بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
216
Makna Lain Kata “Dhāllan”
dan “Pujian Khusus” Allah Swt. Terhadap “Kepedulian” Luar Biasa Nabi Besar
Muhammad Saw. Kepada Umat Manusia
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai “mabuk
ruhani” yang dialami oleh Abu Yazid
al-Bisthami dan Mansyur al-Hallaj ketika mengalami “tajalli Ilahiyah” secara ruhani. Berikut bagian terakhir tulisan yang
kami copas dari blog Mubaudillah
Ismail:
“Hulul merupakan ajaran al-Hallaj yang membedakan dari
warna tasawuf lainya, dan hulul ini pula yang telah banyak menimbulkan polemik pada waktu itu bahkan di kalangan sufi sendiri.
Hulul secara leksikal merupakan kata benda abstrak (masdar) yang
diderivisikan dari kata (حل يحل حلا لا حلو لا) lalu di Indonesiakan menjadi
menempati, bertempat tinggal bahkan dalam bentuk plus alif-nun (حلاة) ia dapat berarti luluh atau larut menyatu. [35]
Doktrin al-hulul
adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan
lanjut dari paham it-tihad. Konsepsi al-hulul pertama kali ditampilkan oleh Husen
Ibn Mansur Al-Hallaj yang meninggal karena dihukum mati di Bagdad pada tahun 308 H, karena paham yang
disebarkan itu dipandang sesat oleh
penguasa pada masa itu.[36]
Pengertian al-hulul
secara singkat adalah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu,
yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat
kemanusiaan melalui fana atau eksate. Sebab menurut Al-Halaj, manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat
ketuhanan atau lahut dan sifat insani atau nasut. Demikian juga
Tuhan memiliki sifat ganda yaitu sifat-sifat
Ilahiyat atau lahut dan sifat
insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah menghilangkan sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, Maka Tuhan akan mengambil tempat
dalam dirinya dan terjadilah kesatuan
antara manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul. [37]
Mempunyai perasamaan dengan faham yang dikemukakan
sebelumnya yakitu Ittihad. Dalam
terminologi Indonesia hulul dikenal
sebagai: fusi penyerapan atau penyatuan ; istilah ini digunakan dalam filsafat
dengan berbagai macam pengertian.
a. Penyatuan substansial antara jasad (tubuh) dan ruh (jiwa),
b. Penyatuan ruh dengan tuhan dalam diri manusia,
c. Inherensi suatu aksi
dalam substansinya,
d. Penyatuan bentuk -bentuk (shurat) dengan materi pertama dan
e. Hubungan antara suatu benda dengan tempatnya
.[38]
Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad
yaitu dalam hulul, jasad al-Hallaj
tidak lebur sedangkan dalam ittihad
dalam diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah, dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu
dalam satu tubuh.
Teori lahut
dan nasut ini, berangkat dari
pemahamanya tentang proses kejadian manusia. Al-Halaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptankan
Tuhan sebagai copy dari diri-Nya
surah min nafsih dengan segenap sifat dan kebesaranya, sebagaimana yang
ia ungkapkan dalam syairnya:[39]
Maha suci dzat yang menampakan nasut-Nya,
Seiring cemerlang bersama lahut-Nya,
Demikian pula padu makhluk-Nya pun terlihat nyata,
Seperti manusia yang makan dan minum layaknya.
Konsepsi lahut dan nasut ini
didasarkan Al-Halaj pada firman Allah
dalam surah Al-Baqarah ayat 34.:
Artinya: dan (ingatlah) ketika Kami berfirman
kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah
mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan
orang-orang yang kafir.
Menurut pemahamannya adanya perintah
Allah agar Malaikat sujud kepada Adam
itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus
disembah sebagaimana menyembah Allah. Bagaimana gambaran hulul itu, dapat dipahami dalam ungkapan Al-Hallaj berikut ini:[40]
Berbaur sudah sukmamu dalam rohku menjadi satu,
Bagai anggur dan air bening berpadu,
Bila engkau tersentuh terusik pula aku,
Karena ketika itu, Kau dalam segala hal adalah aku.
Aku yang kurindu, dan yang kurindu aku jua,
Kami dua jiwa padu dalam satu raga,
Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam
pandanganmu,
Jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu tampak
nyata.
Dari ungkapan di atas terlihat bahwa wujud manusia
tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya
paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riel karena berlangsung dalam
kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah. Olej karena itu ucapan ana
al haq yang meluncur dari lidah Al-Hallaj bukanlah ia maksudkan sebagai
pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan. Sebab yang mengucapkan kalimat itu pada
hakikatnya adalah Tuhan juga tetapi melalui lidah Al-Hallaj. Interpensi ini sesuai
pula dengan pernyataan Al-Hallaj dalam syair berikut:[41]
Aku adalah rahasia yang maha benar, aku bukanlah yang maha benar, aku hanyalah yang benar,
bedakanlah antara kami.
Al-Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut, demikian
juga manusia. Melalui maqamat,
manusia mampu ke tingkat fana, suatu tingkat dimana manusia telah mampu
menghilangkan nasut-nya dan
meningkatkan lahut yang mengontrol
dan menjadi ini kehidupan. Yang demikian itu memungkinkan untuk hulul-nya
Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain, Tuhan menitis kepada hamba yang
dipilih-Nya, melalui titik sentral manusia yaitu roh[42].
Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil
tempat di dalamnya setelah sifat-sifat
kemanusiaan yang ada dalam tubuh
itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia mentakwilkan
ayat:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ
لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ
الْكَافِرِينَ {البقرة : ٣٤}
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:
"Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia
enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.
(QS. Al-Baqarah : 34).
Sesuai dengan ajarannya, maka tatkala ia mengatakan "Aku adalah al-Haq"
bukanlah al-Hallaj yang mengucapkan
kata-kata itu, tetapi roh Tuhan yang
mengambil dalam dirinya.
Sementara itu, hululnya Tuhan
kepada manusia erat kaitannya dengan maqamat sebagaimana telah disebutkan,
terutama maqam fana. Fana bagi
al-Hallaj mengandung tiga tingkatan: tingkat memfanakan semua kecenderungan dan keinginan jiwa; tingkat memfanakan semua fikiran (tajrid aqli),
khayalan, perasaan dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya kepada
Allah, dan tingkat menghilang semua kekuatan pikir dan kesadaran. Dari tingkat
fana dilanjutkan ke tingkat fana al-fana,
peleburan ujud jati diri manusia menjadi sadar ketuhanan melarut dalam hulul
hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan[43].
D. Penutup
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1. Abu Yazid Al-Bustami adalah tokoh sufi yang pertama kali memperkenalkan faham fana,baqa dan ittihad.
2. Al Hallaj Perbedaan
adalah tokoh sufi yang pertama kali
memperkenalkan faham hulul
3. Antara al-Ittihad dengan al-Hulul
Dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, diistilahkan diri
al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah sedangkan dalam hulul, jasad al-Hallaj tidak lebur ada
dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh.
Makna Lain Kata Dhalla (Dhāllan) Berkenaan Nabi Besar
Muhammad Saw.
Sehubungan
dengan fana, istilah lain yang
digunakan Allah Swt. berkenaan kecintaan luar biasa Nabi Besar Muhammad
saw. terhadap kaum beliau saw. --
yang tenggelam dalam kesesatan atau kejahiliyyah
yang paling dalam -- Allah Swt. dalam
Al-Quran telah menggunakan kata dhāllan,
firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾
وَ الضُّحٰی ۙ﴿﴾ وَ الَّیۡلِ اِذَا سَجٰی ۙ﴿﴾ مَا وَدَّعَکَ رَبُّکَ وَ مَا قَلٰی ؕ﴿﴾ وَ
لَلۡاٰخِرَۃُ خَیۡرٌ لَّکَ مِنَ
الۡاُوۡلٰی ؕ﴿﴾ وَ لَسَوۡفَ
یُعۡطِیۡکَ رَبُّکَ فَتَرۡضٰی ؕ﴿﴾ اَلَمۡ
یَجِدۡکَ یَتِیۡمًا فَاٰوٰی ۪﴿﴾ وَ وَجَدَکَ
ضَآلًّا فَہَدٰی ۪﴿﴾ وَ وَجَدَکَ عَآئِلًا فَاَغۡنٰی ؕ﴿﴾ فَاَمَّا الۡیَتِیۡمَ
فَلَا تَقۡہَرۡ ؕ﴿﴾ وَ اَمَّا
السَّآئِلَ فَلَا تَنۡہَرۡ ﴿ؕ﴾ وَ اَمَّا بِنِعۡمَۃِ رَبِّکَ فَحَدِّثۡ ﴿٪﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah,
Maha Penyayang. Demi terangnya sinar pagi ke-tika sedang naik. Dan demi malam apabila kegelapannya menyebar. Sekali-kali Rabb (Tuhan) engkau tidak meninggalkan
engkau dan tidak pula Dia murka atas engkau. Dan sesungguhnya keadaan kemudian lebih baik bagi
engkau daripada keadaan permulaan.
Dan Rabb (Tuhan) engkau segera akan
memberikan kepada engkau hingga engkau
menjadi puas. Tidakkah Dia
mendapati engkau yatim lalu Dia
memberikan perlindungan? وَ
وَجَدَکَ ضَآلًّا -- dan Dia
mendapati engkau larut/tenggelam dalam kecintaan kepada kaum engkau, فَہَدٰی -- lalu
Dia memberi engkau petunjuk. Dan Dia
mendapati engkau berkekurangan lalu Dia
memperkaya engkau. Karena itu terhadap
anak yatim maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang, dan terhadap orang yang meminta-minta janganlah
engkau menghardik, dan terhadap
nikmat Rabb (Tuhan) engkau hendaknya menyatakannya. (Adh-Dhuha [93]:1-12).
Orang-orang yang tidak mengerti
mengartikan kata ضَآلًّا
dalam ayat وَ وَجَدَکَ ضَآلًّا فَہَدٰی -- “dan
Dia mendapati engkau larut dalam
kecintaan kepada kaum engkau, lalu Dia memberi engkau petunjuk”,
dengan makna “sesat”, padahal
maknanya bukan sesat, melainkan “tenggelam atau
sirna dalam kecintaan, yakni karena Nabi Besar Muhammad saw. benar-benar “tenggelam dalam kecintaan” kepada kaum beliau saw. maka
hal tersebut telah membuat beliau saw. melakukan berbagai upaya untuk memberi petunjuk
kepada kaumnya agar mereka keluar dari “ketenggelaman” mereka dalam kesesatan
kejahiliyahan mereka yang sangat dalam (QS.63:3-4).
Makna
kata dhālla berkenaan dengan Nabi Besar Muhammad saw.
dalam ayat tersebut berarti: ia bingung dan tidak mampu melihat arah
tujuan; ia sama sekali tenggelam atau hilang dalam kecintaan, atau berkelana
mencari sesuatu dan gigih dalam pencariannya (Lexicon Lane).
Sehubungan dengan hal tersebut, berikut firman-Nya mengenai kepedulian besar yang diperagakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. terhadap umat manusia agar mereka menerima petunjuk Allah Swt. – yaki Al-Quran) -- yang diamanatkan Allah Swt. kepada beliau saw.:
وَ اِنۡ کَانَ کَبُرَ عَلَیۡکَ
اِعۡرَاضُہُمۡ فَاِنِ اسۡتَطَعۡتَ اَنۡ تَبۡتَغِیَ نَفَقًا فِی الۡاَرۡضِ اَوۡ سُلَّمًا فِی السَّمَآءِ فَتَاۡتِیَہُمۡ بِاٰیَۃٍ ؕ وَ لَوۡ شَآءَ اللّٰہُ لَجَمَعَہُمۡ عَلَی الۡہُدٰی فَلَا تَکُوۡنَنَّ
مِنَ الۡجٰہِلِیۡنَ ﴿﴾
Dan jika berpalingnya mereka terasa berat bagi
engkau, maka kalau engkau sanggup
mencari lubang ke dalam bumi atau tangga
ke langit, lalu engkau mendatangkan
kepada mereka suatu Tanda. Dan jika
Allah menghendaki niscaya mereka
akan dihimpun-Nya kepada petunjuk, maka janganlah sekali-kali engkau menjadi orang-orang yang jahil. (Al-An’ām
[6]:36).
Kata-kata
mencari lubang tembusan ke dalam bumi berarti “menggunakan
daya-upaya dunawi,” yakni menablighkan dan menyebarkan kebenaran, dan
kata-kata tangga ke langit, maknanya “menggunakan daya-upaya ruhani,” yakni memanjatkan doa ke hadirat Allah Swt. untuk memohon hidayat (petunjuk) bagi orang-orang
kafir dan sebagainya.
Shalat sungguh
merupakan tangga yang dengan itu
orang (secara ruhani) dapat naik ke langit. Dalam ayat tersebut Nabi Besar
Muhammad saw. diberi tahu oleh Allah Swt. supaya menggunakan kedua upaya ini. Dengan demikian jelaslah bahwa bahwa ayat tersebut bukan merupakan “celaan”
melainkan merupakan “pujian khusus” Allah Swt. terhadap “dhāllan (kecintaan) Nabi
Besar Muhammad saw. terhadap umat manusia (QS.18:7; QS.26:4-5).
Kata jahil seperti dalam
QS.2:274 artinya “seseorang yang tidak tahu-menahu” atau “tidak mengenal.” Nabi Besar Muhammad saw. dianjurkan agar jangan sampai tidak
mengenal Hukum Tuhan dalam perkara
ini. Ayat itu pun menyingkapkan keprihatinan
dan perhatian besar Nabi Besar Muhammad saw. untuk kesejahteraan ruhani kaum beliau saw..
Nabi Besar Muhammad saw. bersedia
untuk sedapat mungkin membawakan kepada mereka Tanda, sekalipun beliau harus “mencari
lubang tembusan ke dalam bumi atau tangga ke langit,” walau pun dalam
QS.6:111-114 Allah Swt. menyatakan bahwa orang-orang
kafir tetap akan menolak kebenaran,
sekali pun berbagai macam dalil dan mukjizat dikemukakan secara jelas di hadapan mereka. Benarlah firman-Nya
berikut ini mengenai kepedulian luar biasa beliau saw.
terhadap umat manusia:
لَقَدۡ جَآءَکُمۡ رَسُوۡلٌ مِّنۡ اَنۡفُسِکُمۡ عَزِیۡزٌ عَلَیۡہِ مَا
عَنِتُّمۡ حَرِیۡصٌ عَلَیۡکُمۡ بِالۡمُؤۡمِنِیۡنَ رَءُوۡفٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا
فَقُلۡ حَسۡبِیَ اللّٰہُ ۫٭ۖ لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا ہُوَ ؕ عَلَیۡہِ تَوَکَّلۡتُ وَ ہُوَ رَبُّ الۡعَرۡشِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾٪
Sungguh
benar-benar telah datang kepada kamu seorang Rasul dari antara kamu sendiri, berat terasa olehnya apa yang menyusahkan
kamu, ia sangat mendambakan
kesejahteraan bagi kamu dan
terhadap orang-orang beriman
ia sangat berbelas kasih
lagi penyayang. Tetapi jika mereka berpaling maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan kecuali Dia, kepada-Nya-lah aku
bertawakkal, dan Dia-lah Pemilik
'Arasy yang agung. (At-Taubah [9]:128-129).
Ayat 128 ini boleh dikenakan kepada orang-orang beriman maupun kepada orang-orang kafir, tetapi terutama kepada orang-orang beriman, bagian permulaannya mengenai orang-orang kafir dan bagian terakhir
mengenai orang-orang beriman.
Kepada orang-orang kafir nampaknya ayat ini mengatakan: “Rasulullah saw. merasa sedih melihat kamu mendapat
kesusahan, yaitu sekalipun kamu mendatangkan kepadanya segala macam keaniayaan
dan kesusahan, namun hatinya begitu sarat dengan rasa kasih-sayang kepada umat
manusia, sehingga tidak ada tindakan yang datang dari pihak kamu dapat membuatnya
menjadi keras hati terhadap kamu dan membuat ia menginginkan keburukan bagimu.
Ia begitu penuh kasih-sayang dan belas kasihan terhadap kamu, sehingga ia tidak
tega hati melihat kamu menyimpang dari jalan kebenaran hingga mendatangkan
kesusahan kepada kamu.”
Kepada orang-orang beriman ayat ini
berkata: “Rasulullah saw. penuh
dengan kecintaan, kasih-sayang, dan rahmat bagi kamu, yaitu ia dengan riang dan
gembira ikut dengan kamu dalam menanggung kesedihan dan kesengsaraan kamu. Lagi
pula, seperti seorang ayah yang penuh dengan kecintaan ia memperlakukan kamu,
dengan sangat murah hati dan kasih-sayang.”
Pujian Khusus Allah Swt. dalam Nada “Mencela” kepada Nabi Besar Muhammad Saw.
Jadi, kembali kepada Surah Adh-Dhuha
[93]:1-12, arti kata dhālla dalam
ayat وَ وَجَدَکَ ضَآلًّا -- dan
Dia mendapati engkau larut/tenggelam
dalam kecintaan kepada kaum engkau,
فَہَدٰی -- lalu
Dia memberi engkau petunjuk. dapat
ditafsirkan sebagai berikut:
(1) Nabi Besar Muhammad saw. sebelum diangkat sebagai Rasul Allah, beliau saw. berkelana mencari jalan dan sarana
untuk mencapai Allah Swt., di antaranya sering bertafakkur di
gua Hira selama berhari-hari, lalu
Dia mewahyukan kepada beliau saw. syariat yang terakhir
dan tersempurna yang membimbing
beliau saw. ke arah tujuan yang didambakan;
(2) Beliau bingung dan tidak mengetahui
betapa cara menemukan jalan yang
menjurus ke arah tercapainya apa yang dicari
beliau saw. lalu Allah Swt. membimbing beliau saw. ke jalan itu;
(3) Seluruh wujud beliau saw. telah fana
(hilang/sirna/tenggelam/larut) )dalam kecintaan
kepada kaum beliau saw. agar dapat mengeluarkan mereka dari kesesatan dan kejahiliyahan mereka, lalu
Allah Swt. membekali beliau saw. dengan petunjuk
sempurna bagi mereka;
(4) Beliau saw. tersembunyi
dari mata dunia lalu Allah Swt. menemukan
beliau saw. lalu memilih beliau saw. untuk mengemban tugas membimbing umat manusia
supaya sampai kepada-Nya (QS.7:159; QS.21:108; QS.25:2;
QS.34:29).
Dengan demikian kata dhālla tidak
dipakai sebagai celaan, bahkan
sebagai pujian terhadap Nabi Besar Muhammad saw.. Kata ini tidak mengena dan tidak pula dapat
dikenakan kepada beliau saw. dalam arti
“telah tersesat,” sebab menurut ayat
Al-Quran lain (QS.53:3) beliau saw. kebal
terhadap kesalahan atau kesesatan.
Lebih-lebih 6 ayat terakhir dalam Surah ini
menunjukkan suatu urutan tertentu ayat-ayat 7, 8, dan 9 masing-masing mempunyai
hubungan erat dan bersesuaian dengan ayat-ayat 10, 11, dan 12. Dhālla dalam
ayat 8, yang digantikan oleh kata sā’il dalam ayat وَ اَمَّا السَّآئِلَ فَلَا تَنۡہَرۡ --
“Dan terhadap orang yang
me-minta-minta janganlah engkau
menghardik”, menjelaskan arti dhālla, yaitu “orang yang mencari pertolongan Ilahi supaya
dibimbing kepada-Nya atau supaya diberi petunjuk.”
Ayat وَ وَجَدَکَ ضَآلًّا فَہَدٰی dapat pula berarti “Allah Swt. mendapatkan diri engkau hilang-sirna (fana) alam keasyikan mencari Dia, lalu Dia membimbing
engkau ke hadirat-Nya.”
Kata Dhallin Sehubungan dengan Jawaban Nabi Musa a.s.
Pengertian mengenai kata dhalla (dhāllīn) itu pulalah yang dikemukakan Nabi
Musa a.s. ketika menjawab tuduhan
Fir’aun bahwa beliau secara zalim
telah memukul dengan sengaja seorang dari kaum Fir’aun sehingga ia tewas,
firman-Nya:
قَالَ اَلَمۡ نُرَبِّکَ فِیۡنَا
وَلِیۡدًا وَّ لَبِثۡتَ فِیۡنَا مِنۡ عُمُرِکَ سِنِیۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ فَعَلۡتَ
فَعۡلَتَکَ الَّتِیۡ فَعَلۡتَ وَ اَنۡتَ مِنَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾ قَالَ فَعَلۡتُہَاۤ
اِذًا وَّ اَنَا مِنَ الضَّآلِّیۡنَ ﴿ؕ﴾ فَفَرَرۡتُ مِنۡکُمۡ
لَمَّا خِفۡتُکُمۡ فَوَہَبَ لِیۡ رَبِّیۡ حُکۡمًا وَّ جَعَلَنِیۡ مِنَ
الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾ وَ تِلۡکَ
نِعۡمَۃٌ تَمُنُّہَا عَلَیَّ اَنۡ عَبَّدۡتَّ بَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿ؕ﴾
Fir’aun berkata: “Ya Musa, bukankah kami telah memelihara engkau
di antara kami ketika engkau kanak-kanak, dan engkau benar-benar telah tinggal di antara kami beberapa tahun
dalam hidup engkau. Dan engkau telah
melakukan perbuatan yang pernah
engkau lakukan itu dan engkau dari
antara orang yang tidak berterimakasih. قَالَ فَعَلۡتُہَاۤ اِذًا وَّ اَنَا مِنَ الضَّآلِّیۡنَ -- Musa berkata: “Aku telah melakukannya demikian dan ketika itu aku dalam
keadaan kalut. Maka aku melarikan diri da-ri kamu tatkala aku
takut kepada kamu, lalu Rabb-ku (Tuhan-ku)
menganugerahkan kepadaku hikmah dan menjadikan aku seorang dari
rasul-rasul. Dan apakah
nikmat pemeliharaan yang engkau telah memberikannya kepadaku itu sehingga engkau beralasan telah
memperbudak Bani Israil?” (Asy-Syu’ara [26]:19-23).
Dhall berasal dari
kata dhalla yang berarti: ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan; ia
berada dalam keadaan pikiran kalut; ia tenggelam dalam kecintaan (Lane).
Tatkala orang Israil itu memanggil beliau dan minta menolongnya terhadap orang
Mesir, Nabi Musa a.s. a.s. tidak
tahu apa yang harus beliau lakukan, oleh karena hasrat beliau besar sekali
untuk menolong orang Israil yang malang dan tidak berdaya itu (QS.28:16-21),
beliau memberi pukulan keras sehingga membuat orang itu mati terkapar.
Kematian orang Mesir itu tidak
terduga sebab satu pukulan dengan tinju biasanya tidak menyebabkan kematian
seseorang. Atau ayat ini dapat juga diartikan,
bahwa disebabkan oleh besarnya kecintaan Nabi Musa a.s. kepada orang-orang tertindas, beliau datang
menolong orang Israil dan meninju orang Mesir itu, sehingga
mengakibatkan kematiannya. Atau
artinya ialah, bahwa beliau melakukan hal itu, karena tidak menginsyafi
akibat-akibatnya.
Hakikat
bahwa sesudah membunuh orang Mesir itu Nabi Musa a.s. melarikan diri, lalu Allah Swt. mengangkat
beliau sebagai seorang nabi —sungguh
suatu nikmat Ilahi yang besar sekali—
merupakan suatu bukti, bahwa apa yang
telah dilakukan oleh Nabi Musa a.s. itu adalah suatu perbuatan yang tidak
disengaja dan dilakukan karena dorongan
hati yang terbetik secara
tiba-tiba akibat kecintaan beliau terhadap orang Israil yang dizalimi
oleh orang Mesir.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 18 Maret
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar