Selasa, 20 Mei 2014

Pendapat Al-Masih Mau'ud a.s. Mengenai Panganut Faham "Wihdatul- Wujud"



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   223

 Pendapat Al-Masih Mau’ud a.s. Mengenai Faham Wihdatul Wujud    

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam  akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai     3 alasan    kenapa mereka yang merasa telah mengalami keadaan ittihad atau hulul  lalu  -- karena menganggap diri mereka telah “bersatu” dengan Allah Swt. secara  dzat   lalu mengabaikan  kewajiban melaksanakan syariat   --  dianggap sesat?
       (3) Dalam peristiwa mi’raj,  dari ayat   ثُمَّ  دَنَا فَتَدَلّٰی   --  “Kemudian ia, Rasulullah, mendekati Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya,   فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ  اَوۡ اَدۡنٰی    -- “maka jadilah ia, seakan-akan, seutas tali dari dua buah busur, atau lebih dekat lagi” (QS.53:9-10) diketahui, bahwa terjadinya “pertemuan  (manunggal) atau fana  antara seseorang hamba  (manusia)  dengan Allah Swt. dalam tingkatan  fana fillāh  adalah karena  adanya pergerakan saling mendekat kedua belah pihak   -- yakni Allah Swt.  bergerak “turun mendekati” hamba-hamba-Nya yang bergerak “naik mendekati” kepada-Nya.
         Dengan demikian tingkatan kualitas   ittihad atau hulul   atau “manunggal Nabi Adam a.s.  yang berada pada tingkatan langit  pertama pada peristiwa mi’raj  tersebut berbeda dengan kualitas  ittihad atau hulul   atau “manunggal” yang dialami  Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dan Nabi Yahya a.s. yang berada pada tingkatan langit kedua;  demikian kualitas ittihad atau hulul   atau “manunggal   antara   Nabi Musa a.s.   berbeda  dengan  Nabi Ibrahim a.s. yang ada pada tingkatan langit ketujuh.
       Terlebih lagi jika dibandingkan  dengan kualitas   ittihad atau hulul   atau “manunggal” paling   sempurna Nabi Besar Muhammad saw.  (QS.6:162-164) yang telah mencapai “Sidratul Muntaha”, lebih lanjut Allah Swt. berfirman mengenai hal tersebut:
ثُمَّ  دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾  فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ  اَوۡ اَدۡنٰی  ۚ﴿﴾    فَاَوۡحٰۤی  اِلٰی عَبۡدِہٖ  مَاۤ  اَوۡحٰی  ﴿ؕ﴾  مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ  مَا  رَاٰی  ﴿﴾ اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ  عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ  نَزۡلَۃً   اُخۡرٰی  ﴿ۙ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ  الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾  عِنۡدَہَا جَنَّۃُ  الۡمَاۡوٰی  ﴿ؕ﴾    اِذۡ  یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ  مَا یَغۡشٰی  ﴿ۙ﴾  مَا زَاغَ الۡبَصَرُ  وَ مَا طَغٰی ﴿﴾  لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ  الۡکُبۡرٰی ﴿﴾
Kemudian ia, Rasulullah, mendekati Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya,  maka jadilah ia, seakan-akan, seutas tali dari dua buah busur, atau lebih dekat lagi.  فَاَوۡحٰۤی  اِلٰی عَبۡدِہٖ  مَاۤ  اَوۡحٰی    -- lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan.   مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ  مَا  رَاٰی  -- Hati Rasulullah sekali-kali tidak berdusta apa yang dia lihat.   Maka apakah kamu membantahnya mengenai apa yang telah dia lihat?   وَ لَقَدۡ رَاٰہُ  نَزۡلَۃً   اُخۡرٰی  -- dan  sungguh   dia benar-benar melihat-Nya kedua kali, عِنۡدَ سِدۡرَۃِ  الۡمُنۡتَہٰی --  dekat pohon Sidrah tertinggi,     عِنۡدَہَا جَنَّۃُ  الۡمَاۡوٰی  -- yang di dekatnya ada surga tempat tinggal.  اِذۡ  یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ  مَا یَغۡشٰی    -- ketika pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu yang menyelubungi.   مَا زَاغَ الۡبَصَرُ  وَ مَا طَغٰی   --  penglihatannya  sekali-kali tidak menyimpang dan tidak pula melantur.    لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ  الۡکُبۡرٰی    -- sungguh  ia benar-benar melihat Tanda paling besar dari Tanda-tanda Tuhan-Nya.  (An-Najm [53]:9-19).
         Itulah sebab ketika Nabi Musa a.s. ingin  menyaksikan penjelmaan Tajalliyyati Ilahiyah sempurna kepada Nabi Besar Muhammad saw., yang diperlihatkan Allah Swt.  melalui sebuah gunung --    kemudian hancur-lebur karena “tidak sanggup memikulnya” (QS.33:73) – maka Nabi Musa a.s. rebah  pingsan karena  beliau  tidak  mampu mengalami “goncangannya” yang sangat dahsyat, sehingga telah Nabi Musa a.s. sadar dari “pingsannya” langsung mengakui kesempurnaan tingkatan fāna filLāh  Nabi Besar Muhammad saw. dan menyatakan “beriman” kepada  beliau saw.,  سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ  اِلَیۡکَ  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ  -- “Mahasuci Engkau, aku bertaubat  kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.”  (Al-A’rāf [7]:144).
        Sehubungan dengan “terbakarnya sayap malaikat” atau pun “pingsannya” Nabi Musa a.s. tersebut, dalam buku Misykatul-Anwar  (Pelita Cahaya-cahaya)   Hujjatul Islam, Imam Ghazali, dalam menerangkan ayat Al-Quran tentang “Cahaya di atas cahaya” (QS.24:36) mengemukakan hadits Nabi Besar Muhammad saw. yang menerangkan bahwa:
Allah Swt. memiliki 70.000 hijab (tirai penutup) cahaya dan kegelapan. Seandainya Dia menyibakkannya niscaya cahaya-cahaya Wajah-Nya akan membakar siapa saja yang memandangnya.
      Dalam bahasa Arab sebutan 7, 70, 700 dst mengisyaratkan kepada jumlah yang tak terbilang, dengan demikian penyebutan “70.000 hijab” secara kiasan mengisyaratkan bahwa “Wajah” Allah Swt. memiliki lapisan-lapisan hijab yang tak terhingga jumlahnya, dan setiap  hijab  berikutnya lebih sempurna dalam segala seginya daripada hijab sebelumnya.
       Dalam Al-Quran Allah Swt. telah menegaskan bahwa  hal-hal gaib Allah Swt.  atau rahasia-rahasia gaib-Nya tidak dibukakan kepada siapa pun kecuali kepada Rasul-rasul Allah (QS.3:180; QS.73:27-29), contohnya  adalah mengajarkanm rahasia al-Asmaa  Allah Swt. kepada Adam sebagai Khalifah-Nya (QS.3:31-35).

Tuhan Tidak Terbatas

       Oleh karena  itu jika ada penganut faham Wihdatul- wujud  menganggap dirinya telah  bersatu  dengan Allah Swt.  dari segi zat dalam makna harfiah  pada hakikatnya mereka itu  tidak memiliki makrifat Ilahi yang benar, sebab Allah Swt. itu    -- baik dari segi Zat mau pun Sifat-sifat sempurnnya --    tidak terbatas. Tidak ada  sesuatu pun yang seperti Tuhan (QS.42:12); tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya (QS.114:5); penglihatan tidak mencapai-Nya tetapi Dia mencapai penglihatan (QS.6:104).
       Pada tanggal 18 Mei 1908, Profesor Rigg, seorang ahli astronomi dari Inggris, kembali berjumpa dengan Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s. --  Imam Mahdi a.s. dan Al-Masih Mau'ud a.s. -- melalui perantaraan Mufti Muhammad Shadiq  di Lahore. Terjadi soal-jawab antara keduanya. Salah satu pertanyaan Profesor Rigg kepada Al-Masih Mau'ud a.s. adalah:
      "Bagaimana akidah (pendapat) Tuan, apakah Tuhan itu terbatas, atau Dia ada di setiap tempat? Apakah dalam Tuhan itu terdapat suatu kepribadian ataupun perasaan­-perasaan?"
       Al-Masih Mau'ud a.s. menjawab:  Saya tidak menganggap Tuhan itu terbatas, dan tidak pula Tuhan itu sendiri terbatas. Yang saya ketahui mengenai Tuhan adalah sebagaimana Dia itu berada di Langit, seperti itu pula Dia berada di bumi. Dia mempunyai dua macam hubungan: Pertama, hubungan biasa yang Dia lakukan dengan makhluk secara umum, dan satu lagi hubungan khusus, yang Dia lakukan terhadap hamba-hamba-Nya yang khusus, yakni  hamba-hamba yang mensucikan diri mereka lalu meraih kemajuan di dalam kecintaan terhadap-Nya, dengan demikian barulah mereka menjadi begitu dekat dengan-Nya,  sehingga Dia berkata-kata dari dalam diri orang-orang itu.
     Memang suatu hal yang menakjubkan, yakni walaupun jauh Dia itu dekat. Walaupun dekat, Dia itu jauh. Dia itu sangat dekat, tetapi tidak dapat dikatakan seperti halnya suatu tubuh yang dekat dengan tubuh lain. Dan Dia itu paling tinggi, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa ada sesuatu di bawah­-Nya. Dia adalah yang paling nyata dari segala sesuatu, tetapi tetap saja Dia itu sangat halus dan renik. Seberapa banyak manusia meraih kesucian sejati maka sebanyak itu pulalah manusia itu dianugerahi pengetahuan tentang Wujud­-Nya.
       Mengenai perasaan-perasaan, tampaknya yang Anda maksudkan adalah bahwa Allah Ta’ala telah meletakkan tanggung-jawab beban syariat di atas pundak manusia, dan mengapa Dia mengikat manusia di dalam ketentuan-ketentuan haram dan halal?
      Hendaknya diketahui, bahwa sebenarnya Allah Ta’ala itu Maha Qudus, dan karena kequdusan-Nya itulah Dia tidak menyukai kekotoran. Dan dikarenakan Dia itu Maha Pemurah  lagi Maha Penyayang, oleh sebab itu Dia tidak menghendaki apabila manusia menempuh jalan-jalan yang dapat membinasakan mereka.        Jadi, inilah yang merupakan perasaan-perasaan-Nya, atas dasar itulah berlangsung tatanan agama (syariat).  ­Sekarang, terserah Anda untuk menyebut hal itu apa saja.”
      Profesor Rigg itu kembali bertanya: "Apakah Tuhan itu memiliki bentuk?" Hadhrat Masih Mau'ud a.s. menjawab:   “Tatkala Tuhan itu sendiri tidak  terbatas, maka tidak ada lagi masalah bentuk.” (Malfuzat, jld. X, hlm. 426-427).

Pendapat Mirza Ghulam Ahmad a.s. Mengenai Pentingnya Menjalin Hubungan Kecintaan Sepenuhnya  dengan Allah Swt.

        Berikut adalah penjelasan Mirza Ghulam Ahmad a.s. --  Imam Mahdi a.s. dan Al-Masih Mau’ud a.s. --  berkenaan dengan    suluk (perjalanan ruhani) yang menghasilkan keadaan yang  secara ruhani disebut  itihad atau hulul atau “manunggal (bersatu) antara hamba dengan Tuhan (Allah Swt.). Beliau bersabda:
      "Ketulusan dan keperihan bagi kecintaan terhadap Allah Ta’ala yang bercampur dengan keteguhan langkah, membuat manusia terlepas dari kondisinya sebagai manusia, lalu memasukkannya di bawah naungan bayangan Ketuhanan. Selama keperihan dan kecintaan itu belum mencapai batas tersebut -- yakni manusia masih saja tenggelam dalam kecintaan terhadap wujud-wujud selain Allah -- maka selama itu pula manusia masih tetap berada dalam ancaman bahaya.
  Penghentian bahaya-bahaya itu akan sulit bila manusia tidak melakukan pemutusan hubungan total dengan wujud­-wujud selain Allah Swt., lalu sepenuhnya menjadi milik Allah. Dan [tanpa itu] juga tidak mungkin masuk ke dalam keridhaan-Nya. Dan untuk makhluk Allah hendaknya timbul suatu keperihan sedemikian rupa seperti gejolak kecintaan sejati yang dimiliki seorang ibu sangat pengasih terhadap anak kesayangannya yang masih lemah. Allah Ta’ala menginginkan suatu hubungan. Dan untuk memanjatkan doa ke hadapan-Nya diperlukan suatu hubungan, sebab tanpa hubungan maka doa tidak dapat berlangsung.
      Orang-orang suci sebelumnya juga menyampaikan hal-hal semacam ini, yakni sebelum memohonkan doa kepada Allah Swt., orang-orang yang mengajukan permohonan doa itu ditekankan  untuk memiliki hubungan dengan pihak yang darinya mereka memohonkan doa. Sebab dengan begitu saja, seseorang tidak dapat mengatakan kepada seseorang yang dia temui di tengah pasar,  "Engkau adalah sahabatku." Bagi orang yang demikian tidak timbul keperihan kalbu, dan tidak pula dapat timbul gejolak untuk berdoa [bagi pemohon doa]
      Hubungan dengan Allah Ta’ala tidak bisa demikian, yakni manusia tetap tenggelam dalam kelalaian-kelalaian, dan hanya melalui lidahnya saja dia mengatakan bahwa dia telah menjalin hubungan dengan Allah Ta’ala. Ikrar bai'at seorang diri dan menuliskan nama di dalam Jemaat ini tidak dapat menjadi bukti adanya  hubungan dengan Allah Ta’ala. Untuk menjalin hubungan dengan Allah Ta’ala dibutuhkan suatu kemabukan [cinta].
      Saya berkali-kali menekankan kepada Jemaat saya agar berdiri teguh di atas hal ini. Sebab selama belum terjadi pemutusan hubungan dengan dunia, dan kecintaan terhadap dunia menjadi dingin di dalam kalbu-kalbu, lalu belum timbul gejolak alami dan kemabukan di dalam fitrat-fitrat manusia untuk Allah Ta’ala, maka selama itu pula tidak akan dapat diperoleh keteguhan.
       Sebagian sufi menuliskan bahwa para sahabah r.a. ketika mengerjakan shalat, mereka  begitu khusyuknya, sehingga ketika selesai shalat maka mereka tidak dapat mengenali satu sama lain. Ketika seseorang datang dari suatu tempat maka syariat memerintahkan agar dia mengucapkan "Assalaamu 'alaikum."
      Ini jugalah hakikat pengucapan "Assalaamu 'alaikum" ketika selesai shalat, yakni ketika seseorang berdiri mengerjakan shalat dan mengucapkan "Allaahu akbar," seolah-olah dia keluar dari alam ini dan telah masuk ke suatu alam baru. Seakan-akan dia telah sampai ke suatu kondisi fana (tenggelam/larut). Ketika dia kembali dari sana maka dia masuk ke kondisi yang sedang berlangsung saat itu dengan mengucapkan "Assalaamu 'alaikum wa rahmatullaah"
      Namun  bentuk zahiriah saja tidaklah cukup selama belum ada pengaruhnya dalam kalbu. Apalah yang dapat diperoleh dari kulit-kulit saja? Bentuk zahir semata tidaklah cukup, yang harus ada ialah kandungan isi. Yang menjadi tujuan adalah kandungan isi. Ucapan dan bentuk yang tidak memuat kandungan isi justru terbalik menjadi jalan-jalan kebinasaan.
      Tatkala manusia menciptakan kandungan isi  dan menimbulkan suatu kecintaan serta ketulusan sejati terhadap Sang Khaliq,  Malik Hakiki, serta tanpa kendali lagi mulai terbang ke arah-Nya, dan mulai timbullah suatu kondisi kefanaan yang sejati, maka pada saat itu berdasarkan kondisi tersebut manusia seakan-akan menjadi raja, dan setiap zarah (partikel) menjadi khadimnya (pengkhidmatnya).
      Allah Ta’ala telah menganugerahkan kefanaan sedemikian rupa kepada saya, sehingga saya hidup terpisah dari seluruh dunia. Saya sama-sekali tidak suka terhadap seluruh benda kecuali Dia. Saya benar-benar tidak ingin mengayunkan langkah ke luar dari ruangan saya. Saya tidak suka kemasyhuran walau satu detik pun. Saya benar-benar seorang diri saat itu, dan saya suka terhadap kesendirian. Bagaimana saya tidak suka terhadap kemasyhuran dan keramaian, hanya Allah sajalah yang tahu. Saya secara alami menghendaki kondisi dimana saya tidak dikenali oleh siapa pun. Dan itulah keinginan saya.
       Namun Allah Ta’ala memaksa saya lalu mengeluarkan saya dari kondisi itu. Hal itu sama-sekali bukan keinginan  saya. Namun Allah telah melakukan hal yang bertentangan dengan keinginan saya. Sebab Dia ingin menugaskan saya. Untuk tugas itu Allah telah memilih saya, dan dengan karunia-Nya Dia telah menempatkan saya pada penugasan yang tangguh ini.
        Ini adalah pilihan dan pekerjaan Allah. Saya sedikit pun tidak ada campur-tangan di dalamnya. Saya melihat bahwa kalbu saya adalah sedemikian rupa, yakni kalbu ini melarikan diri jauh-jauh dari kemasyhuran dan keramaian. Dan saya tidak dapat mengerti, bagaimana orang-orang menginginkan kemasyhuran.
      Kalbu saya condong ke arah lain, namun Allah Ta’ala membawa saya ke arah lain lagi. Saya berkali-kali telah berdoa supaya diizinkan untuk tetap berada di dalam kesendirian saja, supaya saya dibiarkan berada di dalam kamar khalwat saya, namun  berkali-kali telah diperintahkan supaya saya keluar dari situ, dan supaya saya menangani tugas-tugas keagamaan yang pada saat ini berada dalam kondisi musibah.
      Begitu jugalah kondisi kalbu para nabi. Yakni mereka tidak menginginkan kemasyhuran. Tidak ada seorang nabi pun yang pernah menghendaki kemasyhuran. Rasulullah saw. juga suka terhadap khalwat dan kesendirian. Untuk melakukan ibadah, beliau pergi jauh-jauh dari manusia di sebuah gua yang sepi, yaitu gua Hira. Gua ini begitu menakutkan, sehingga tidak ada orang yang berani masuk ke dalamnya. Namun, beliau menyukai tempat itu justru karena tidak ada orang yang berani datang ke sana.  
      Beliau saw. benar-benar menginginkan kesendirian. Beliau sama­ sekali tidak suka terhadap kemasyhuran. Namun turun perintah Allah Ta’ala,  "Yaa ayyuhal- muddatstsir, qum fa-andzir – (Hai orang   yang  berselubung, bangunlah, lalu berikan peringatan]" (Al-Muddatstsir ).  Kata “bangunlah”  di dalam perintah itu tampak suatu pemaksaan. Dan karena itulah secara paksa telah diperintahkan supaya sejak saat itu beliau saw. meninggalkan kesendirian yang sangat beliau saw. sukai tersebut.
       Sebagian orang secara bodoh dan tolol beranggapan bahwa seolah-olah saya  ini menyukai kemasyhuran. Saya berkali-kali telah mengatakan bahwa saya sama-sekali tidak suka kemasyhuran. Allah Ta’ala secara paksa telah mengutus saya. Ini bukan kesalahan saya. Dan Allah sendiri menjadi saksi bahwa saya tidak suka kemasyhuran. Saya dahulu justru melarikan diri ribuan mil dari dunia.
      Orang-orang yang dengki, karena pandangan mereka hanya terbatas pada bumi (duniawi) dan benda-benda yang ada di dalamnya, dan mereka merupakan cacing-cacing dunia, serta sangat suka terhadap kemasyhuran, oleh karena itu mereka tidak dapat memahami sikap suka terhadap khalwat dan kesendirian ini.
     Saya tidak menginginkan dunia. Jika mereka ingin dan mereka memiliki kuasa untuk itu, silahkan mereka ambil seluruh dunia ini. Saya sedikit pun tidak keberatan. Iman saya terdapat di dalam kalbu saya, bukan dengan dunia. Satu detik pun di dalam kesendirian saya itu begitu berharga, sehingga demi nilai satu detik tersebut seluruh dunia hendaknya dikurbankan. Kalbu dan perasaan ini tidak diketahui oleh siapa pun kecuali Tuhan.
      Namun saya telah mengorbankan jiwa, harta, kehormatan demi perintah Allah Ta’ala. Ketika Allah Ta’ala memunculkan manifestasi-Nya (perjelmaan-Nya) di dalam kalbu seseorang maka orang itu tidak lagi akan terselubung. Seorang pencinta --  bagaimana pun dia menyelubungi kecintaannya --  orang yang menemukan dan yang memahami rahasia  akan dapat mengenalinya melalui bukti-bukti, tanda-tanda dan kondisi.
      Seorang pencinta mengalami kondisi yang penuh keresahan. Kesedihan melanda seluruh wujudnya. Tampil darinya pemikiran-pemikiran dan kondisi-kondisi yang lain. Walau pun dia menyembunyikan dirinya di balik ribuan tabir sekali pun tetap saja dia tidak dapat bersembunyi....
     Orang-orang yang       memiliki kecintaan Ilahi, mereka menyembunyikan kecintaan tersebut, yang mengakibatkan kalbu mereka menjadi penuh bahagia. Justru jika kecintaan itu ketahuan maka mereka menjadi malu. Sebab kecintaan itu merupakan suatu rahasia yang berlangsung antara Allah dan hamba-Nya, dan senantiasa bila suatu rahasia terbuka akan menimbulkan rasa malu.
      Tidak ada Seorang rasul pun yang tidak memiliki rahasia dengan Allah Ta’ala. Di dalam diri nabi itu terdapat keinginan untuk menyembunyikan rahasia itu. Namun Sang Kekasih memaksa untuk membukakan rahasia tersebut. Orang yang tidak menginginkan hal itu  justru dialah yang memperolehnya, sedangkan orang yang menginginkan hal itu, justru dia tidak memperolehnya. Dan orang yang tidak menginginkan itu  dia memperolehnya secara paksa.
        Selama manusia berada dalam kondisi hina, pemikiran-pemikirannya pun juga hina. Seberapa banyak kesulitan timbul dalam hal makrifat (pengetahuan)  maka sebanyak itu pulalah terjadi kekurangan dalam cinta. Melalui makrifat timbul prasangka baik. Di dalam diri setiap orang kecintaan itu timbul berdasarkan prasangkanya (pemikirannya). Ini jugalah ajaran yang didapat dari "Anaa 'inda zhanni 'abdii bii – Aku (Allah) tampil sesuai prasangka hamba-Ku."
       Seorang pencinta sejati, memiliki prasangka baik terhadap Allah Ta’ala bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan dirinya. Allah Ta’ala menyukai sikap setia, bahkan Dia menginginkan agar manusia memperlihatkan ketulusan serta menerapkan prasangka baik terhadap-Nya, supaya Dia pun memperlihatkan kesetiaan-Nya.
       Namun kapan pula orang-orang [duniawi]  ini dapat memahami hakikat  tersebut? Mereka ini adalah orang-orang yang selalu bersujud di hadapan berhala-berhala  hawa-nafsu mereka, dan pandangan mereka hanya tertuju pada dunia. Mereka tidak  menganggap Allah Ta’ala sebagai Wujud Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Mereka sedikit pun tidak percaya pada janji-janji Allah. Agar mereka percaya pada janji­janji Allah Ta’ala -- bahwa Allah itu Maha Pemurah dan Maha Penyayang -- maka Allah pun akan menurunkan bukti-bukti rahmat serta kesetiaan atas diri orang-orang itu...”  (Malfuzat, jld. VII, hlm. 42-46).

Puncak Tobat adalah Fana

        Selanjutnya mengenai  masalah fana,  Pendiri Jemaat Ahmadiyah    -- Mirza Ghulam Ahmad a.s. -- menjelaskan:
    Puncak taubat adalah fana (larut/sirna),  yang artinya ruju' (kembali meleburkan wujud pada Allah – pent.), yakni dekat dengan Allah Ta’ala. Inilah api yang membuat manusia menjadi bersih. Seseorang yang takut melangkahkan kaki ke dekat api itu karena takut terbakar berarti dia tidak sempurna. Namun orang yang melangkahkan kaki maju, dia itu bagaikan laron  yang terbang ke arah api lalu menjatuhkan diri di dalam api itu sehingga tubuhnya terbakar, orang yang seperti itu berhasil. Puncak dari upaya-upaya gigih adalah fana itu tadi……    
       Lebih lanjut dari itu, yakni liqa (perjumpaan Ilahi – pent.) bukanlah suatu hal yang diupayakan, melainkan suatu anugerah. Puncak dari upaya itu adalah mati (fana) dan itu merupakan pembenihan, setelah itu  menumbuh-kembangkan  -- yakni baqa -- adalah pekerjaan Tuhan. Sebutir benih dengan masuk ke dalam tanah, sama-sekali dia menjadi lenyap, lalu Allah Ta’ala menjadikannya hijau subur. Namun tahap ini sangat mengerikan....
       Ketika seseorang melangkahkan kaki dalam suluk (perjalanan menuju Allah – pent.), maka ribuan bencana turun menimpanya, seperti seakan-akan para jin dan dewa melakukan serangan atas dirinya. Namun ketika orang itu telah memutuskan bahwa dia tidak akan kembali lagi, dan di jalan ini juga dia akan melepaskan nyawanya, maka serangan itu pun tidak akan ada lagi. Dan akhirnya bencana itu berubah menjadi sebuah kebun. Sedangkan orang yang takut terhadap hal itu, maka baginya bencana tersebut menjadi neraka.  Tahap puncak baginya benar-benar seperti neraka, supaya Allah Ta’ala dapat mengujinya. Orang yang tidak peduli terhadap neraka itu  dia berhasil. Pekerjaan ini sangat genting. Tidak ada cara lain kecuali maut.” (Malfuzat, jld. V, hlm. 183-184). 

 (Bersambung)                                  

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  26 Maret      2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar