بِسۡمِ اللّٰہِ
الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
219
Dua Macam “Fāna” Nabi Besar Muhammad Saw. & Nabi Besar Muhammad
Saw. adalah "Insan Kamil" (Manusia Sempurna) Hakiki
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai suatu tajalli
lebih besar daripada yang pernah dilimpahkan (diperagakan) Allah Swt. kepada
Nabi Musa a.s.., karena itu beliau dengan sendirinya sangat
berhasrat melihat macam bagaimana Keagungan dan Kemuliaan Allah Swt. yang
akan tampak dalam tajalli yang dijanjikan
kepada Nabi Besar Muhammad saw. itu. Beliau berharap bahwa Keagungan dan Kemuliaan
itu, ada yang dapat diperlihatkan
kepada beliau.
Tetapi Nabi Musa a.s. diberi tahu bahwa Tajalli ini
berada di luar batas kemampuan beliau
untuk menanggungnya, tajalli itu
tidak akan dapat terjelma pada hati
beliau, tetapi Allah Swt. dalam pengalaman ruhani Nabi Musa a.s.
tersebut memilih gunung
untuk bertajalli. Gunung itu berguncang dengan hebat serta nampak
seakan-akan ambruk, dan Nabi Musa a.s. . karena dicekam oleh pengaruh guncangan itu beliau rebah tidak sadarkan diri (pingsan).
Dengan cara demikian Nabi Musa a.s. dibuat sadar
bahwa beliau tidak mencapai taraf
yang demikian tingginya dalam martabat keruhanian yang dapat membuat
beliau boleh menyaksikannya sendiri tempat (orang) yang
Allah Swt.. bertajalli
kepadanya sebagaimana dimohonkan
beliau. Hak istimewa yang unik itu disediakan untuk seorang yang lebih besar daripada
beliau, tak lain ialah Mahkota segala
makhluk Ilahi, yaitu Baginda Nabi
Muhammad Besar Muhammad saw..
Mungkin pula
permohonan Nabi Musa a.s. itu
karena didesak para pemuka Bani Israil
yang menuntut untuk melihat Allah
Swt. dengan mata lahir (QS.2:56; QS.4:154).
Pengalaman ruhani Nabi Musa a.s. yang sangat luar biasa itu memberi kesadaran kepada beliau bahwa permohonan beliau itu tidak layak. Itulah sebabnya setelah
sadar dari “pingsannya” dengan serta merta beliau berseru: سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ اِلَیۡکَ وَ اَنَا
اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
-- “Aku bertaubat kepada Engkau, dan aku orang pertama di antara
orang-orang beriman,” yang berarti beliau telah sadar bahwa beliau tidak dianugerahi kemampuan melihat tajalli-sempurna Keagungan Ilahi yang
seharusnya akan menjelma pada hati
Nabi Yang dijanjikan itu dan bahwa beliau (Nabi Musa a.s.) adalah orang
yang pertama-tama beriman kepada keluhuran kedudukan ruhani yang telah ditakdirkan
akan dicapai oleh Nabi Besar itu.
Kata-kata Penghibur
Allah Swt. kepada Nabi Musa a.s.
Keimanan
Nabi Musa a.s. kepada Nabi
Besar Muhammad saw. itu
telah disinggung juga dalam QS.46:11 dan QS28:44-45, walau pun dalam
kenyataannya pengutusan Nabi Besar
Muhammad saw. adalah sekitar 2000 tahun kemudian setelah Nabi Musa a.s., atau 600 tahun setelah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., yang menyebut Nabi Besar Muhammad saw.
sebagai “Dia yang datang dalam nama Tuhan”
(Matius
23:37-39) atau “Roh Kebenaran” yang
datang “membawa seluruh kebenaran” (Yohanes
16:12-13).
Gunung itu
sebenarnya tidak hancur-lebur.
Kata-kata itu telah dipergunakan secara majasi
(kiasan) untuk menyatakan kehebatan gempa
bumi itu. Lihat Keluaran 24:18 dan juga QS.2:64; QS.7:172.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قَالَ
یٰمُوۡسٰۤی اِنِّی اصۡطَفَیۡتُکَ عَلَی النَّاسِ
بِرِسٰلٰتِیۡ وَ بِکَلَامِیۡ ۫ۖ فَخُذۡ
مَاۤ اٰتَیۡتُکَ وَ کُنۡ
مِّنَ الشّٰکِرِیۡنَ ﴿﴾
Dia berfirman: “Hai Musa,
sesungguhnya Aku telah memilih engkau
atas umat manusia dengan risalah-Ku
dan firman-Ku, maka pegang-teguhlah apa yang telah Aku berikan
ke-pada engkau dan jadilah engkau
ter-masuk orang-orang yang bersyukur.”
(Al-‘Arāf [7]:145).
Ayat ini nampaknya ditujukan kepada Nabi Musa a.s. sebagai kata-kata penghibur sesudah Allah Swt. membuat beliau sadar bahwa beliau tidak dapat mencapai derajat keruhanian yang tinggi
seperti Nabi Besar dari keturunan Nabi Isma’il a.s. . yang
ditakdirkan akan mencapainya, yakni
Nabi Besar Muhammad saw.. Beliau diminta agar jangan mendambakan kemuliaan tinggi yang disediakan untuk “Nabi
itu” tetapi hendaknyalah merasa
puas dengan dan bersyukur atas
peringkat yang telah dianugerahkan Allah
Swt. kepada beliau.
Jadi,
peristiwa “pingsannya” Nabi Musa a.s. menjelaskan mengenai makna ucapan
Malaikat Jibril a.s. mengenai akan “terbakarnya” seluruh “sayap” yang dimilikinya jika beliau menaiki “tingkatan langit Ketuhanan” yang melebihi kemampuan beliau untuk “menaikinya”
bersama Nabi Besar Muhammad saw. dalam peristiwa mi’raj, firman-Nya:
وَ لَمَّا
جَآءَ مُوۡسٰی لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ
قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ اَنۡظُرۡ اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ وَ لٰکِنِ
انۡظُرۡ اِلَی الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ
فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ
لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ دَکًّا وَّ
خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ
اَفَاقَ قَالَ سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ
اِلَیۡکَ وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿﴾
Dan tatkala
Musa datang pada waktu yang Kami
tetapkan dan Rabb-Nya
(Tuhan-nya) bercakap-cakap dengannya,
ia berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), perlihatkanlah kepadaku supaya aku dapat
memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau
tidak akan pernah dapat melihat-Ku
tetapi pandanglah gunung itu,
lalu jika ia tetap ada pada
tempat-nya maka engkau pasti akan dapat
melihat-Ku.” فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا -- maka
tatkala Rabb-nya (Tuhan-nya) menjelmakan
keagungan-Nya pada gunung itu Dia
menjadikannya hancur lebur, dan Musa
pun jatuh pingsan. Lalu tatkala ia sadar kembali ia berkata: سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ اِلَیۡکَ وَ اَنَا
اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
-- “Mahasuci Engkau, aku bertaubat
kepada Engkau dan aku adalah
orang pertama di antara orang-orang
yang beriman kepadanya di masa ini.” (Al-A’rāf [7]:144).
Nabi Besar
Muhammad Saw. adalah Insan-al-Kamil
(Manusia Sempurna) Hakiki
Mengisyaratkan kepada kesempurnaan
berbagai segi kemampuan jasmani dan ruhani
Nabi Besar Muhammad saw. itulah makna sebutan insan dalam firman-Nya berikut ini:
اِنَّا
عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ
اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ
کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾
لِّیُعَذِّبَ اللّٰہُ الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ وَ
الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا
رَّحِیۡمًا ﴿٪﴾
Sesungguhnya Kami
telah menawarkan amanat syariat
kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya
enggan memikulnya dan mereka takut
terhadapnya, akan sedangkan insan
(manusia) memikulnya, اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا
-- sesungguhnya ia sanggup
berbuat zalim dan abai terhadap dirinya. Supaya Allah akan menghukum orang-orang munafik lelaki dan orang-orang munafik perempuan, dan
orang-orang musyrik lelaki
dan orang-orang musyrik perempuan, dan Allah senantiasa kembali dengan kasih sayang kepada orang-orang lelaki dan perempuan-perempuan yang beriman, dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Ahzāb [33]:73-74).
Hamala
al-amānata berarti: ia membebankan atas dirinya atau menerima amanat; ia
mengkhianati amanat itu. Zhalum adalah bentuk kesangatan dari zhalim
yang adalah fa’il atau pelaku dari zhalama, yang berarti ia meletakkan
benda itu di tempat yang salah; zhalamahu berarti: ia membebani diri
sendiri dengan suatu beban yang melewati batas kekuatan atau kemampuan
pikulnya. Jahul adalah bentuk kesangatan dari kata jahil, yang
berarti lalai, dungu, dan alpa (Lexicon Lane).
(1) Manusia
dianugerahi kemampuan-kemampuan dan kekuatan fitri besar sekali untuk meresapkan dan menjelmakan di dalam dirinya Sifat-sifat
Ilahi untuk menayang citra
(bayangan) Khāliq-nya (QS.2:31).
Sungguh inilah amanat agung yang
hanya manusia sendiri dari seluruh isi jagat raya ini yang ternyata sanggup
melaksanakannya; sedangkan
makhluk-makhluk dan benda-benda lainnya — para malaikat, seluruh langit
(planit-planit), bumi, gunung-gunung sama sekali tidak dapat menandinginya.
Mereka seakan-akan menolak mengemban amanat itu.
Manusia menerima tanggungjawab ini sebab hanya dialah
yang dapat melaksanakannya. Ia mampu menjadi zhalum (aniaya terhadap
dirinya sendiri) dan jahul (mengabaikan diri sendiri) dalam pengertian
bahwa ia dapat aniaya terhadap
dirinya sendiri dalam arti bahwa ia dapat menanggung kesulitan apa pun dan menjalani pengorbanan apa pun demi Khāliq-nya, dan ia mampu mengabaikan diri atau alpa dalam arti bahwa dalam mengkhidmati amanat-Nya yang agung lagi
suci itu, ia dapat mengabaikan
kepentingan pribadinya dan hasratnya
untuk memperoleh kesenangan dan kenikmatan hidup duniawi.
(2) Jika kata al-amānat
diambil dalam arti sebagai hukum Al-Quran
dan kata al-insan sebagai insan
kamil (manusia sempurna), yakni Nabi
Besar Muhammad saw., maka ayat ini akan
berarti bahwa dari semua penghuni seluruh
langit dan bumi, hanyalah Nabi
Besar Muhammad saw. sendiri saja yang mampu diamanati
wahyu Ilahi yang mengandung syariat yang paling sempurna dan penutup, ialah syariat Al-Quran
(QS.3:86; QS.5:4), sebab kecuali beliau saw. tidak ada orang atau wujud lain
yang pernah dianugerahi sifat-sifat agung
yang mutlak diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawab
besar ini sepenuhnya dan sebaik-baiknya (QS.3:32; QS.4:70-71).
(3) Kalau kata hamala
diambil dalam arti mengkhianati atau tidak jujur terhadap suatu amanat,
maka ayat ini akan berarti bahwa amanat
syariat Ilahi telah dibebankan atas manusia
dan makhluk-makhluk lainnya yang ada
di bumi maupun di langit. Mereka itu semua — kecuali manusia — menolak mengkhianati
amanat ini, yakni mereka itu sepenuhnya
dan dengan setia menjalankan segala hukum yang kepada hukum-hukum itu mereka harus tunduk. Itulah makna kata “bertasbih kepada Allah Swt. apa pun yang
ada di seluruh langit dan bumi” (QS.17:45; QS.24:42; QS.57:2; QS.61:2; QS.63:2;
QS.64:2).
Seluruh alam setia kepada hukum-hukum-Nya dan para malaikat juga melaksanakan tugas mereka dengan setia dan patuh (QS.16:50-51),
hanya manusia saja yang disebabkan
telah dikaruniai kebebasan bertindak
dan berkemauan mau juga mengingkari dan melanggar perintah Allah Swt. (QS.18:30), sebab ia aniaya (zhalum) dan mengabaikan serta
tidak mempedulikan tugas dan kewajibannya (jahul). Arti demikian mengenai ayat
ini didukung oleh QS.41:12.
Dua Macam “Fana” atau “Dhāllan” Nabi Besar Muhammad
saw.
Dalam Bab sebelumnya
telah dikemukakan mengenai peristiwa Mi’raj (Kenaikan Ruhani) Nabi Besar
Muhammad Saw, dalam kaitannya dengan “sungai khamar” serta “kemabukan ruhani” yang dialami para
penempuh suluk (jalan ruhani) --
sebagaimana telah dikemukakan berkenaan dengan dua Sufi terkenal: Abu
Yazid al-Bisthami dan Mansyur
“Al-Hallaj”, sehingga dalam keadaan “mabuk ruhani” mengucapkan kata-kata (ucapan-ucapan) yang sukar
difahami oleh orang-orang yang belum mencapai tingkatan fana
atau keadaan “dhāllan”
atau “dhāllin” atau “manunggal” seperti itu.
Dalam
Al-Quran Allah Swt. mengemukakan dua macam
fana, yakni (1) yang berkaitan
dengan Tuhan (Allah Swt.) yakni Haququllāh
(pemenuhan hak-hak Allah Swt.) dan (2)
yang berkaitan dengan umat manusia
yakni haququl-‘Ibād (pemenuhan hak-hak sesama hamba
Allah Swt.), mengenai hal ini telah
dijelaskan sehubungan dengan firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾
وَ النَّجۡمِ اِذَا ہَوٰی ۙ﴿﴾ مَا
ضَلَّ صَاحِبُکُمۡ وَ مَا غَوٰی ۚ﴿﴾ وَ مَا یَنۡطِقُ عَنِ الۡہَوٰی ؕ﴿﴾
اِنۡ ہُوَ اِلَّا
وَحۡیٌ یُّوۡحٰی ۙ﴿﴾
عَلَّمَہٗ شَدِیۡدُ الۡقُوٰی ۙ﴿﴾ ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ فَاسۡتَوٰی ۙ﴿﴾ وَ ہُوَ
بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی ؕ﴿﴾
ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾ فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی ۚ﴿﴾ فَاَوۡحٰۤی
اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ اَوۡحٰی ﴿ؕ﴾ مَا
کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا رَاٰی ﴿﴾ اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً
اُخۡرٰی
﴿ۙ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾
عِنۡدَہَا جَنَّۃُ الۡمَاۡوٰی ﴿ؕ﴾ اِذۡ
یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی ﴿ۙ﴾ مَا
زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی ﴿﴾ لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ
الۡکُبۡرٰی ﴿﴾
Aku baca dengan
nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.
Demi bintang apabila jatuh.
Sahabat kamu tidak
sesat dan tidak pula keliru. Dan ia
sekali-kali tidak berkata-kata menuruti keinginannya. Perkataannya itu tidak lain
me-lainkan wahyu yang diwahyukan.
Tuhan Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya, Pemilik
Kekuatan, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah, berada di
ufuk tertinggi.
(An-Najm [53]:1-8).
Kesempurnaan
Mi’raj (Kenaikan Ruhani) Nabi Besar
Muhammad saw.
Makna ayat مَا ضَلَّ صَاحِبُکُمۡ وَ مَا غَوٰ -- “Sahabat kamu tidak
sesat dan tidak pula keliru” , yaitu bahwa cita-cita dan asas-asas yang dikemukakan oleh
Nabi Besar Muhammad saw. tidak salah lagi pula beliau sekali-kali tidak menyimpang dari asas-asas itu (yakni beliau saw. juga tidak tersesat).
Dengan demikian mengingat cita-cita luhur serta mulia
Nabi Besar Muhammad saw., dan mengingat
pula cara beliau saw. menjalani hidup sesuai dengan cita-cita itu, beliau saw.
adalah penunjuk-jalan yang terjamin dan aman. Selanjutnya Allah Swt. berfirman وَ مَا یَنۡطِقُ عَنِ الۡہَوٰی – “Dan ia
sekali-kali tidak berkata-kata menuruti keinginannya.” Keterangan itu lebih
diperkuat lagi dalam beberapa ayat-ayat berikutnya.
Ayat اِنۡ
ہُوَ اِلَّا وَحۡیٌ
یُّوۡحٰی
-- “Perkataannya itu tidak lain
melainkan wahyu yang diwahyukan.”
membicarakan sumber asal wahyu Nabi Besar Muhammad saw. . yang adalah dari Allah Swt.
(QS.26:193-198), maka dua ayat sebelumnya mengisyaratkan kepada tuduhan berdasarkan khayalan
kosong orang yang berotak miring dan kepada alam pikiran yang timbul dari nafsu pribadinya dan dorongan-dorongan ruh jahat, yang menduduh beliau saw.
sebagai orang sesat dan keliru
yang mengaku-aku mendapat wahyu Ilahi.
Namun tuduhan dusta tersebut
dibantah dengan ayat selanjutnya عَلَّمَہٗ
شَدِیۡدُ الۡقُوٰی
-- “Tuhan
Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya,” Al-Quran adalah wahyu yang gagah perkasa, yang di hadapannya semua Kitab Suci terdahulu pudar artinya. ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ
فَاسۡتَوٰی ۙ – “Pemilik Kekuatan, lalu
Dia bersemayam di atas ‘Arasy,” mirrah berarti: kekuatan karya atau
kecerdasan, pertimbangan sehat, kete-guhan (Aqrab-ul-Mawarib). Dzū
mirrah dapat juga berarti
“orang yang kekuatannya nampak kentara dengan lestari.”
Ungkapan istawā ‘alā asy-syai-i dalam
ayat فَاسۡتَوٰی ۙ
-- “lalu Dia
bersemayam di atas ‘Arasy,” berarti bahwa ia memperoleh atau memiliki hak penguasaan atau
pengaruh penuh atas barang itu. Jika
diterapkan kepada Nabi Besar Muhammad
saw., ungkapan itu akan berarti bahwa kekuatan-kekuatan
jasmani dan intelek beliau saw.
telah mencapai kekuatan dan kematangan sepenuh-penuhnya.
Makna ‘Ufuq Tertinggi & Makna “Terbakarnya Sayap” Malaikat Jibril a.s.
Mengenai kesempurnaan pribadi Nabi Besar Muhammad saw. tersebut lebih lanjut Allah Swt. menjelaskan وَ ہُوَ
بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی
-- “dan Dia mewahyukan
Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah,
berada di ufuk tertinggi,” yakni Nabi
Besar Muhammad saw. telah
mencapai batas tertinggi dalam mi’raj atau kenaikan ruhani beliau saw.,
ketika Allah Swt. menampakkan “Wujud-Nya”
(Tajalli Ilahiyyah) kepada beliau saw. dengan kebenaran dan keagungan
yang paling sempurna, yang mungkin dapat disaksikan
oleh manusia.
Atau, ayat ini dapat berarti
bahwa cahaya Islam ditempatkan pada
suatu tempat (‘ufuq) yang amat tinggi dan dari tempat itu dapat menyinari seluruh dunia. Kata pengganti huwa
dalam ayat وَ ہُوَ بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی --
“dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah, berada
di ufuk tertinggi,” dapat menunjuk kepada Allah Swt. dan kepada Nabi
Besar Muhammad saw... Lihat juga ayat 10.
‘Ufuq dalam bahasa Indonesia artinya “cakrawala” atau “garis pertemuan langit dan bumi”,
yang dalam segi ruhani mengisyaratkan
kepada batas tertinggi berbagai kemampuan manusia yang dianugerahkan
Allah Swt. guna menjangkau “langit ruhani”
atau “alam Ketuhanan”.
Sehubungan dengan makna ‘ufuq tersebut
dalam peristiwa mi’raj Nabi Besar
Muhammad saw. digambarkan bahwa Nabi Adam a.s. berada pada tingkatan langit yang pertama, lalu Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dan Nabi Yahya a.s. pada tingkatan langit kedua, kemudian Nabi Musa a.s.
pada tingkatan langit kelima, dan
Nabi Ibrahim a.s. pada tingkatan langit
keenam -- dalam riwayat lain pada
tingkatan langit ketujuh -- sedangkan Nabi Besar Muhammad saw. diceritakan
terus “naik”(mi’raj) ke tingkatan-tingkatan selanjutnya yang lebih tinggi lagi, yang bahkan
diceritakan malaikat Jibril a.s. pun tidak mampu lagi mendampingi beliau saw., dengan alasan bahwa jika ia memaksakan diri naik
(mi’raj) ke tingkatan “langit Ketuhanan” yang lebih tinggi lagi bersama dengan Nabi Besar Muhammad saw.
maka seluruh “sayapnya” (QS.35:2)
akan “terbakar” oleh Cahaya
Tajalliyat Ilahi yang tidak sanggup
dihadapinya.
Makna “terbakarnya sayap”
Malaikat Jibril a.s. tersebut telah diterangkan
sehubungan dengan makna “pingsannya”
Nabi Musa a.s. ketika Allah Swt. bertajalli
(menampakkan keagungan-Nya) ke atas gunung
dalam pengalaman ruhani Nabi Musa
a.s. (QS.7:144).
Kedekatan Nabi Besar Muhammad Saw. dengan
Allah Swt. Bagaikan “Seutas Tali dari Dua
Busur”
Selanjutnya Allah Swt. menerangkan mengenai ketinggian mi’raj (kenaikan ruhani)
Nabi Besar Muhammad saw. – setelah Malaikat Jibril a.s. tidak sanggup lagi mendampingi beliau saw. dalam mi’raj
tersebut – firman-Nya:
ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾ فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی ۚ﴿﴾ فَاَوۡحٰۤی
اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ اَوۡحٰی ﴿ؕ﴾ مَا
کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا رَاٰی ﴿﴾ اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً
اُخۡرٰی
﴿ۙ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾
عِنۡدَہَا جَنَّۃُ الۡمَاۡوٰی ﴿ؕ﴾
اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی ﴿ۙ﴾ مَا
زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی ﴿﴾ لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ
الۡکُبۡرٰی ﴿﴾
Kemudian ia, Rasulullah, mendekati
Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya,
maka jadilah ia, seakan-akan, seutas tali dari dua
buah busur, atau lebih
dekat lagi. Lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah
Dia wahyukan. مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا
رَاٰی
-- Hati Rasulullah sekali-kali tidak berdusta apa yang dia lihat. Maka apakah
kamu membantahnya mengenai apa yang
telah dia lihat? وَ لَقَدۡ رَاٰہُ
نَزۡلَۃً اُخۡرٰی -- dan sungguh
dia benar-benar melihat-Nya kedua
kali, عِنۡدَ
سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی -- dekat pohon
Sidrah tertinggi, عِنۡدَہَا جَنَّۃُ الۡمَاۡوٰی -- yang di dekatnya ada surga tempat tinggal. اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی -- ketika pohon Sidrah diselu-bungi oleh sesuatu
yang menyelubungi. مَا زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی -- penglihatannya sekali-kali tidak menyimpang dan tidak
pula melantur. لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ الۡکُبۡرٰی
-- sungguh ia benar-benar melihat Tanda paling besar dari Tanda-tanda Tuhan-Nya. (An-Najm
[53]:9-19).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 20 Maret
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar