بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab
223
Pendapat Al-Masih Mau’ud a.s. Mengenai Faham Wihdatul Wujud
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai
3 alasan kenapa mereka yang merasa telah mengalami keadaan ittihad
atau hulul lalu
-- karena menganggap diri
mereka telah “bersatu” dengan Allah
Swt. secara dzat lalu mengabaikan kewajiban melaksanakan syariat -- dianggap sesat?
(3) Dalam peristiwa mi’raj, dari ayat ثُمَّ دَنَا
فَتَدَلّٰی
-- “Kemudian ia, Rasulullah, mendekati
Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya, فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی -- “maka jadilah
ia, seakan-akan, seutas tali
dari dua buah busur, atau
lebih dekat lagi” (QS.53:9-10) diketahui,
bahwa terjadinya “pertemuan” (manunggal) atau fana antara seseorang hamba (manusia) dengan Allah
Swt. dalam tingkatan fana fillāh adalah karena adanya pergerakan
saling mendekat kedua belah
pihak -- yakni Allah Swt. bergerak “turun mendekati” hamba-hamba-Nya yang bergerak “naik mendekati” kepada-Nya.
Dengan
demikian tingkatan kualitas ittihad atau hulul atau “manunggal”
Nabi
Adam a.s. yang berada pada tingkatan
langit
pertama pada peristiwa mi’raj tersebut berbeda dengan kualitas ittihad
atau hulul atau
“manunggal” yang dialami Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dan Nabi Yahya a.s.
yang berada pada tingkatan langit kedua;
demikian kualitas ittihad atau hulul atau
“manunggal” antara
Nabi Musa a.s. berbeda dengan Nabi Ibrahim a.s. yang ada pada tingkatan
langit ketujuh.
Terlebih
lagi jika dibandingkan dengan
kualitas ittihad atau hulul atau
“manunggal” paling sempurna Nabi Besar Muhammad saw. (QS.6:162-164) yang telah mencapai “Sidratul Muntaha”, lebih lanjut Allah
Swt. berfirman mengenai hal tersebut:
ثُمَّ دَنَا
فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾ فَکَانَ قَابَ
قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی ۚ﴿﴾ فَاَوۡحٰۤی
اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ اَوۡحٰی ﴿ؕ﴾ مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا
رَاٰی ﴿﴾ اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً
اُخۡرٰی ﴿ۙ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾ عِنۡدَہَا جَنَّۃُ الۡمَاۡوٰی ﴿ؕ﴾ اِذۡ
یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی ﴿ۙ﴾ مَا زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی ﴿﴾ لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ الۡکُبۡرٰی ﴿﴾
Kemudian
ia, Rasulullah, mendekati Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya, maka jadilah
ia, seakan-akan, seutas tali
dari dua buah busur, atau
lebih dekat lagi. فَاَوۡحٰۤی
اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ اَوۡحٰی -- lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang
telah Dia wahyukan. مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا
رَاٰی -- Hati Rasulullah
sekali-kali tidak berdusta apa yang
dia lihat. Maka apakah kamu membantahnya mengenai apa yang telah dia lihat? وَ لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً
اُخۡرٰی -- dan sungguh dia
benar-benar melihat-Nya kedua kali, عِنۡدَ سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی -- dekat pohon
Sidrah tertinggi, عِنۡدَہَا جَنَّۃُ الۡمَاۡوٰی -- yang di dekatnya ada
surga tempat tinggal. اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی --
ketika pohon Sidrah diselubungi oleh
sesuatu yang menyelubungi. مَا زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی -- penglihatannya sekali-kali tidak menyimpang dan tidak
pula melantur. لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ
رَبِّہِ الۡکُبۡرٰی -- sungguh
ia benar-benar melihat Tanda
paling besar dari Tanda-tanda
Tuhan-Nya. (An-Najm [53]:9-19).
Itulah sebab ketika Nabi Musa a.s. ingin menyaksikan
penjelmaan Tajalliyyati Ilahiyah sempurna kepada Nabi Besar Muhammad saw.,
yang diperlihatkan Allah Swt. melalui
sebuah gunung -- kemudian hancur-lebur karena “tidak sanggup
memikulnya” (QS.33:73) – maka Nabi Musa a.s. rebah pingsan
karena beliau tidak mampu mengalami “goncangannya” yang
sangat dahsyat, sehingga telah Nabi Musa a.s. sadar dari “pingsannya” langsung
mengakui kesempurnaan tingkatan fāna
filLāh Nabi Besar Muhammad saw. dan
menyatakan “beriman” kepada beliau
saw., سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ اِلَیۡکَ
وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ -- “Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.” (Al-A’rāf
[7]:144).
Sehubungan
dengan “terbakarnya sayap malaikat”
atau pun “pingsannya” Nabi Musa a.s.
tersebut, dalam buku Misykatul-Anwar (Pelita Cahaya-cahaya) Hujjatul
Islam, Imam Ghazali, dalam
menerangkan ayat Al-Quran tentang “Cahaya
di atas cahaya” (QS.24:36) mengemukakan hadits Nabi Besar Muhammad saw.
yang menerangkan bahwa:
“Allah Swt. memiliki 70.000 hijab (tirai penutup) cahaya dan kegelapan.
Seandainya Dia menyibakkannya niscaya cahaya-cahaya Wajah-Nya akan membakar
siapa saja yang memandangnya.
Dalam bahasa
Arab sebutan 7, 70, 700 dst mengisyaratkan kepada jumlah yang tak terbilang, dengan demikian penyebutan “70.000
hijab” secara kiasan mengisyaratkan
bahwa “Wajah” Allah Swt. memiliki lapisan-lapisan hijab yang tak terhingga
jumlahnya, dan setiap hijab
berikutnya lebih sempurna dalam segala seginya daripada hijab sebelumnya.
Dalam
Al-Quran Allah Swt. telah menegaskan bahwa
hal-hal gaib Allah Swt. atau rahasia-rahasia
gaib-Nya tidak dibukakan kepada siapa pun kecuali kepada Rasul-rasul Allah
(QS.3:180; QS.73:27-29), contohnya
adalah mengajarkanm rahasia al-Asmaa
Allah Swt. kepada Adam sebagai Khalifah-Nya (QS.3:31-35).
Tuhan
Tidak Terbatas
Oleh
karena itu jika ada penganut faham Wihdatul- wujud menganggap dirinya telah bersatu dengan Allah Swt. dari segi zat
dalam makna harfiah pada hakikatnya mereka itu tidak memiliki makrifat Ilahi yang benar, sebab Allah Swt. itu -- baik
dari segi Zat mau pun Sifat-sifat sempurnnya -- tidak
terbatas. Tidak ada sesuatu pun yang seperti Tuhan (QS.42:12); tidak ada sesuatu pun yang setara
dengan-Nya (QS.114:5); penglihatan
tidak mencapai-Nya tetapi Dia
mencapai penglihatan (QS.6:104).
Pada
tanggal 18 Mei 1908, Profesor Rigg,
seorang ahli astronomi dari Inggris,
kembali berjumpa dengan Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s. -- Imam
Mahdi a.s. dan Al-Masih Mau'ud a.s.
-- melalui perantaraan Mufti Muhammad Shadiq
di Lahore. Terjadi soal-jawab antara keduanya. Salah satu pertanyaan
Profesor Rigg kepada Al-Masih Mau'ud a.s.
adalah:
"Bagaimana
akidah (pendapat) Tuan, apakah Tuhan itu terbatas, atau Dia ada di setiap
tempat? Apakah dalam Tuhan itu terdapat suatu kepribadian ataupun perasaan-perasaan?"
Al-Masih
Mau'ud a.s. menjawab: “Saya tidak menganggap Tuhan itu terbatas, dan tidak pula Tuhan itu
sendiri terbatas. Yang saya
ketahui mengenai Tuhan adalah sebagaimana Dia itu berada di Langit, seperti itu
pula Dia berada di bumi. Dia mempunyai dua macam hubungan: Pertama, hubungan
biasa yang Dia lakukan dengan makhluk secara umum, dan satu lagi hubungan
khusus, yang Dia lakukan terhadap hamba-hamba-Nya
yang khusus, yakni hamba-hamba
yang mensucikan diri mereka
lalu meraih kemajuan di dalam kecintaan terhadap-Nya, dengan
demikian barulah mereka menjadi begitu dekat
dengan-Nya, sehingga Dia berkata-kata dari dalam diri
orang-orang itu.
Memang suatu hal yang menakjubkan, yakni
walaupun jauh Dia itu dekat. Walaupun dekat, Dia itu jauh. Dia itu sangat dekat, tetapi tidak dapat dikatakan
seperti halnya suatu tubuh yang dekat dengan tubuh lain. Dan Dia itu paling tinggi, tetapi tidak dapat dikatakan
bahwa ada sesuatu di bawah-Nya.
Dia adalah yang paling nyata
dari segala sesuatu, tetapi tetap saja Dia itu sangat halus dan renik.
Seberapa banyak manusia meraih kesucian
sejati maka sebanyak itu pulalah manusia itu dianugerahi pengetahuan tentang Wujud-Nya.
Mengenai perasaan-perasaan, tampaknya yang Anda maksudkan adalah bahwa
Allah Ta’ala telah meletakkan tanggung-jawab beban syariat di atas pundak manusia, dan mengapa Dia mengikat manusia
di dalam ketentuan-ketentuan haram
dan halal?
Hendaknya diketahui, bahwa sebenarnya
Allah Ta’ala itu Maha Qudus,
dan karena kequdusan-Nya itulah
Dia tidak menyukai kekotoran.
Dan dikarenakan Dia itu Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang, oleh sebab itu Dia tidak menghendaki apabila manusia menempuh
jalan-jalan yang dapat membinasakan
mereka. Jadi, inilah yang
merupakan perasaan-perasaan-Nya,
atas dasar itulah berlangsung tatanan agama (syariat). Sekarang, terserah Anda untuk menyebut hal
itu apa saja.”
Profesor Rigg itu kembali bertanya:
"Apakah Tuhan itu memiliki bentuk?" Hadhrat Masih Mau'ud a.s.
menjawab: “Tatkala Tuhan itu sendiri tidak
terbatas, maka tidak ada lagi masalah bentuk.” (Malfuzat, jld. X, hlm. 426-427).
Pendapat Mirza Ghulam Ahmad
a.s. Mengenai Pentingnya Menjalin Hubungan
Kecintaan Sepenuhnya dengan Allah
Swt.
Berikut
adalah penjelasan Mirza Ghulam Ahmad a.s. --
Imam Mahdi a.s. dan Al-Masih Mau’ud a.s. -- berkenaan dengan suluk
(perjalanan ruhani) yang menghasilkan keadaan
yang secara ruhani disebut itihad atau hulul atau “manunggal” (bersatu) antara hamba dengan Tuhan (Allah
Swt.). Beliau bersabda:
"Ketulusan
dan keperihan bagi kecintaan terhadap Allah Ta’ala yang
bercampur dengan keteguhan langkah,
membuat manusia terlepas dari kondisinya sebagai manusia, lalu memasukkannya di bawah naungan bayangan Ketuhanan. Selama keperihan dan kecintaan itu belum mencapai batas tersebut -- yakni manusia
masih saja tenggelam dalam kecintaan terhadap wujud-wujud selain Allah -- maka
selama itu pula manusia masih tetap berada dalam ancaman bahaya.
Penghentian bahaya-bahaya itu akan sulit
bila manusia tidak melakukan pemutusan
hubungan total dengan wujud-wujud
selain Allah Swt., lalu sepenuhnya menjadi milik Allah. Dan [tanpa itu] juga tidak mungkin masuk ke dalam keridhaan-Nya. Dan untuk makhluk Allah hendaknya timbul suatu keperihan sedemikian rupa seperti
gejolak kecintaan sejati yang
dimiliki seorang ibu sangat pengasih terhadap anak kesayangannya yang masih
lemah. Allah Ta’ala menginginkan suatu hubungan.
Dan untuk memanjatkan doa ke
hadapan-Nya diperlukan suatu hubungan,
sebab tanpa hubungan maka doa tidak dapat berlangsung.
Orang-orang suci sebelumnya juga
menyampaikan hal-hal semacam ini, yakni sebelum memohonkan doa kepada Allah
Swt., orang-orang yang mengajukan permohonan doa itu ditekankan untuk memiliki hubungan dengan pihak yang darinya mereka memohonkan doa. Sebab
dengan begitu saja, seseorang tidak dapat mengatakan kepada seseorang yang dia
temui di tengah pasar, "Engkau
adalah sahabatku." Bagi orang yang demikian tidak timbul keperihan kalbu, dan tidak pula dapat
timbul gejolak untuk berdoa [bagi pemohon doa]
Hubungan dengan Allah Ta’ala tidak bisa
demikian, yakni manusia tetap tenggelam dalam kelalaian-kelalaian, dan hanya melalui lidahnya saja dia mengatakan bahwa dia telah menjalin hubungan dengan Allah Ta’ala. Ikrar bai'at seorang diri dan menuliskan
nama di dalam Jemaat ini tidak dapat menjadi bukti adanya hubungan
dengan Allah Ta’ala. Untuk menjalin hubungan
dengan Allah Ta’ala dibutuhkan suatu kemabukan
[cinta].
Saya berkali-kali menekankan kepada
Jemaat saya agar berdiri teguh di atas hal ini. Sebab selama belum terjadi pemutusan hubungan dengan dunia, dan kecintaan terhadap dunia menjadi dingin di dalam kalbu-kalbu,
lalu belum timbul gejolak alami
dan kemabukan di dalam fitrat-fitrat manusia untuk Allah
Ta’ala, maka selama itu pula tidak akan dapat diperoleh keteguhan.
Sebagian sufi menuliskan bahwa para
sahabah r.a. ketika mengerjakan shalat, mereka
begitu khusyuknya,
sehingga ketika selesai shalat maka mereka tidak dapat mengenali satu sama
lain. Ketika seseorang datang dari suatu tempat maka syariat memerintahkan agar
dia mengucapkan "Assalaamu 'alaikum."
Ini jugalah hakikat pengucapan "Assalaamu
'alaikum" ketika selesai shalat, yakni ketika seseorang berdiri
mengerjakan shalat dan mengucapkan "Allaahu akbar," seolah-olah dia keluar dari alam ini dan telah masuk ke suatu alam baru. Seakan-akan
dia telah sampai ke suatu kondisi fana
(tenggelam/larut). Ketika dia kembali dari sana maka dia masuk ke kondisi yang
sedang berlangsung saat itu dengan mengucapkan "Assalaamu 'alaikum wa
rahmatullaah"
Namun
bentuk zahiriah saja tidaklah cukup selama belum ada pengaruhnya dalam kalbu. Apalah yang dapat diperoleh
dari kulit-kulit saja? Bentuk zahir semata tidaklah cukup, yang harus ada ialah
kandungan isi. Yang menjadi tujuan
adalah kandungan isi. Ucapan dan bentuk yang tidak memuat kandungan isi justru terbalik menjadi jalan-jalan kebinasaan.
Tatkala manusia menciptakan kandungan isi
dan menimbulkan suatu kecintaan
serta ketulusan sejati terhadap
Sang Khaliq, Malik
Hakiki, serta tanpa kendali lagi mulai terbang ke arah-Nya, dan mulai timbullah suatu kondisi kefanaan yang sejati, maka pada saat
itu berdasarkan kondisi
tersebut manusia seakan-akan menjadi raja,
dan setiap zarah (partikel)
menjadi khadimnya (pengkhidmatnya).
Allah Ta’ala telah menganugerahkan kefanaan sedemikian rupa kepada saya,
sehingga saya hidup terpisah
dari seluruh dunia. Saya sama-sekali tidak suka terhadap seluruh benda kecuali
Dia. Saya benar-benar tidak ingin mengayunkan langkah ke luar dari ruangan
saya. Saya tidak suka kemasyhuran walau satu detik pun. Saya benar-benar
seorang diri saat itu, dan saya suka terhadap kesendirian. Bagaimana saya tidak
suka terhadap kemasyhuran dan keramaian, hanya Allah sajalah yang tahu. Saya
secara alami menghendaki kondisi dimana saya tidak dikenali oleh siapa pun. Dan itulah keinginan saya.
Namun Allah Ta’ala memaksa saya lalu mengeluarkan saya
dari kondisi itu. Hal itu
sama-sekali bukan keinginan saya. Namun
Allah telah melakukan hal yang bertentangan dengan keinginan saya. Sebab Dia
ingin menugaskan saya. Untuk
tugas itu Allah telah memilih
saya, dan dengan karunia-Nya
Dia telah menempatkan saya pada penugasan
yang tangguh ini.
Ini adalah pilihan dan pekerjaan
Allah. Saya sedikit pun tidak ada campur-tangan di dalamnya. Saya melihat bahwa
kalbu saya adalah sedemikian
rupa, yakni kalbu ini melarikan
diri jauh-jauh dari kemasyhuran
dan keramaian. Dan saya tidak
dapat mengerti, bagaimana orang-orang menginginkan kemasyhuran.
Kalbu saya condong ke arah lain, namun
Allah Ta’ala membawa saya ke arah lain lagi. Saya berkali-kali telah berdoa
supaya diizinkan untuk tetap berada di dalam kesendirian saja, supaya saya dibiarkan berada di dalam kamar khalwat saya, namun berkali-kali telah diperintahkan supaya saya keluar
dari situ, dan supaya saya menangani tugas-tugas
keagamaan yang pada saat ini berada dalam kondisi musibah.
Begitu jugalah kondisi kalbu para nabi. Yakni mereka tidak menginginkan kemasyhuran. Tidak ada
seorang nabi pun yang pernah menghendaki kemasyhuran. Rasulullah saw. juga suka
terhadap khalwat dan
kesendirian. Untuk melakukan ibadah,
beliau pergi jauh-jauh dari manusia di sebuah gua yang sepi, yaitu gua Hira.
Gua ini begitu menakutkan,
sehingga tidak ada orang yang berani masuk ke dalamnya. Namun, beliau menyukai tempat itu justru karena
tidak ada orang yang berani datang ke sana.
Beliau saw. benar-benar menginginkan kesendirian. Beliau sama sekali
tidak suka terhadap kemasyhuran.
Namun turun perintah Allah Ta’ala,
"Yaa ayyuhal- muddatstsir, qum fa-andzir – (Hai orang yang berselubung,
bangunlah, lalu berikan peringatan]" (Al-Muddatstsir ). Kata “bangunlah” di dalam perintah itu tampak suatu pemaksaan. Dan karena itulah secara paksa telah diperintahkan supaya
sejak saat itu beliau saw. meninggalkan kesendirian
yang sangat beliau saw. sukai tersebut.
Sebagian orang secara bodoh dan tolol
beranggapan bahwa seolah-olah saya ini
menyukai kemasyhuran. Saya berkali-kali telah mengatakan bahwa saya sama-sekali
tidak suka kemasyhuran. Allah Ta’ala secara paksa telah mengutus
saya. Ini bukan kesalahan saya. Dan Allah sendiri menjadi saksi bahwa saya
tidak suka kemasyhuran. Saya dahulu justru melarikan diri ribuan mil dari
dunia.
Orang-orang yang dengki, karena pandangan mereka hanya terbatas pada bumi (duniawi) dan benda-benda yang
ada di dalamnya, dan mereka merupakan cacing-cacing dunia, serta sangat suka
terhadap kemasyhuran, oleh
karena itu mereka tidak dapat memahami sikap suka terhadap khalwat dan kesendirian ini.
Saya tidak menginginkan dunia. Jika mereka ingin dan mereka
memiliki kuasa untuk itu, silahkan mereka ambil seluruh dunia ini. Saya sedikit
pun tidak keberatan. Iman saya
terdapat di dalam kalbu saya,
bukan dengan dunia. Satu detik pun di dalam kesendirian saya itu begitu berharga, sehingga demi nilai satu detik tersebut seluruh
dunia hendaknya dikurbankan. Kalbu
dan perasaan ini tidak
diketahui oleh siapa pun kecuali Tuhan.
Namun saya telah mengorbankan jiwa,
harta, kehormatan demi perintah
Allah Ta’ala. Ketika Allah Ta’ala memunculkan manifestasi-Nya (perjelmaan-Nya)
di dalam kalbu seseorang maka
orang itu tidak lagi akan terselubung.
Seorang pencinta -- bagaimana pun dia menyelubungi kecintaannya --
orang yang menemukan dan yang memahami rahasia akan dapat mengenalinya melalui bukti-bukti,
tanda-tanda dan kondisi.
Seorang pencinta mengalami kondisi yang penuh keresahan. Kesedihan melanda seluruh wujudnya. Tampil darinya pemikiran-pemikiran dan kondisi-kondisi yang lain. Walau pun
dia menyembunyikan dirinya di
balik ribuan tabir sekali pun
tetap saja dia tidak dapat bersembunyi....
Orang-orang yang memiliki kecintaan
Ilahi, mereka menyembunyikan kecintaan
tersebut, yang mengakibatkan kalbu
mereka menjadi penuh bahagia.
Justru jika kecintaan itu
ketahuan maka mereka menjadi malu.
Sebab kecintaan itu merupakan
suatu rahasia yang berlangsung
antara Allah dan hamba-Nya, dan senantiasa bila suatu rahasia terbuka akan menimbulkan rasa
malu.
Tidak ada Seorang rasul pun yang tidak memiliki rahasia dengan Allah Ta’ala. Di dalam diri nabi itu terdapat keinginan untuk menyembunyikan rahasia itu. Namun
Sang Kekasih memaksa untuk membukakan rahasia tersebut. Orang
yang tidak menginginkan hal
itu justru dialah yang memperolehnya, sedangkan orang yang menginginkan hal itu, justru dia
tidak memperolehnya. Dan orang yang tidak menginginkan itu dia memperolehnya
secara paksa.
Selama manusia berada dalam kondisi hina, pemikiran-pemikirannya
pun juga hina. Seberapa banyak
kesulitan timbul dalam hal makrifat
(pengetahuan) maka sebanyak itu pulalah
terjadi kekurangan dalam cinta. Melalui makrifat timbul prasangka baik. Di dalam diri setiap
orang kecintaan itu timbul berdasarkan
prasangkanya (pemikirannya).
Ini jugalah ajaran yang didapat dari "Anaa 'inda zhanni 'abdii bii – Aku (Allah) tampil sesuai
prasangka hamba-Ku."
Seorang pencinta sejati, memiliki prasangka
baik terhadap Allah Ta’ala bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan dirinya. Allah Ta’ala
menyukai sikap setia, bahkan
Dia menginginkan agar manusia memperlihatkan ketulusan serta menerapkan prasangka baik terhadap-Nya, supaya Dia pun memperlihatkan kesetiaan-Nya.
Namun kapan pula orang-orang
[duniawi] ini dapat memahami hakikat tersebut? Mereka ini adalah orang-orang yang
selalu bersujud di hadapan
berhala-berhala hawa-nafsu mereka, dan pandangan mereka hanya tertuju pada dunia. Mereka tidak menganggap Allah Ta’ala sebagai Wujud Yang Maha Pemurah dan Maha
Penyayang. Mereka sedikit pun tidak percaya pada janji-janji Allah. Agar mereka percaya pada janjijanji
Allah Ta’ala -- bahwa Allah itu Maha
Pemurah dan Maha Penyayang
-- maka Allah pun akan menurunkan bukti-bukti
rahmat serta kesetiaan
atas diri orang-orang itu...” (Malfuzat, jld. VII, hlm. 42-46).
Puncak
Tobat adalah Fana
Selanjutnya mengenai masalah fana,
Pendiri Jemaat Ahmadiyah
-- Mirza Ghulam Ahmad a.s. -- menjelaskan:
“Puncak taubat adalah fana (larut/sirna), yang artinya ruju' (kembali meleburkan wujud pada Allah – pent.), yakni dekat dengan Allah Ta’ala. Inilah api yang membuat manusia menjadi bersih. Seseorang yang takut
melangkahkan kaki ke dekat api
itu karena takut terbakar berarti dia tidak sempurna. Namun orang yang
melangkahkan kaki maju, dia itu bagaikan laron
yang terbang ke arah api lalu menjatuhkan diri di dalam api itu sehingga tubuhnya terbakar,
orang yang seperti itu berhasil.
Puncak dari upaya-upaya gigih adalah fana itu tadi……
Lebih lanjut dari itu, yakni liqa
(perjumpaan Ilahi – pent.) bukanlah suatu hal yang diupayakan, melainkan suatu anugerah. Puncak dari upaya
itu adalah mati (fana) dan itu
merupakan pembenihan, setelah
itu menumbuh-kembangkan --
yakni baqa -- adalah pekerjaan
Tuhan. Sebutir benih dengan masuk ke dalam tanah, sama-sekali dia menjadi lenyap, lalu Allah Ta’ala
menjadikannya hijau subur.
Namun tahap ini sangat mengerikan....
Ketika seseorang melangkahkan kaki dalam
suluk
(perjalanan menuju Allah – pent.), maka ribuan bencana turun menimpanya, seperti seakan-akan para jin dan dewa melakukan serangan atas dirinya. Namun ketika orang itu
telah memutuskan bahwa dia tidak akan kembali lagi, dan di jalan ini juga dia akan melepaskan
nyawanya, maka serangan itu pun
tidak akan ada lagi. Dan akhirnya bencana
itu berubah menjadi sebuah kebun.
Sedangkan orang yang takut terhadap hal itu, maka baginya bencana tersebut menjadi neraka. Tahap puncak baginya benar-benar seperti
neraka, supaya Allah Ta’ala dapat mengujinya. Orang yang tidak peduli terhadap neraka itu dia berhasil. Pekerjaan ini sangat genting.
Tidak ada cara lain kecuali maut.” (Malfuzat, jld. V, hlm. 183-184).
(Bersambung)
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor:
Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 26
Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar