna/tenggelam/larut) )dalam kecintaan
kepada kaum beliau saw. agar dapat mengeluarkan mereka dari kesesatan dan kejahiliyahan mereka, lalu
Allah Swt. membekali beliau saw. dengan petunjuk
sempurna bagi mereka;
(4) Beliau saw. tersembunyi
dari mata dunia lalu Allah Swt. menemukan
beliau saw. lalu memilih beliau saw. untuk mengemban tugas membimbing umat manusia
supaya sampai kepada-Nya (QS.7:159;
QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29).
Dengan demikian kata dhālla tidak
dipakai sebagai celaan, bahkan
sebagai pujian terhadap Nabi Besar Muhammad saw.. Kata ini tidak mengena dan tidak pula dapat
dikenakan kepada beliau saw. dalam arti
“telah tersesat,” sebab menurut ayat
Al-Quran lain (QS.53:3) beliau saw. kebal
terhadap kesalahan atau kesesatan.
Lebih-lebih 6 ayat terakhir dalam Surah ini
menunjukkan suatu urutan tertentu ayat-ayat 7, 8, dan 9 masing-masing mempunyai
hubungan erat dan bersesuaian dengan ayat-ayat 10, 11, dan 12. Dhālla dalam
ayat 8, yang digantikan oleh kata sā’il dalam ayat وَ اَمَّا السَّآئِلَ فَلَا تَنۡہَرۡ -- “Dan
terhadap orang yang meminta-minta
janganlah engkau menghardik”,
menjelaskan arti dhālla, yaitu
“orang yang mencari pertolongan Ilahi
supaya dibimbing kepada-Nya atau supaya diberi petunjuk.”
Ayat وَ وَجَدَکَ ضَآلًّا فَہَدٰی dapat pula berarti “Allah Swt. mendapatkan diri engkau hilang-sirna (fana) alam keasyikan mencari Dia, lalu Dia membimbing
engkau ke hadirat-Nya.”
Makna Kata Dhāllīn Sehubungan dengan Jawaban
Nabi Musa a.s. Terhadap Tuduhan
Fir’aun
Pengertian mengenai kata dhalla (dhāllīn) itu pulalah yang dikemukakan Nabi
Musa a.s. ketika menjawab tuduhan
Fir’aun bahwa beliau secara zalim
telah memukul dengan sengaja seorang dari kaum Fir’aun sehingga ia tewas,
firman-Nya:
قَالَ اَلَمۡ نُرَبِّکَ فِیۡنَا
وَلِیۡدًا وَّ لَبِثۡتَ فِیۡنَا مِنۡ عُمُرِکَ
سِنِیۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ فَعَلۡتَ
فَعۡلَتَکَ الَّتِیۡ فَعَلۡتَ وَ اَنۡتَ مِنَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾ قَالَ
فَعَلۡتُہَاۤ اِذًا وَّ اَنَا مِنَ
الضَّآلِّیۡنَ ﴿ؕ﴾ فَفَرَرۡتُ
مِنۡکُمۡ لَمَّا خِفۡتُکُمۡ فَوَہَبَ لِیۡ رَبِّیۡ حُکۡمًا وَّ جَعَلَنِیۡ
مِنَ الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾ وَ تِلۡکَ
نِعۡمَۃٌ تَمُنُّہَا عَلَیَّ اَنۡ عَبَّدۡتَّ بَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿ؕ﴾
Fir’aun berkata: “Ya Musa, bukankah kami telah memelihara engkau
di antara kami ketika engkau kanak-kanak, dan engkau benar-benar telah tinggal di antara kami beberapa tahun
dalam hidup engkau. Dan engkau telah
melakukan perbuatan yang
pernah engkau lakukan itu dan engkau
dari antara orang yang tidak berterimakasih. قَالَ فَعَلۡتُہَاۤ اِذًا وَّ اَنَا مِنَ الضَّآلِّیۡنَ -- Musa berkata:
“Aku telah melakukannya demikian dan ketika itu aku dalam
keadaan kalut. Maka aku melarikan diri dari kamu tatkala aku
takut kepada kamu, lalu Rabb-ku
(Tuhan-ku) menganugerahkan kepadaku hikmah dan menjadikan aku seorang dari
rasul-rasul. Dan apakah nikmat pemeliharaan yang
engkau telah memberikannya
kepadaku itu sehingga engkau
beralasan telah memperbudak Bani Israil?” (Asy-Syu’ara [26]:19-23).
Dhall berasal dari
kata dhalla yang berarti: ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan; ia
berada dalam keadaan pikiran kalut; ia tenggelam dalam kecintaan (Lexicon Lane).
Tatkala orang Israil itu memanggil beliau dan minta menolongnya terhadap orang
Mesir, Nabi Musa a.s. tidak tahu apa yang harus beliau lakukan, oleh karena
hasrat beliau besar sekali untuk menolong orang
Israil yang malang dan tidak berdaya
itu (QS.28:16-21), beliau secara spontan memberi pukulan keras sehingga membuat orang itu mati terkapar.
Kematian orang Mesir itu tidak terduga sebab satu pukulan dengan
tinju biasanya tidak menyebabkan kematian
seseorang. Atau ayat ini dapat juga diartikan,
bahwa disebabkan oleh besarnya
kecintaan Nabi Musa a.s. kepada
orang-orang tertindas, beliau datang
menolong orang Israil dan meninju orang Mesir itu, sehingga
mengakibatkan kematiannya. Atau
artinya ialah, bahwa beliau melakukan hal itu, karena tidak menginsyafi akibat-akibatnya.
Hakikat
bahwa sesudah membunuh orang Mesir itu Nabi Musa a.s. melarikan diri, lalu Allah Swt. mengangkat beliau
sebagai seorang nabi —sungguh suatu nikmat Ilahi yang besar sekali—
merupakan suatu bukti, bahwa apa yang
telah dilakukan oleh Nabi Musa a.s. itu adalah suatu perbuatan yang tidak
disengaja dan dilakukan karena dorongan
hati yang terbetik secara tiba-tiba
akibat kecintaan beliau terhadap orang Israil yang dizalimi
oleh orang Mesir.
Pelanggaran Tidak Sengaja
yang Dilakukan Nabi Adam a.s. & Doa Khusus Memohon Tambahan Pengetahuan
Kalau benar bahwa – sebagaimana
tuduhan Fir’aun -- perbuatan Nabi Musa
a.s. memukul seorang bangsa Mesir hingga mati merupakan perbuatan dosa yang
sengaja dilakukan oleh Nabi Musa a.s., tetapi mengapa dalam kenyataannya setelah Nabi Musa a.s. melarikan diri ke
Midian kemudian Allah Swt. malah mengangkat beliau sebagai seorang Rasul Allah? Firman-Nya:
فَفَرَرۡتُ مِنۡکُمۡ لَمَّا
خِفۡتُکُمۡ فَوَہَبَ لِیۡ رَبِّیۡ حُکۡمًا
وَّ جَعَلَنِیۡ مِنَ الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾
Musa berkata: “Aku telah melakukannya demikian dan ketika itu aku dalam
keadaan kalut. Maka aku melarikan diri dari kamu tatkala aku
takut kepada kamu, lalu Rabb-ku
(Tuhan-ku) menganugerahkan kepadaku hikmah dan menjadikan aku seorang dari
rasul-rasul. (Asy-Syu’ara
[26]:22).
Sebelumnya, kasus “pelanggaran” terhadap “larangan”
(perintah) Allah Swt. yang tidak disengaja pun telah dilakukan oleh Adam
(QS.7:12-26) tetapi dalam kenyataannya Allah Swt. malah mengangkat Adam sebagai Rasul Allah, dengan demikian
jelaslah bahwa perbuatan yang dilakukan oleh kedua orang hamba Allah Swt. yang tidak
dilandasi dengan niat (tekad) untuk
melakukan pelanggaran terhadap perintah (larangan) tersebut bukan merupakan dosa, berikut firman-Nya mengenai hal tersebut:
وَ کَذٰلِکَ
اَنۡزَلۡنٰہُ قُرۡاٰنًا عَرَبِیًّا وَّ
صَرَّفۡنَا فِیۡہِ مِنَ الۡوَعِیۡدِ لَعَلَّہُمۡ یَتَّقُوۡنَ اَوۡ یُحۡدِثُ
لَہُمۡ ذِکۡرًا﴿﴾ فَتَعٰلَی
اللّٰہُ الۡمَلِکُ الۡحَقُّ ۚ وَ لَا
تَعۡجَلۡ بِالۡقُرۡاٰنِ مِنۡ قَبۡلِ اَنۡ یُّقۡضٰۤی اِلَیۡکَ وَحۡیُہٗ ۫ وَ قُلۡ
رَّبِّ زِدۡنِیۡ عِلۡمًا ﴿﴾ وَ لَقَدۡ عَہِدۡنَاۤ
اِلٰۤی اٰدَمَ مِنۡ قَبۡلُ فَنَسِیَ
وَ لَمۡ نَجِدۡ
لَہٗ عَزۡمًا ﴿﴾٪
Dan demikianlah Kami
telah menurunkannya Al-Quran dalam bahasa Arab dan Kami telah menerang-kan berulang-ulang di dalamnya berbagai macam
ancaman supaya mereka bertakwa
atau supaya perkataan ini mengingatkan mereka. Maka Mahatinggi
Allah, Raja Yang Haq. Dan janganlah engkau tergesa-gesa membaca
Al-Quran sebelum pewahyuannya dilengkapkan kepada engkau, وَ
قُلۡ رَّبِّ زِدۡنِیۡ
عِلۡمًا
-- dan katakanlah: "Ya Rabb-ku
(Tuhan‑ku), tambahkanlah kepadaku ilmu
pengetahuan?” Dan sungguh
Kami benar-benar telah membuat
perjanjian de-ngan Adam sebelum ini tetapi ia telah lupa dan Kami tidak
mendapatkan padanya tekad untuk berbuat
dosa. (Thā Hā [20]:114-116).
Sehubungan dengan ayat وَ
قُلۡ رَّبِّ زِدۡنِیۡ
عِلۡمًا -- “dan katakanlah, ‘Ya Rabb-ku
(Tuhan‑ku), tambahkanlah kepadaku ilmu
pengetahuan?” Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan pernah bersabda: "Carilah ilmu pengetahuan sekalipun mungkin
ditemukannya jauh di rantau Cina" ( Tafsir Shagir, jilid I). Di tempat lain dalam Al-Quran telah
dilukiskan sebagai "karunia Allah
yang sangat besar" (2:270 & 4:114). Ilmu itu ada dua macam:
(a) ilmu
yang dianugerahkan kepada manusia dengan perantaraan wahyu yang telah mencapai kesempurnaan dalam wujud Al-Quran.
(b) ilmu yang didapatkan oleh manusia dengan
usaha dan jerih-payahnya sendiri.
Ayat 116 وَ لَقَدۡ
عَہِدۡنَاۤ اِلٰۤی اٰدَمَ مِنۡ قَبۡلُ
فَنَسِیَ وَ لَمۡ
نَجِدۡ لَہٗ عَزۡمًا -- “Dan
sungguh Kami benar-benar telah membuat perjanjian dengan Adam sebelum ini
tetapi ia telah lupa dan Kami tidak mendapatkan padanya tekad
untuk berbuat dosa,” menunjukkan bahwa kealpaan Nabi Adam a.s. hanyalah disebabkan oleh kekeliruan dalam pertimbangan. Kekeliruan yang dilakukan oleh Nabi Adam a.s. itu tanpa disengaja dan sama sekah tidak
dengan suatu niat atau kehendak, melainkan semata-mata karena kekeliruan dalam merespons (menanggapi) perangkap “bujuk-rayu” syaitan yang menipu
(QS.7:21-23), karena manusia tidak
luput dari kesalahan.
Agar Nabi Besar Muhammad saw. terhindar
dari kekeliruan maka Allah Swt. telah
mengajarkan sebuah doa khusus agar
tidak mengalami kesalahan-pertimbangan yang dilakukan oleh Adam terhadap jebakan
“buruk-rayu” syaitan yang menipu (QS.31:34), yaitu beliau saw.
harus menunggu pewahyuan Al-Quran dari Allah Swt. selengkapnya.
Dua Macam “Fāna” Nabi
Besar Muhammad Saw.
Jadi, kembali kepada kata dhāllan dan dhāllīn
berkenaan dengan Nabi Besar Muhammad
saw. dan Nabi Musa a.s., sama sekali kata tersebut tidak dapat diartikan dengan
makna sesat, melainkan dalam makna fana atau hilang-sirna atau tenggelam
dalam kecintaan terhadap kaum
kedua hamba Allah tersebut,
firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾
وَ الضُّحٰی ۙ﴿﴾ وَ الَّیۡلِ
اِذَا سَجٰی ۙ﴿﴾ مَا وَدَّعَکَ
رَبُّکَ وَ مَا قَلٰی ؕ﴿﴾ وَ لَلۡاٰخِرَۃُ
خَیۡرٌ لَّکَ مِنَ الۡاُوۡلٰی ؕ﴿﴾ وَ لَسَوۡفَ
یُعۡطِیۡکَ رَبُّکَ فَتَرۡضٰی ؕ﴿﴾ اَلَمۡ
یَجِدۡکَ یَتِیۡمًا فَاٰوٰی ۪﴿﴾ وَ وَجَدَکَ
ضَآلًّا فَہَدٰی ۪﴿﴾ وَ وَجَدَکَ
عَآئِلًا فَاَغۡنٰی ؕ﴿﴾ فَاَمَّا الۡیَتِیۡمَ
فَلَا تَقۡہَرۡ ؕ﴿﴾ وَ اَمَّا
السَّآئِلَ فَلَا تَنۡہَرۡ ﴿ؕ﴾ وَ اَمَّا بِنِعۡمَۃِ رَبِّکَ فَحَدِّثۡ ﴿٪﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah,
Maha Penyayang. Demi terangnya sinar pagi ketika sedang naik. Dan demi malam apabila kegelapannya menyebar. Sekali-kali Rabb (Tuhan) engkau tidak meninggalkan
engkau dan tidak pula Dia murka atas engkau. Dan sesungguhnya keadaan kemudian lebih baik bagi
engkau daripada keadaan permulaan.
Dan Rabb (Tuhan) engkau segera akan
memberikan kepada engkau hingga engkau
menjadi puas. Tidakkah Dia
mendapati engkau yatim lalu Dia
memberikan perlindungan? وَ
وَجَدَکَ ضَآلًّا -- dan
Dia mendapati engkau larut/tenggelam
dalam kecintaan kepada kaum engkau,
فَہَدٰی -- lalu
Dia memberi engkau petunjuk. Dan Dia
mendapati engkau berkekurangan lalu Dia
memperkaya engkau. Karena itu terhadap
anak yatim maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang, dan terhadap orang yang meminta-minta janganlah
engkau menghardik, dan terhadap
nikmat Rabb (Tuhan) engkau hendaknya menyatakannya. (Adh-Dhuha [93]:1-12).
Berikut firman-Nya mengenai Nabi Musa a.s. mengenai pemukulan
secara spontan yang dilakukan
beliau terhadap bangsa Mesir -- karena
adanya rasa cinta terhadap seorang
Israil yang meminta tolong kepada beliau --
orang sehingga menyebabkan orang
Mesir tersebut mati:
فَفَرَرۡتُ مِنۡکُمۡ لَمَّا
خِفۡتُکُمۡ فَوَہَبَ لِیۡ رَبِّیۡ حُکۡمًا
وَّ جَعَلَنِیۡ مِنَ الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾
Musa berkata: “Aku telah melakukannya demikian dan ketika itu aku dalam
keadaan kalut. Maka aku melarikan diri dari kamu tatkala aku
takut kepada kamu, lalu Rabb-ku
(Tuhan-ku) menganugerahkan kepadaku hikmah dan menjadikan aku seorang dari
rasul-rasul. (Asy-Syu’ara
[26]:22).
Peristiwa Mi’raj (Kenaikan Ruhani) Nabi Besar Muhammad Saw.
Dalam kaitannya dengan “sungai khamar” serta “kemabukan ruhani” yang dialami para
penempuh suluk (jalan ruhani) --
sebagaimana telah dikemukakan berkenaan dengan dua Sufi terkenal: Abu
Yazid al-Bisthami dan Mansyur
“Al-Hallaj” sehingga dalam keadaan “mabuk ruhani” mengucapkan kata-kata
(ucapan-ucapan) yang sukar difahami oleh orang-orang yang belum
mencapai tingkatan fana atau keadaan “dhāllan”
atau “dhāllin” atau “manunggal” seperti itu, dalam Al-Quran
Allah Swt. mengemukakan dua macam fana, yakni (1) yang berkaitan dengan Tuhan (Allah Swt.) yakni Haququllah
(pemenuhan hak-hak Allah Swt.) dan (2)
yang berkaitan dengan umat manusia yakni haququl-‘Ibad
(pemenuhan hak-hak sesame hamba
Allah Swt.), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ﴿﴾ وَ النَّجۡمِ اِذَا ہَوٰی
ۙ﴿﴾ مَا ضَلَّ صَاحِبُکُمۡ وَ مَا غَوٰی ۚ﴿﴾ وَ مَا یَنۡطِقُ عَنِ
الۡہَوٰی ؕ﴿﴾
اِنۡ ہُوَ اِلَّا
وَحۡیٌ یُّوۡحٰی ۙ﴿﴾
عَلَّمَہٗ شَدِیۡدُ الۡقُوٰی ۙ﴿﴾ ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ فَاسۡتَوٰی ۙ﴿﴾ وَ ہُوَ
بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی ؕ﴿﴾ ثُمَّ
دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾ فَکَانَ
قَابَ قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی ۚ﴿﴾ فَاَوۡحٰۤی
اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ اَوۡحٰی
﴿ؕ﴾ مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا
رَاٰی ﴿﴾ اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً
اُخۡرٰی ﴿ۙ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾ عِنۡدَہَا جَنَّۃُ
الۡمَاۡوٰی ﴿ؕ﴾ اِذۡ
یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی ﴿ۙ﴾ مَا
زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی ﴿﴾ لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ
اٰیٰتِ رَبِّہِ الۡکُبۡرٰی ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah,
Maha Penyayang. Demi bintang apabila jatuh. Sahabat
kamu tidak sesat dan tidak pula keliru.
Dan ia
sekali-kali tidak berkata-kata menuruti keinginannya. Perkataannya
itu tidak lain me-lainkan wahyu yang
diwahyukan. Tuhan Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya, Pemilik
Kekuatan, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullāh, berada di
aufuk tertinggi. (An-Najm [53]:1-8).
An-najm berarti bintang atau tumbuhan yang
tidak berbatang. Tetapi bila dikenakan sebagai kata pengganti nama kata itu
berarti “Bintang Tujuh “ (Bintang
Kartika atau Pleiades). Kata itu dianggap juga oleh beberapa ulama sebagai
mengandung arti pewahyuan Al-Quran yang diwahyukan secara
berangsur-angsur.
Oleh beberapa sumber lainnya kata an-Najm
dianggap mengisyaratkan kepada Nabi Besar Muhammad saw. sendiri, karena dalam QS.33:46-47
beliau saw. disebut sebagai sirājan- munāran
(bintang yang becahaya cemerlang). Kata jamaknya an-nujum, berarti juga
para kepala kaum atau kepala negara-negara kecil atau jajahan atau kerajaan-kerajaan kecil (Kasysyaf,
Taj-ul ’Arus & Ghara’ib-al-Quran).
Mengingat akan arti yang berbeda-beda maka kata an-najm dalam
ayat ini dapat diterangkan:
(1) Menurut sebuah
hadits yang masyhur, sehubungan dengan diwahyukan-Nya Surah Al-Jumu’ah ayat 3-4, Nabi Besar Muhammad saw. pernah mengatakan: “Manakala kegelapan ruhani meliputi seluruh
permukaan bumi dan tidak ada yang tinggal dari Islam kecuali namanya, dan tidak
ada dari Al-Quran kecuali hurufnya dan iman terbang ke Bintang Tsuraya, maka
seorang laki-laki dari keturunan Parsi akan membawanya kembali ke bumi” (Bukhari).
(2) Kata an-najm dalam
arti bintang dapat berarti bahwa Al-Quran memberi kesaksian
atas kebenarannya sendiri,
sebagaimana matahari memberikan kesaksian atas keberadaan dirinya sendiri sebagai sumber cahaya yang sangat
cemerlang (QS.33:46-48).
(3) Kata an-najm dalam arti ”tumbuhan
yang tidak berbatang” mengandung makna bahwa Pohon Islam yang masih lemah, kini seperti akan tumbang oleh angin
perlawanan kuat lagi tidak bersahabat yang bertiup kencang dan sengit ke
arahnya, tidak lama lagi akan bangkit dan berkembang menjadi pohon megah, dan di bawah naungannya
yang sejuk, bangsa-bangsa besar akan berteduh (QS.14:25-26; QS.48:30).
(4) Karena orang-orang
Arab sudah biasa menetapkan arah
dan tujuan serta dibimbing dalam perjalanan mereka pada malam
hari di padang pasir Arabia oleh peredaran bintang-bintang (QS.16:17), demikianlah mereka sekarang secara ruhani akan dibimbing ke tujuan ruhani mereka oleh bintang yang paling cemerlang (QS.33:46-48) dan “cahaya
di atas cahaya” – QS.24:36) yakni Nabi Besar Muhammad saw..
(5) Ayat ini dapat juga
mengandung sebuah nubuatan tentang
jatuhnya negeri Arab yang sudah bobrok, yang digambarkan dalam beberapa Surah Al-Quran sebagai “bintang-bintang berjatuhan” (QS.77:9; QS.81:1-15;
QS.82:1-6). Al-Quran suatu nubuatan
yang lebih jelas lagi diterangkan dalam QS.54:2. tentang “terbelahnya bulan.”
Makna ayat مَا ضَلَّ
صَاحِبُکُمۡ وَ مَا غَوٰ -- “Sahabat kamu tidak sesat dan tidak pula keliru” , yaitu bahwa cita-cita dan asas-asas yang dikemukakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. tidak
salah lagi pula beliau sekali-kali tidak menyimpang dari asas-asas itu (yakni beliau saw. juga tidak tersesat).
Dengan demikian mengingat cita-cita luhur
dan mulia beliau saw. dan mengingat
pula cara beliau saw. menjalani hidup sesuai dengan cita-cita itu, beliau saw. dalah penunjuk-jalan
yang terjamin dan aman.
ۚ وَ مَا یَنۡطِقُ عَنِ الۡہَوٰی – “Dan ia sekali-kali tidak berkata-kata menuruti
keinginannya.” Keterangan itu lebih diperkuat lagi dalam beberapa ayat-ayat
berikutnya.
Ayat اِنۡ ہُوَ
اِلَّا وَحۡیٌ یُّوۡحٰی -- “Perkataannya itu
tidak lain melainkan wahyu yang
diwahyukan.” membicarakan sumber
asal wahyu Nabi Besar Muhammad saw. yang
adalah dari Allah Swt. , maka dua ayat sebelumnya mengisyaratkan
kepada khayalan kosong orang yang berotak miring dan kepada alam pikiran yang
timbul dari nafsu pribadinya dan dorongan-dorongan ruh jahat.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 18 Maret
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar