Rabu, 14 Mei 2014

Hakikat "Pertemuan" Nabi Besar Muhammad Saw. dengan Allah Swt. dalam Peristiwa "Mi'raj" (Kenaikan Ruhani)



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   217

  Hakikat “Pertemuan” Nabi Besar Muhammad Saw. dengan Allah Swt. dalam Peristiwa  Mi’raj (Kenaikan Ruhani)   

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai  Surah  Adh-Dhuha [93]:1-12,  arti kata dhālla dalam ayat     وَ  وَجَدَکَ ضَآلًّا   --  dan Dia mendapati engkau larut/tenggelam dalam kecintaan kepada kaum engkau,  فَہَدٰی   --   lalu Dia memberi engkau petunjuk. dapat ditafsirkan sebagai berikut:
 (1) Nabi Besar Muhammad saw.  sebelum diangkat sebagai Rasul Allah, beliau saw. berkelana mencari jalan dan sarana untuk mencapai Allah Swt., di antaranya sering bertafakkur di gua Hira selama berhari-hari, lalu Dia mewahyukan kepada beliau saw. syariat yang  terakhir dan tersempurna yang membimbing beliau saw. ke arah tujuan yang didambakan;
  (2) Beliau bingung dan tidak mengetahui betapa cara menemukan jalan yang menjurus ke arah tercapainya apa yang dicari beliau saw. lalu  Allah Swt. membimbing beliau saw. ke jalan itu;
  (3) Seluruh wujud beliau saw. telah   fana (hilang/sirna/tenggelam/larut) )dalam kecintaan kepada kaum beliau  saw. agar dapat mengeluarkan mereka dari kesesatan dan kejahiliyahan mereka,  lalu Allah Swt. membekali beliau saw. dengan petunjuk sempurna bagi mereka;
  (4) Beliau  saw. tersembunyi dari mata dunia  lalu  Allah Swt.  menemukan beliau saw.  lalu memilih beliau saw. untuk mengemban tugas membimbing umat manusia supaya sampai kepada-Nya (QS.7:159; QS.21:108;  QS.25:2;  QS.34:29).
   Dengan demikian kata dhālla tidak dipakai sebagai celaan, bahkan sebagai pujian terhadap  Nabi Besar Muhammad saw..  Kata ini tidak mengena dan tidak pula dapat dikenakan kepada beliau  saw. dalam arti “telah tersesat,” sebab menurut ayat Al-Quran lain (QS.53:3) beliau saw. kebal terhadap kesalahan atau kesesatan.
  Lebih-lebih 6 ayat terakhir dalam Surah ini menunjukkan suatu urutan tertentu ayat-ayat 7, 8, dan 9 masing-masing mempunyai hubungan erat dan bersesuaian dengan ayat-ayat 10, 11, dan 12. Dhālla dalam ayat 8, yang digantikan oleh kata sā’il dalam ayat   وَ اَمَّا السَّآئِلَ  فَلَا تَنۡہَرۡ   -- “Dan terhadap orang yang meminta-minta  janganlah engkau menghardik”,   menjelaskan arti dhālla, yaitu “orang yang mencari pertolongan Ilahi supaya dibimbing kepada-Nya atau supaya diberi petunjuk.”
   Ayat  وَ  وَجَدَکَ ضَآلًّا فَہَدٰی      dapat pula berarti  “Allah Swt. mendapatkan diri engkau hilang-sirna (fana) alam keasyikan mencari Dia,  lalu   Dia membimbing engkau ke hadirat-Nya.”

Makna Kata Dhāllīn Sehubungan dengan Jawaban Nabi Musa a.s. Terhadap Tuduhan Fir’aun

        Pengertian  mengenai kata dhalla   (dhāllīn) itu pulalah yang dikemukakan Nabi Musa a.s. ketika menjawab tuduhan Fir’aun bahwa beliau secara zalim telah memukul  dengan sengaja seorang  dari kaum Fir’aun sehingga ia tewas, firman-Nya:
قَالَ اَلَمۡ  نُرَبِّکَ فِیۡنَا وَلِیۡدًا وَّ لَبِثۡتَ فِیۡنَا مِنۡ عُمُرِکَ  سِنِیۡنَ ﴿ۙ﴾  وَ فَعَلۡتَ فَعۡلَتَکَ الَّتِیۡ فَعَلۡتَ وَ اَنۡتَ مِنَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾  قَالَ فَعَلۡتُہَاۤ  اِذًا وَّ اَنَا مِنَ الضَّآلِّیۡنَ ﴿ؕ﴾  فَفَرَرۡتُ مِنۡکُمۡ  لَمَّا خِفۡتُکُمۡ  فَوَہَبَ لِیۡ رَبِّیۡ حُکۡمًا وَّ جَعَلَنِیۡ مِنَ الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾  وَ تِلۡکَ نِعۡمَۃٌ  تَمُنُّہَا عَلَیَّ  اَنۡ عَبَّدۡتَّ بَنِیۡۤ   اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿ؕ﴾
Fir’aun berkata: “Ya Musa, bukankah kami telah memelihara  engkau  di antara kami ketika engkau kanak-kanak, dan engkau benar-benar telah tinggal di antara kami beberapa tahun dalam hidup engkau. Dan engkau telah melakukan perbuatan yang pernah engkau lakukan  itu dan engkau dari antara orang yang tidak berterimakasih.   قَالَ فَعَلۡتُہَاۤ  اِذًا وَّ اَنَا مِنَ الضَّآلِّیۡنَ -- Musa berkata: “Aku telah melakukannya  demikian dan ketika itu aku dalam keadaan kalut. Maka aku melarikan diri dari kamu tatkala aku takut kepada kamu, lalu Rabb-ku (Tuhan-ku) menganugerahkan kepadaku hikmah dan menjadikan aku seorang dari rasul-rasul. Dan apakah nikmat pemeliharaan   yang  engkau telah memberikannya  kepadaku itu sehingga engkau beralasan  telah memperbudak Bani Israil?” (Asy-Syu’ara [26]:19-23).
       Dhall berasal dari kata dhalla yang berarti: ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan; ia berada dalam keadaan pikiran kalut; ia tenggelam dalam kecintaan (Lexicon Lane). Tatkala orang Israil itu memanggil beliau dan minta menolongnya terhadap orang Mesir, Nabi Musa a.s. tidak tahu apa yang harus beliau lakukan, oleh karena hasrat beliau besar sekali untuk menolong orang Israil yang malang dan tidak berdaya itu (QS.28:16-21), beliau secara spontan memberi pukulan keras sehingga membuat orang itu mati terkapar.
      Kematian orang Mesir itu tidak terduga sebab satu pukulan dengan tinju biasanya tidak menyebabkan kematian seseorang. Atau ayat ini dapat juga diartikan,  bahwa disebabkan oleh besarnya kecintaan Nabi Musa a.s.  kepada orang-orang tertindas, beliau datang menolong orang Israil dan meninju orang Mesir itu, sehingga mengakibatkan kematiannya. Atau artinya ialah, bahwa beliau melakukan hal itu, karena tidak menginsyafi akibat-akibatnya.
        Hakikat bahwa sesudah membunuh orang Mesir itu Nabi Musa a.s.  melarikan diri, lalu Allah Swt. mengangkat beliau sebagai seorang nabi —sungguh suatu nikmat Ilahi yang besar sekali— merupakan suatu bukti, bahwa apa yang telah dilakukan oleh Nabi Musa a.s. itu adalah suatu perbuatan yang tidak disengaja dan dilakukan karena dorongan hati yang terbetik secara tiba-tiba akibat kecintaan  beliau terhadap orang  Israil yang dizalimi oleh orang Mesir.

Pelanggaran Tidak Sengaja yang Dilakukan Nabi Adam a.s. & Doa Khusus Memohon Tambahan Pengetahuan

        Kalau benar bahwa – sebagaimana tuduhan Fir’aun   -- perbuatan Nabi Musa a.s. memukul seorang bangsa Mesir hingga mati merupakan perbuatan dosa yang sengaja dilakukan oleh Nabi Musa a.s., tetapi mengapa dalam kenyataannya  setelah Nabi Musa a.s. melarikan diri ke Midian kemudian Allah Swt. malah mengangkat beliau sebagai seorang Rasul Allah? Firman-Nya:
فَفَرَرۡتُ مِنۡکُمۡ  لَمَّا خِفۡتُکُمۡ  فَوَہَبَ لِیۡ رَبِّیۡ حُکۡمًا وَّ جَعَلَنِیۡ مِنَ الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾
Musa berkata: “Aku telah melakukannya  demikian dan ketika itu aku dalam keadaan kalut. Maka aku melarikan diri dari kamu tatkala aku takut kepada kamu, lalu Rabb-ku (Tuhan-ku) menganugerahkan kepadaku hikmah dan menjadikan aku seorang dari rasul-rasul.     (Asy-Syu’ara [26]:22).
       Sebelumnya, kasus “pelanggaran” terhadap “larangan” (perintah) Allah Swt. yang tidak disengaja pun telah  dilakukan oleh  Adam (QS.7:12-26) tetapi dalam kenyataannya Allah Swt. malah mengangkat Adam sebagai Rasul Allah,  dengan demikian jelaslah  bahwa perbuatan yang dilakukan oleh kedua orang hamba Allah Swt.  yang tidak dilandasi dengan niat (tekad) untuk melakukan pelanggaran terhadap perintah (larangan)   tersebut bukan merupakan dosa,   berikut firman-Nya mengenai hal tersebut:
وَ کَذٰلِکَ اَنۡزَلۡنٰہُ  قُرۡاٰنًا عَرَبِیًّا وَّ صَرَّفۡنَا فِیۡہِ مِنَ الۡوَعِیۡدِ لَعَلَّہُمۡ یَتَّقُوۡنَ اَوۡ  یُحۡدِثُ  لَہُمۡ  ذِکۡرًا﴿﴾  فَتَعٰلَی اللّٰہُ  الۡمَلِکُ الۡحَقُّ ۚ وَ لَا تَعۡجَلۡ بِالۡقُرۡاٰنِ مِنۡ قَبۡلِ اَنۡ یُّقۡضٰۤی اِلَیۡکَ وَحۡیُہٗ ۫ وَ  قُلۡ  رَّبِّ  زِدۡنِیۡ  عِلۡمًا ﴿﴾  وَ لَقَدۡ عَہِدۡنَاۤ  اِلٰۤی اٰدَمَ مِنۡ قَبۡلُ فَنَسِیَ  وَ  لَمۡ  نَجِدۡ  لَہٗ  عَزۡمًا ﴿﴾٪
Dan demikianlah  Kami telah menurunkannya Al-Quran dalam bahasa Arab dan Kami telah menerang-kan berulang-ulang di dalamnya berbagai macam ancaman supaya mereka bertakwa atau supaya  perkataan ini mengingatkan mereka. Maka Mahatinggi Allah, Raja Yang Haq. Dan janganlah engkau tergesa-gesa membaca Al-Quran sebelum pewahyuannya dilengkapkan kepada engkau,  وَ  قُلۡ  رَّبِّ  زِدۡنِیۡ  عِلۡمًا  --  dan katakanlah: "Ya  Rabb-ku (Tuhan‑ku), tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan?”  Dan  sungguh  Kami benar-benar telah membuat perjanjian de-ngan Adam sebelum ini tetapi ia telah lupa dan Kami tidak mendapatkan padanya tekad  untuk berbuat dosa. (Thā Hā [20]:114-116). 
 Sehubungan dengan ayat  وَ  قُلۡ  رَّبِّ  زِدۡنِیۡ  عِلۡمًا  --   dan katakanlah, ‘Ya  Rabb-ku (Tuhan‑ku), tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan?” Nabi Besar Muhammad saw.  diriwayatkan pernah bersabda: "Carilah ilmu pengetahuan sekalipun mungkin ditemukannya jauh di rantau Cina" ( Tafsir Shagir, jilid I). Di tempat lain dalam Al-Quran telah dilukiskan sebagai "karunia Allah yang sangat besar" (2:270 & 4:114). Ilmu itu ada dua macam:
 (a) ilmu yang dianugerahkan kepada manusia dengan perantaraan wahyu    yang telah mencapai kesempurnaan dalam wujud Al-Quran.
(b) ilmu yang didapatkan oleh manusia dengan usaha dan jerih-payahnya sendiri.
  Ayat 116   وَ لَقَدۡ عَہِدۡنَاۤ  اِلٰۤی اٰدَمَ مِنۡ قَبۡلُ فَنَسِیَ  وَ  لَمۡ  نَجِدۡ  لَہٗ  عَزۡمًا   --  Dan  sungguh  Kami benar-benar telah membuat perjanjian dengan Adam sebelum ini tetapi ia telah lupa dan Kami tidak mendapatkan padanya tekad  untuk berbuat dosa,  menunjukkan bahwa kealpaan Nabi Adam a.s.  hanyalah disebabkan oleh kekeliruan dalam pertimbangan. Kekeliruan yang dilakukan oleh Nabi Adam a.s. itu tanpa disengaja dan sama sekah tidak dengan suatu niat atau kehendak, melainkan semata-mata karena kekeliruan  dalam merespons (menanggapi)  perangkap “bujuk-rayu” syaitan yang menipu (QS.7:21-23), karena manusia tidak luput dari kesalahan.
    Agar Nabi Besar Muhammad saw. terhindar dari kekeliruan maka Allah Swt. telah mengajarkan sebuah doa khusus agar tidak mengalami kesalahan-pertimbangan  yang dilakukan oleh Adam terhadap  jebakan “buruk-rayu” syaitan yang menipu (QS.31:34), yaitu beliau saw. harus menunggu pewahyuan Al-Quran dari Allah Swt. selengkapnya.

Dua Macam “Fāna” Nabi Besar Muhammad Saw. 

    Jadi, kembali kepada kata dhāllan  dan dhāllīn  berkenaan dengan Nabi Besar Muhammad saw. dan Nabi Musa a.s., sama sekali  kata tersebut tidak dapat diartikan dengan makna sesat, melainkan dalam makna fana atau hilang-sirna atau tenggelam dalam kecintaan  terhadap kaum kedua hamba Allah tersebut, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ وَ الضُّحٰی ۙ﴿﴾ وَ الَّیۡلِ  اِذَا سَجٰی ۙ﴿﴾  مَا وَدَّعَکَ رَبُّکَ وَ مَا قَلٰی ؕ﴿﴾  وَ  لَلۡاٰخِرَۃُ  خَیۡرٌ لَّکَ مِنَ الۡاُوۡلٰی ؕ﴿﴾  وَ  لَسَوۡفَ یُعۡطِیۡکَ رَبُّکَ فَتَرۡضٰی ؕ﴿﴾  اَلَمۡ  یَجِدۡکَ یَتِیۡمًا فَاٰوٰی ۪﴿﴾  وَ  وَجَدَکَ ضَآلًّا فَہَدٰی ۪﴿﴾  وَ وَجَدَکَ عَآئِلًا فَاَغۡنٰی ؕ﴿﴾  فَاَمَّا  الۡیَتِیۡمَ  فَلَا تَقۡہَرۡ ؕ﴿﴾  وَ اَمَّا السَّآئِلَ  فَلَا تَنۡہَرۡ ﴿ؕ﴾ وَ اَمَّا بِنِعۡمَۃِ  رَبِّکَ  فَحَدِّثۡ ﴿٪﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.  Demi terangnya sinar pagi ketika sedang naik.   Dan demi malam apabila kegelapannya menyebar. Sekali-kali Rabb (Tuhan) engkau tidak meninggalkan engkau  dan tidak pula Dia murka atas engkau.  Dan sesungguhnya keadaan  kemudian lebih baik bagi engkau daripada keadaan permulaan.  Dan Rabb (Tuhan) engkau  segera akan  memberikan kepada engkau hingga engkau menjadi puas.  Tidakkah Dia  mendapati engkau yatim lalu Dia memberikan perlindungan? وَ  وَجَدَکَ ضَآلًّا   --  dan Dia mendapati engkau larut/tenggelam dalam kecintaan kepada kaum engkau,  فَہَدٰی   --   lalu Dia memberi engkau petunjuk.    Dan Dia mendapati engkau berkekurangan lalu Dia memperkaya engkau. Karena itu terhadap anak yatim maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang, dan terhadap orang yang meminta-minta  janganlah engkau menghardik, dan terhadap nikmat Rabb (Tuhan) engkau hendaknya menyatakannya.   (Adh-Dhuha [93]:1-12).
       Berikut firman-Nya  mengenai Nabi Musa a.s.  mengenai pemukulan secara spontan yang dilakukan beliau  terhadap bangsa Mesir    -- karena  adanya rasa cinta  terhadap seorang Israil yang meminta tolong kepada beliau --  orang  sehingga menyebabkan orang Mesir tersebut  mati:
فَفَرَرۡتُ مِنۡکُمۡ  لَمَّا خِفۡتُکُمۡ  فَوَہَبَ لِیۡ رَبِّیۡ حُکۡمًا وَّ جَعَلَنِیۡ مِنَ الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾
Musa berkata: “Aku telah melakukannya  demikian dan ketika itu aku dalam keadaan kalut. Maka aku melarikan diri dari kamu tatkala aku takut kepada kamu, lalu Rabb-ku (Tuhan-ku) menganugerahkan kepadaku hikmah dan menjadikan aku seorang dari rasul-rasul.     (Asy-Syu’ara [26]:22).

Peristiwa Mi’raj (Kenaikan Ruhani) Nabi Besar Muhammad Saw.

       Dalam kaitannya dengan “sungai khamar” serta “kemabukan ruhani” yang dialami para penempuh  suluk (jalan ruhani)   -- sebagaimana telah dikemukakan berkenaan dengan dua Sufi terkenal:  Abu Yazid al-Bisthami dan Mansyur “Al-Hallaj” sehingga  dalam keadaan “mabuk ruhani” mengucapkan kata-kata (ucapan-ucapan) yang sukar  difahami oleh orang-orang yang belum mencapai tingkatan  fana atau  keadaan  dhāllan”  atau “dhāllin  atau “manunggal” seperti itu, dalam Al-Quran Allah Swt. mengemukakan dua macam  fana, yakni (1) yang berkaitan dengan Tuhan (Allah Swt.) yakni  Haququllah (pemenuhan hak-hak Allah Swt.)   dan (2) yang berkaitan dengan umat manusia yakni  haququl-‘Ibad (pemenuhan hak-hak sesame  hamba Allah Swt.), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  وَ النَّجۡمِ   اِذَا ہَوٰی  ۙ﴿﴾  مَا ضَلَّ صَاحِبُکُمۡ  وَ مَا غَوٰی ۚ﴿﴾  وَ مَا یَنۡطِقُ عَنِ  الۡہَوٰی  ؕ﴿﴾  اِنۡ  ہُوَ   اِلَّا  وَحۡیٌ   یُّوۡحٰی  ۙ﴿﴾  عَلَّمَہٗ  شَدِیۡدُ الۡقُوٰی  ۙ﴿﴾ ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ  فَاسۡتَوٰی ۙ﴿﴾  وَ ہُوَ  بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی ؕ﴿﴾   ثُمَّ  دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾  فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ  اَوۡ اَدۡنٰی  ۚ﴿﴾ فَاَوۡحٰۤی  اِلٰی عَبۡدِہٖ  مَاۤ  اَوۡحٰی  ﴿ؕ﴾  مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ  مَا  رَاٰی  ﴿﴾ اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ  عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ  نَزۡلَۃً   اُخۡرٰی  ﴿ۙ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ  الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾  عِنۡدَہَا جَنَّۃُ  الۡمَاۡوٰی  ﴿ؕ﴾ اِذۡ  یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ  مَا یَغۡشٰی  ﴿ۙ﴾  مَا زَاغَ الۡبَصَرُ  وَ مَا طَغٰی ﴿﴾  لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ  الۡکُبۡرٰی ﴿﴾ 
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.  Demi bintang apabila  jatuh.  Sahabat kamu  tidak  sesat   dan tidak pula keliru  Dan ia sekali-kali tidak berkata-kata menuruti keinginannya.   Perkataannya itu tidak lain me-lainkan wahyu yang diwahyukan.  Tuhan Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya,     Pemilik Kekuatan, lalu  Dia bersemayam  di atas ‘Arasy,  dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullāh, berada di  aufuk tertinggi. (An-Najm [53]:1-8).
  An-najm berarti bintang atau tumbuhan yang tidak berbatang. Tetapi bila dikenakan sebagai kata pengganti nama kata itu berarti “Bintang Tujuh “ (Bintang Kartika atau Pleiades). Kata itu dianggap juga oleh beberapa ulama sebagai mengandung arti pewahyuan  Al-Quran yang diwahyukan secara berangsur-angsur.
   Oleh beberapa sumber lainnya  kata an-Najm dianggap mengisyaratkan kepada Nabi Besar Muhammad saw.   sendiri, karena dalam QS.33:46-47 beliau saw. disebut sebagai sirājan- munāran (bintang yang becahaya cemerlang). Kata jamaknya an-nujum, berarti juga para kepala kaum atau kepala negara-negara kecil atau jajahan atau kerajaan-kerajaan kecil (Kasysyaf, Taj-ul ’Arus & Ghara’ib-al-Quran).
    Mengingat akan arti yang berbeda-beda maka kata an-najm dalam ayat ini dapat diterangkan:
    (1) Menurut sebuah hadits yang masyhur, sehubungan dengan diwahyukan-Nya Surah Al-Jumu’ah ayat 3-4, Nabi Besar Muhammad saw.   pernah mengatakan: “Manakala kegelapan ruhani meliputi seluruh permukaan bumi dan tidak ada yang tinggal dari Islam kecuali namanya, dan tidak ada dari Al-Quran kecuali hurufnya dan iman terbang ke Bintang Tsuraya, maka seorang laki-laki dari keturunan Parsi akan membawanya kembali ke bumi” (Bukhari).
    (2) Kata an-najm dalam arti bintang  dapat berarti bahwa Al-Quran memberi kesaksian atas kebenarannya sendiri, sebagaimana matahari memberikan kesaksian atas keberadaan dirinya sendiri sebagai sumber cahaya yang sangat  cemerlang (QS.33:46-48).
    (3) Kata an-najm dalam arti  tumbuhan yang tidak berbatang” mengandung makna bahwa Pohon Islam yang masih lemah, kini seperti akan tumbang oleh angin perlawanan kuat lagi tidak bersahabat yang bertiup kencang dan sengit ke arahnya, tidak lama lagi akan bangkit dan berkembang menjadi pohon megah, dan di bawah naungannya yang sejuk, bangsa-bangsa besar akan berteduh (QS.14:25-26; QS.48:30).
  (4) Karena orang-orang Arab sudah biasa menetapkan arah dan tujuan serta dibimbing dalam perjalanan mereka  pada malam hari di padang pasir Arabia oleh peredaran bintang-bintang (QS.16:17), demikianlah mereka sekarang secara ruhani akan dibimbing ke tujuan ruhani mereka oleh bintang yang paling cemerlang (QS.33:46-48) dan “cahaya di atas cahaya” – QS.24:36)  yakni  Nabi Besar Muhammad saw..
  (5) Ayat ini dapat juga mengandung sebuah nubuatan tentang jatuhnya negeri Arab yang sudah bobrok, yang digambarkan dalam  beberapa Surah Al-Quran sebagai “bintang-bintang berjatuhan” (QS.77:9; QS.81:1-15; QS.82:1-6). Al-Quran suatu nubuatan yang lebih jelas lagi diterangkan dalam QS.54:2. tentang “terbelahnya bulan.”
 Makna ayat مَا ضَلَّ صَاحِبُکُمۡ  وَ مَا غَوٰ -- “Sahabat kamu  tidak  sesat   dan tidak pula keliru” , yaitu bahwa cita-cita dan asas-asas yang dikemukakan oleh  Nabi Besar Muhammad saw.   tidak salah  lagi pula beliau sekali-kali tidak menyimpang dari asas-asas itu  (yakni beliau saw. juga tidak tersesat). Dengan demikian mengingat cita-cita luhur dan mulia beliau saw. dan mengingat pula cara beliau saw. menjalani hidup sesuai dengan cita-cita itu, beliau   saw. dalah penunjuk-jalan yang terjamin dan aman.   ۚ   وَ مَا یَنۡطِقُ عَنِ  الۡہَوٰی     – “Dan ia sekali-kali tidak berkata-kata menuruti keinginannya.” Keterangan itu lebih diperkuat lagi dalam beberapa ayat-ayat berikutnya.
     Ayat    اِنۡ  ہُوَ   اِلَّا  وَحۡیٌ   یُّوۡحٰی     -- “Perkataannya itu tidak lain melainkan wahyu yang diwahyukan.” membicarakan sumber asal wahyu  Nabi Besar Muhammad saw.  yang adalah dari Allah Swt. , maka dua ayat sebelumnya mengisyaratkan kepada khayalan kosong orang yang berotak miring dan kepada alam pikiran yang timbul dari nafsu pribadinya dan dorongan-dorongan ruh jahat.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  18 Maret      2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar