Kamis, 15 Mei 2014

Dua Macam "Faana"" Nabi Besar Muhammad Saw. & Nabi Besar Muhammad Saw. adalah "Insan Kamil" (Manusia Sempurna) Hakiki




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   219

Dua Macam “Fāna” Nabi Besar Muhammad Saw. &   Nabi Besar Muhammad Saw. adalah "Insan Kamil" (Manusia Sempurna) Hakiki  

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai  suatu tajalli lebih besar daripada yang pernah dilimpahkan (diperagakan) Allah Swt. kepada Nabi Musa a.s.., karena itu beliau dengan sendirinya sangat berhasrat melihat macam bagaimana Keagungan dan Kemuliaan Allah Swt.  yang akan tampak dalam tajalli yang dijanjikan kepada Nabi Besar Muhammad saw. itu. Beliau berharap bahwa Keagungan dan Kemuliaan itu, ada yang dapat diperlihatkan kepada beliau.
      Tetapi Nabi Musa a.s.  diberi tahu bahwa Tajalli ini berada di luar batas kemampuan beliau untuk menanggungnya,  tajalli itu tidak akan dapat terjelma pada hati beliau, tetapi Allah  Swt. dalam pengalaman ruhani Nabi Musa a.s. tersebut  memilih gunung untuk bertajalli. Gunung itu berguncang dengan hebat  serta nampak  seakan-akan ambruk, dan Nabi Musa a.s. . karena dicekam oleh pengaruh guncangan itu beliau rebah tidak sadarkan diri (pingsan).
       Dengan cara demikian Nabi Musa a.s.  dibuat sadar bahwa beliau tidak mencapai taraf yang demikian tingginya dalam martabat keruhanian yang dapat membuat beliau boleh menyaksikannya sendiri tempat (orang)  yang  Allah Swt..  bertajalli  kepadanya sebagaimana dimohonkan beliau. Hak istimewa yang unik itu disediakan untuk seorang yang lebih besar daripada beliau, tak lain ialah Mahkota segala makhluk Ilahi, yaitu Baginda Nabi Muhammad Besar Muhammad saw..
        Mungkin pula permohonan Nabi Musa a.s.  itu karena didesak para pemuka Bani Israil yang menuntut untuk melihat Allah Swt.  dengan mata lahir (QS.2:56; QS.4:154). Pengalaman ruhani Nabi Musa a.s.  yang sangat luar biasa itu memberi kesadaran kepada beliau bahwa permohonan beliau itu tidak layak. Itulah sebabnya setelah sadar dari “pingsannya” dengan serta merta beliau berseru:  سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ  اِلَیۡکَ  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ   -- “Aku bertaubat kepada Engkau, dan aku orang pertama di antara orang-orang beriman,” yang berarti beliau telah sadar bahwa beliau tidak dianugerahi kemampuan melihat tajalli-sempurna Keagungan Ilahi yang seharusnya akan menjelma pada hati Nabi Yang dijanjikan itu dan bahwa beliau (Nabi Musa a.s.)  adalah orang yang pertama-tama beriman kepada keluhuran kedudukan ruhani yang telah ditakdirkan akan dicapai oleh Nabi Besar itu.

Kata-kata  Penghibur Allah Swt. kepada Nabi Musa a.s.

       Keimanan Nabi Musa a.s.   kepada Nabi Besar Muhammad saw.   itu telah disinggung juga dalam QS.46:11 dan QS28:44-45, walau pun dalam kenyataannya pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. adalah sekitar 2000 tahun kemudian  setelah Nabi Musa a.s., atau  600 tahun setelah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., yang menyebut Nabi Besar Muhammad saw. sebagai “Dia yang datang dalam nama Tuhan” (Matius 23:37-39) atau “Roh Kebenaran” yang datang “membawa seluruh kebenaran” (Yohanes 16:12-13).
      Gunung itu sebenarnya tidak hancur-lebur. Kata-kata itu telah dipergunakan secara majasi (kiasan) untuk menyatakan kehebatan gempa bumi itu. Lihat Keluaran 24:18 dan juga QS.2:64; QS.7:172. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قَالَ یٰمُوۡسٰۤی  اِنِّی  اصۡطَفَیۡتُکَ عَلَی النَّاسِ بِرِسٰلٰتِیۡ  وَ بِکَلَامِیۡ ۫ۖ فَخُذۡ مَاۤ اٰتَیۡتُکَ  وَ  کُنۡ  مِّنَ  الشّٰکِرِیۡنَ ﴿﴾
Dia berfirman: “Hai Musa, sesungguhnya Aku telah memilih engkau atas umat manusia dengan risalah-Ku dan firman-Ku, maka pegang-teguhlah apa yang telah Aku berikan ke-pada engkau dan jadilah engkau ter-masuk orang-orang yang bersyukur.   (Al-‘Arāf [7]:145).
       Ayat  ini nampaknya ditujukan kepada Nabi Musa a.s.  sebagai kata-kata penghibur sesudah Allah Swt.  membuat beliau sadar bahwa beliau tidak dapat mencapai derajat keruhanian yang tinggi seperti Nabi Besar dari keturunan Nabi Isma’il a.s. . yang ditakdirkan akan mencapainya, yakni Nabi Besar Muhammad saw.. Beliau diminta agar jangan mendambakan kemuliaan tinggi yang disediakan untuk “Nabi itu” tetapi hendaknyalah merasa puas dengan dan bersyukur atas peringkat yang telah dianugerahkan Allah Swt.   kepada beliau.
      Jadi, peristiwa “pingsannya” Nabi  Musa a.s. menjelaskan mengenai makna ucapan Malaikat Jibril a.s.   mengenai akan “terbakarnya” seluruh “sayap” yang dimilikinya jika  beliau menaiki “tingkatan langit Ketuhanan” yang melebihi kemampuan beliau untuk “menaikinya” bersama Nabi Besar Muhammad saw. dalam peristiwa mi’raj, firman-Nya:
وَ لَمَّا جَآءَ مُوۡسٰی لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ   اَنۡظُرۡ   اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ  وَ لٰکِنِ  انۡظُرۡ  اِلَی  الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ  لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ  دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ  اَفَاقَ قَالَ سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ  اِلَیۡکَ  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿﴾
Dan  tatkala Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan dan Rabb-Nya (Tuhan-nya) bercakap-cakap dengannya, ia berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), perlihatkanlah kepadaku supaya aku dapat memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau tidak akan pernah dapat melihat-Ku  tetapi pandanglah gunung itu, lalu jika ia tetap ada pada tempat-nya  maka engkau pasti  akan dapat melihat-Ku.”  فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ  لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ  دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا  -- maka  tatkala  Rabb-nya (Tuhan-nya) menjelmakan keagungan-Nya pada  gunung itu  Dia menjadikannya hancur lebur,  dan Musa pun jatuh pingsan. Lalu tatkala ia sadar kembali  ia berkata: سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ  اِلَیۡکَ  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ  -- “Mahasuci Engkau, aku bertaubat  kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.”  (Al-A’rāf [7]:144).

Nabi Besar Muhammad Saw. adalah Insan-al-Kamil (Manusia Sempurna) Hakiki

   Mengisyaratkan kepada kesempurnaan berbagai segi kemampuan jasmani  dan ruhani Nabi Besar Muhammad saw. itulah makna sebutan insan  dalam  firman-Nya berikut ini:
اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾ لِّیُعَذِّبَ اللّٰہُ  الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ  الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ  غَفُوۡرًا  رَّحِیۡمًا ﴿٪﴾
Sesungguhnya Kami telah  menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya, akan sedangkan insan (manusia) memikulnya, اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا  -- sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan  abai  terhadap dirinya.  Supaya Allah akan menghukum orang-orang munafik lelaki dan orang-orang munafik perempuan, dan  orang-orang musyrik lelaki dan orang-orang musyrik perempuan,  dan Allah senantiasa kembali dengan kasih sayang kepada orang-orang lelaki   dan   perempuan-perempuan yang beriman, dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang.  (Al-Ahzāb [33]:73-74).
       Hamala al-amānata berarti: ia membebankan atas dirinya atau menerima amanat; ia mengkhianati amanat itu. Zhalum adalah bentuk kesangatan dari zhalim yang adalah fa’il atau pelaku dari zhalama, yang berarti ia meletakkan benda itu di tempat yang salah; zhalamahu berarti: ia membebani diri sendiri dengan suatu beban yang melewati batas kekuatan atau kemampuan pikulnya. Jahul adalah bentuk kesangatan dari kata jahil, yang berarti  lalai, dungu, dan alpa (Lexicon Lane).
        (1) Manusia dianugerahi kemampuan-kemampuan dan kekuatan fitri besar sekali untuk meresapkan dan menjelmakan di dalam dirinya Sifat-sifat Ilahi untuk menayang citra (bayangan) Khāliq-nya (QS.2:31). Sungguh inilah amanat agung yang hanya manusia sendiri dari seluruh isi jagat raya ini yang ternyata sanggup melaksanakannya; sedangkan makhluk-makhluk dan benda-benda lainnya — para malaikat, seluruh langit (planit-planit), bumi, gunung-gunung sama sekali tidak dapat menandinginya. Mereka seakan-akan menolak mengemban amanat itu.
      Manusia menerima tanggungjawab ini sebab hanya dialah yang dapat melaksanakannya. Ia mampu menjadi zhalum (aniaya terhadap dirinya sendiri) dan jahul (mengabaikan diri sendiri) dalam pengertian bahwa ia dapat aniaya terhadap dirinya sendiri dalam arti bahwa ia dapat menanggung kesulitan apa pun dan menjalani pengorbanan apa pun demi Khāliq-nya, dan ia mampu mengabaikan diri atau alpa dalam arti bahwa dalam mengkhidmati amanat-Nya yang agung lagi suci itu, ia dapat mengabaikan kepentingan pribadinya dan hasratnya untuk memperoleh kesenangan dan kenikmatan hidup duniawi.
       (2) Jika kata al-amānat diambil dalam arti sebagai hukum Al-Quran dan kata al-insan sebagai insan kamil (manusia sempurna), yakni  Nabi Besar Muhammad saw.,  maka ayat ini akan berarti bahwa dari semua penghuni seluruh langit dan bumi, hanyalah Nabi Besar Muhammad saw. sendiri saja yang mampu diamanati wahyu Ilahi  yang mengandung syariat yang paling sempurna dan penutup, ialah syariat Al-Quran (QS.3:86; QS.5:4), sebab kecuali beliau saw. tidak ada orang atau wujud lain yang pernah dianugerahi sifat-sifat agung yang mutlak diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawab besar ini sepenuhnya dan sebaik-baiknya (QS.3:32; QS.4:70-71).
        (3) Kalau kata hamala diambil dalam arti mengkhianati atau tidak jujur terhadap suatu amanat, maka ayat ini akan berarti bahwa amanat syariat Ilahi telah dibebankan atas manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang ada di bumi maupun di langit. Mereka itu semua — kecuali manusia — menolak mengkhianati amanat ini, yakni mereka itu sepenuhnya dan dengan setia menjalankan segala hukum yang kepada hukum-hukum itu mereka harus tunduk.  Itulah makna kata   bertasbih kepada Allah Swt. apa pun yang ada di seluruh langit dan bumi” (QS.17:45; QS.24:42; QS.57:2; QS.61:2; QS.63:2; QS.64:2).
     Seluruh alam setia kepada hukum-hukum-Nya  dan para malaikat juga melaksanakan tugas mereka dengan setia dan patuh (QS.16:50-51), hanya manusia saja yang disebabkan telah dikaruniai kebebasan bertindak dan berkemauan mau juga mengingkari dan melanggar perintah Allah Swt. (QS.18:30), sebab ia aniaya (zhalum) dan mengabaikan serta tidak mempedulikan tugas dan kewajibannya (jahul). Arti demikian mengenai ayat ini didukung oleh QS.41:12.

 Dua Macam “Fana” atau “Dhāllan  Nabi Besar Muhammad saw.

      Dalam  Bab   sebelumnya  telah dikemukakan   mengenai  peristiwa Mi’raj (Kenaikan Ruhani) Nabi Besar Muhammad Saw,  dalam kaitannya dengan “sungai khamar” serta “kemabukan ruhani” yang dialami para penempuh  suluk (jalan ruhani)   -- sebagaimana telah dikemukakan berkenaan dengan dua Sufi terkenal:  Abu Yazid al-Bisthami dan Mansyur “Al-Hallaj”,  sehingga  dalam keadaan “mabuk ruhani” mengucapkan kata-kata (ucapan-ucapan) yang sukar  difahami oleh orang-orang yang belum mencapai tingkatan  fana atau  keadaan  dhāllan”  atau “dhāllin  atau “manunggal” seperti itu.
       Dalam Al-Quran Allah Swt. mengemukakan dua macam  fana, yakni (1) yang berkaitan dengan Tuhan (Allah Swt.) yakni  Haququllāh (pemenuhan hak-hak Allah Swt.)   dan (2) yang berkaitan dengan umat manusia yakni  haququl-‘Ibād (pemenuhan hak-hak sesama  hamba Allah Swt.),  mengenai hal ini telah dijelaskan sehubungan dengan firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  وَ النَّجۡمِ   اِذَا ہَوٰی  ۙ﴿﴾  مَا ضَلَّ صَاحِبُکُمۡ  وَ مَا غَوٰی ۚ﴿﴾  وَ مَا یَنۡطِقُ عَنِ  الۡہَوٰی  ؕ﴿﴾  اِنۡ  ہُوَ   اِلَّا  وَحۡیٌ   یُّوۡحٰی  ۙ﴿﴾  عَلَّمَہٗ  شَدِیۡدُ الۡقُوٰی  ۙ﴿﴾ ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ  فَاسۡتَوٰی ۙ﴿﴾  وَ ہُوَ  بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی ؕ﴿﴾   ثُمَّ  دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾  فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ  اَوۡ اَدۡنٰی  ۚ﴿﴾ فَاَوۡحٰۤی  اِلٰی عَبۡدِہٖ  مَاۤ  اَوۡحٰی  ﴿ؕ﴾  مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ  مَا  رَاٰی  ﴿﴾ اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ  عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ  نَزۡلَۃً   اُخۡرٰی  ﴿ۙ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ  الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾  عِنۡدَہَا جَنَّۃُ  الۡمَاۡوٰی  ﴿ؕ﴾ اِذۡ  یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ  مَا یَغۡشٰی  ﴿ۙ﴾  مَا زَاغَ الۡبَصَرُ  وَ مَا طَغٰی ﴿﴾  لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ  الۡکُبۡرٰی ﴿﴾ 
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.  Demi bintang apabila  jatuh.  Sahabat kamu  tidak  sesat   dan tidak pula keliru.   Dan ia sekali-kali tidak berkata-kata menuruti keinginannya.   Perkataannya itu tidak lain me-lainkan wahyu yang diwahyukan.  Tuhan Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya,     Pemilik Kekuatan, lalu  Dia bersemayam  di atas ‘Arasy,  dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah, berada di   ufuk tertinggi. (An-Najm [53]:1-8).

Kesempurnaan Mi’raj (Kenaikan Ruhani) Nabi Besar Muhammad saw.
       Makna ayat مَا ضَلَّ صَاحِبُکُمۡ  وَ مَا غَوٰ -- “Sahabat kamu  tidak  sesat   dan tidak pula keliru” , yaitu bahwa cita-cita dan asas-asas yang dikemukakan oleh  Nabi Besar Muhammad saw.   tidak salah  lagi pula beliau sekali-kali tidak menyimpang dari asas-asas itu  (yakni beliau saw. juga tidak tersesat).
  Dengan demikian mengingat cita-cita luhur serta  mulia Nabi Besar Muhammad saw.,   dan mengingat pula cara beliau saw. menjalani hidup sesuai dengan cita-cita itu, beliau   saw. adalah penunjuk-jalan yang terjamin dan aman. Selanjutnya Allah Swt. berfirman   وَ مَا یَنۡطِقُ عَنِ  الۡہَوٰی     – “Dan ia sekali-kali tidak berkata-kata menuruti keinginannya.” Keterangan itu lebih diperkuat lagi dalam beberapa ayat-ayat berikutnya.
     Ayat    اِنۡ  ہُوَ   اِلَّا  وَحۡیٌ   یُّوۡحٰی     -- “Perkataannya itu tidak lain melainkan wahyu yang diwahyukan.” membicarakan sumber asal wahyu  Nabi Besar Muhammad saw. .  yang adalah dari Allah Swt. (QS.26:193-198), maka dua ayat sebelumnya mengisyaratkan kepada tuduhan berdasarkan  khayalan kosong orang yang berotak miring dan kepada alam pikiran yang timbul dari nafsu pribadinya dan dorongan-dorongan ruh jahat, yang menduduh beliau saw. sebagai orang sesat   dan keliru yang mengaku-aku mendapat wahyu Ilahi.
  Namun tuduhan dusta tersebut dibantah dengan ayat selanjutnya  عَلَّمَہٗ  شَدِیۡدُ الۡقُوٰی      --  Tuhan Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya,”  Al-Quran adalah wahyu yang gagah perkasa, yang di hadapannya semua Kitab Suci terdahulu pudar artinya. ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ  فَاسۡتَوٰی ۙ  – “Pemilik Kekuatan, lalu  Dia bersemayam  di atas ‘Arasy,”   mirrah berarti: kekuatan karya atau kecerdasan, pertimbangan sehat, kete-guhan (Aqrab-ul-Mawarib). Dzū  mirrah dapat juga berarti  “orang yang kekuatannya nampak kentara dengan lestari.”
   Ungkapan istawā ‘alā asy-syai-i  dalam  ayat  فَاسۡتَوٰی ۙ     --  “lalu  Dia bersemayam di atas ‘Arasy,” berarti  bahwa  ia memperoleh atau memiliki  hak penguasaan atau pengaruh penuh atas barang itu. Jika diterapkan kepada  Nabi Besar Muhammad saw., ungkapan itu akan berarti bahwa kekuatan-kekuatan jasmani dan intelek beliau saw. telah mencapai kekuatan dan kematangan sepenuh-penuhnya.

Makna ‘Ufuq Tertinggi & Makna “Terbakarnya Sayap” Malaikat Jibril a.s.

   Mengenai kesempurnaan pribadi Nabi Besar Muhammad saw.  tersebut lebih lanjut Allah Swt. menjelaskan    وَ ہُوَ  بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی   --  “dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah, berada di   ufuk tertinggi,” yakni Nabi Besar Muhammad saw.  telah mencapai batas tertinggi dalam mi’raj atau kenaikan ruhani  beliau saw., ketika Allah Swt. menampakkan “Wujud-Nya” (Tajalli Ilahiyyah) kepada beliau saw. dengan kebenaran dan keagungan yang paling sempurna, yang mungkin dapat disaksikan oleh manusia.
   Atau,  ayat ini dapat berarti bahwa cahaya Islam ditempatkan pada suatu tempat (‘ufuq) yang amat tinggi dan dari tempat itu dapat menyinari seluruh dunia. Kata pengganti huwa dalam ayat     وَ ہُوَ  بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی   --  “dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah, berada di   ufuk tertinggi,  dapat menunjuk kepada Allah Swt. dan kepada Nabi Besar Muhammad saw... Lihat juga ayat 10.
  ‘Ufuq  dalam bahasa Indonesia artinya “cakrawala” atau “garis  pertemuan langit dan bumi”, yang dalam segi ruhani mengisyaratkan kepada batas tertinggi berbagai kemampuan manusia yang dianugerahkan Allah Swt. guna menjangkau “langit ruhani” atau “alam Ketuhanan”.
     Sehubungan dengan makna ‘ufuq tersebut dalam peristiwa mi’raj  Nabi Besar Muhammad saw. digambarkan bahwa Nabi Adam a.s. berada pada tingkatan langit yang pertama, lalu Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dan Nabi Yahya a.s. pada tingkatan langit kedua, kemudian Nabi Musa a.s. pada tingkatan langit kelima, dan Nabi Ibrahim a.s. pada tingkatan langit keenam --  dalam riwayat lain pada tingkatan langit ketujuh --  sedangkan Nabi Besar Muhammad saw. diceritakan terus “naik”(mi’raj) ke tingkatan-tingkatan selanjutnya yang lebih tinggi lagi, yang bahkan diceritakan malaikat Jibril a.s. pun tidak mampu lagi mendampingi beliau saw., dengan alasan bahwa jika ia memaksakan diri  naik (mi’raj)   ke tingkatan “langit Ketuhanan” yang lebih tinggi  lagi bersama dengan Nabi Besar Muhammad saw. maka seluruh “sayapnya” (QS.35:2) akan “terbakar”  oleh Cahaya Tajalliyat Ilahi  yang tidak sanggup dihadapinya.
   Makna “terbakarnya sayap” Malaikat Jibril a.s. tersebut telah diterangkan  sehubungan dengan makna “pingsannya” Nabi Musa a.s. ketika Allah Swt. bertajalli (menampakkan keagungan-Nya) ke atas gunung dalam pengalaman ruhani Nabi Musa a.s. (QS.7:144).

Kedekatan Nabi Besar Muhammad Saw. dengan Allah Swt. Bagaikan “Seutas Tali dari Dua Busur

    Selanjutnya Allah Swt. menerangkan mengenai  ketinggian mi’raj (kenaikan ruhani)  Nabi Besar Muhammad saw. – setelah Malaikat Jibril a.s. tidak sanggup lagi mendampingi beliau saw. dalam mi’raj tersebut – firman-Nya:
ثُمَّ  دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾  فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ  اَوۡ اَدۡنٰی  ۚ﴿﴾ فَاَوۡحٰۤی  اِلٰی عَبۡدِہٖ  مَاۤ  اَوۡحٰی  ﴿ؕ﴾  مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ  مَا  رَاٰی  ﴿﴾ اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ  عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ  نَزۡلَۃً   اُخۡرٰی  ﴿ۙ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ  الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾  عِنۡدَہَا جَنَّۃُ  الۡمَاۡوٰی  ﴿ؕ﴾    اِذۡ  یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ  مَا یَغۡشٰی  ﴿ۙ﴾  مَا زَاغَ الۡبَصَرُ  وَ مَا طَغٰی ﴿﴾  لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ  الۡکُبۡرٰی ﴿﴾
Kemudian ia, Rasulullah, mendekati Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya,  maka jadilah ia, seakan-akan, seutas tali dari dua buah busur, atau lebih dekat lagi.   Lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan.   مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ  مَا  رَاٰی  -- Hati Rasulullah sekali-kali tidak berdusta apa yang dia lihat.   Maka apakah kamu membantahnya mengenai apa yang telah dia lihat?   وَ لَقَدۡ رَاٰہُ  نَزۡلَۃً   اُخۡرٰی  -- dan  sungguh   dia benar-benar melihat-Nya kedua kali, عِنۡدَ سِدۡرَۃِ  الۡمُنۡتَہٰی --  dekat pohon Sidrah tertinggi,            عِنۡدَہَا جَنَّۃُ  الۡمَاۡوٰی  -- yang di dekatnya ada surga tempat tinggal.  اِذۡ  یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ  مَا یَغۡشٰی       -- ketika pohon Sidrah diselu-bungi oleh sesuatu yang menyelubungi.  مَا زَاغَ الۡبَصَرُ  وَ مَا طَغٰی           --  penglihatannya  sekali-kali tidak menyimpang dan tidak pula melantur.    لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ  الۡکُبۡرٰی    -- sungguh  ia benar-benar melihat Tanda paling besar dari Tanda-tanda Tuhan-Nya.  (An-Najm [53]:9-19).


 (Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  20 Maret      2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar