Minggu, 11 Mei 2014

Makna Lain Kata "Dhaallan" dan "Pujian Khusus" Allah Swt. Terhadap "Kepedulian" Luarbiasa Nabi Besar Muhammad saw. Kepada Umat Manusia



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   216

Makna Lain Kata “Dhāllan” dan  “Pujian Khusus” Allah Swt. Terhadap “Kepedulian” Luar Biasa Nabi Besar Muhammad Saw.  Kepada Umat Manusia

Oleh
 
Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai  “mabuk ruhani” yang dialami oleh Abu Yazid al-Bisthami dan Mansyur al-Hallaj  ketika mengalami “tajalli Ilahiyah” secara ruhani. Berikut   bagian terakhir tulisan yang kami copas  dari blog Mubaudillah Ismail:
“Hulul merupakan ajaran al-Hallaj yang membedakan dari warna tasawuf lainya, dan hulul ini pula yang telah banyak menimbulkan polemik pada waktu itu bahkan di kalangan sufi sendiri.
Hulul secara leksikal merupakan kata benda abstrak (masdar) yang diderivisikan dari kata (حل يحل حلا لا حلو لا) lalu di Indonesiakan menjadi menempati, bertempat tinggal bahkan dalam bentuk plus alif-nun (حلاة) ia dapat berarti luluh atau larut menyatu. [35]
Doktrin al-hulul adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan lanjut dari paham it-tihad. Konsepsi al-hulul pertama kali ditampilkan oleh Husen Ibn Mansur Al-Hallaj yang meninggal karena dihukum mati di Bagdad pada tahun 308 H, karena paham yang disebarkan itu dipandang sesat oleh penguasa pada masa itu.[36]
Pengertian al-hulul secara singkat adalah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat kemanusiaan melalui fana atau eksate. Sebab menurut Al-Halaj, manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat ketuhanan atau lahut dan sifat insani atau nasut. Demikian juga Tuhan memiliki sifat ganda yaitu sifat-sifat Ilahiyat atau lahut dan sifat insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah menghilangkan sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, Maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan antara manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul. [37]
Mempunyai perasamaan dengan faham yang dikemukakan sebelumnya yakitu Ittihad. Dalam terminologi Indonesia hulul dikenal sebagai: fusi penyerapan atau penyatuan ; istilah ini digunakan dalam filsafat dengan berbagai macam pengertian.
a. Penyatuan substansial antara jasad (tubuh) dan ruh (jiwa),
b. Penyatuan ruh dengan tuhan dalam diri manusia,
c. Inherensi suatu aksi dalam substansinya,
d. Penyatuan bentuk -bentuk (shurat) dengan materi pertama dan
e. Hubungan antara suatu benda dengan tempatnya .[38]
Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam hulul, jasad al-Hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah, dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh.
Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamanya tentang proses kejadian manusia. Al-Halaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptankan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya surah min nafsih dengan segenap sifat dan kebesaranya, sebagaimana yang ia ungkapkan dalam syairnya:[39]
Maha suci dzat yang menampakan nasut-Nya,
Seiring cemerlang bersama lahut-Nya,
Demikian pula padu makhluk-Nya pun terlihat nyata,
Seperti manusia yang makan dan minum layaknya.
Konsepsi lahut dan nasut ini didasarkan Al-Halaj pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 34.:
Artinya: dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Menurut pemahamannya adanya perintah Allah agar Malaikat sujud kepada Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus disembah sebagaimana menyembah Allah. Bagaimana gambaran hulul itu, dapat dipahami dalam ungkapan Al-Hallaj berikut ini:[40]
Berbaur sudah sukmamu dalam rohku menjadi satu,
Bagai anggur dan air bening berpadu,
Bila engkau tersentuh terusik pula aku,
Karena ketika itu, Kau dalam segala hal adalah aku.
Aku yang kurindu, dan yang kurindu aku jua,
Kami dua jiwa padu dalam satu raga,
Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam pandanganmu,
Jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu tampak nyata.
Dari ungkapan di atas terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riel karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah. Olej karena itu ucapan ana al haq yang meluncur dari lidah Al-Hallaj bukanlah ia maksudkan sebagai pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan. Sebab yang mengucapkan kalimat itu pada hakikatnya adalah Tuhan juga tetapi melalui lidah Al-Hallaj. Interpensi ini sesuai pula dengan pernyataan Al-Hallaj dalam syair berikut:[41]
Aku adalah rahasia yang maha benar, aku bukanlah yang maha benar, aku hanyalah yang benar, bedakanlah antara kami.
Al-Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut, demikian juga manusia. Melalui maqamat, manusia mampu ke tingkat fana, suatu tingkat dimana manusia telah mampu menghilangkan nasut-nya dan meningkatkan lahut yang mengontrol dan menjadi ini kehidupan. Yang demikian itu memungkinkan untuk hulul-nya Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain, Tuhan menitis kepada hamba yang dipilih-Nya, melalui titik sentral manusia yaitu roh[42].
Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia mentakwilkan ayat:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ {البقرة : ٣٤}
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Baqarah : 34).
Sesuai dengan ajarannya, maka tatkala ia mengatakan "Aku adalah al-Haq" bukanlah al-Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi roh Tuhan yang mengambil dalam dirinya.
Sementara itu, hululnya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan maqamat sebagaimana telah disebutkan, terutama maqam fana. Fana bagi al-Hallaj mengandung tiga tingkatan: tingkat memfanakan semua kecenderungan dan keinginan jiwa; tingkat memfanakan semua fikiran (tajrid aqli), khayalan, perasaan dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya kepada Allah, dan tingkat menghilang semua kekuatan pikir dan kesadaran. Dari tingkat fana dilanjutkan ke tingkat fana al-fana, peleburan ujud jati diri manusia menjadi sadar ketuhanan melarut dalam hulul hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan[43].

D. Penutup

Dari uraian di atas dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1. Abu Yazid Al-Bustami adalah tokoh sufi yang pertama kali memperkenalkan faham fana,baqa dan ittihad.
2. Al Hallaj Perbedaan adalah tokoh sufi yang pertama kali memperkenalkan faham hulul
3. Antara al-Ittihad dengan al-Hulul
Dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, diistilahkan diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah sedangkan dalam hulul, jasad al-Hallaj tidak lebur ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh.

Makna Lain Kata Dhalla (Dhāllan) Berkenaan Nabi Besar Muhammad Saw.

    Sehubungan dengan  fana,  istilah lain yang digunakan Allah Swt. berkenaan kecintaan luar biasa Nabi Besar Muhammad saw. terhadap kaum beliau saw. -- yang tenggelam dalam kesesatan  atau kejahiliyyah yang paling dalam    -- Allah Swt. dalam Al-Quran telah menggunakan kata dhāllan, firman-Nya:    
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ وَ الضُّحٰی ۙ﴿﴾ وَ الَّیۡلِ  اِذَا سَجٰی ۙ﴿﴾  مَا وَدَّعَکَ رَبُّکَ وَ مَا قَلٰی ؕ﴿﴾  وَ  لَلۡاٰخِرَۃُ  خَیۡرٌ لَّکَ مِنَ الۡاُوۡلٰی ؕ﴿﴾  وَ  لَسَوۡفَ یُعۡطِیۡکَ رَبُّکَ فَتَرۡضٰی ؕ﴿﴾  اَلَمۡ  یَجِدۡکَ یَتِیۡمًا فَاٰوٰی ۪﴿﴾  وَ  وَجَدَکَ ضَآلًّا فَہَدٰی ۪﴿﴾  وَ وَجَدَکَ عَآئِلًا فَاَغۡنٰی ؕ﴿﴾  فَاَمَّا  الۡیَتِیۡمَ  فَلَا تَقۡہَرۡ ؕ﴿﴾  وَ اَمَّا السَّآئِلَ  فَلَا تَنۡہَرۡ ﴿ؕ﴾ وَ اَمَّا بِنِعۡمَۃِ  رَبِّکَ  فَحَدِّثۡ ﴿٪﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.  Demi terangnya sinar pagi ke-tika sedang naik.   Dan demi malam apabila kegelapannya menyebar. Sekali-kali Rabb (Tuhan) engkau tidak meninggalkan engkau  dan tidak pula Dia murka atas engkau.  Dan sesungguhnya keadaan  kemudian lebih baik bagi engkau daripada keadaan permulaan.  Dan Rabb (Tuhan) engkau   segera akan  memberikan kepada engkau hingga engkau menjadi puas.  Tidakkah Dia  mendapati engkau yatim lalu Dia memberikan perlindungan? وَ  وَجَدَکَ ضَآلًّا   --  dan Dia mendapati engkau larut/tenggelam dalam kecintaan kepada kaum engkau,  فَہَدٰی   --   lalu Dia memberi engkau petunjuk.    Dan Dia mendapati engkau berkekurangan lalu Dia memperkaya engkau. Karena itu terhadap anak yatim maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang, dan terhadap orang yang meminta-minta  janganlah engkau menghardik, dan terhadap nikmat Rabb (Tuhan) engkau hendaknya menyatakannya.   (Adh-Dhuha [93]:1-12).
          Orang-orang yang tidak mengerti mengartikan  kata  ضَآلًّا    dalam ayat  وَ  وَجَدَکَ ضَآلًّا فَہَدٰی   --  “dan Dia mendapati engkau larut dalam kecintaan kepada kaum engkau, lalu Dia memberi engkau petunjuk”,     dengan makna “sesat”, padahal maknanya  bukan sesat, melainkan “tenggelam atau sirna dalam kecintaan, yakni karena Nabi Besar Muhammad saw.  benar-benar “tenggelam dalam kecintaan” kepada kaum beliau saw.  maka  hal tersebut telah membuat beliau saw. melakukan berbagai upaya untuk memberi petunjuk  kepada kaumnya agar mereka keluar dari “ketenggelaman” mereka dalam kesesatan kejahiliyahan mereka  yang sangat dalam (QS.63:3-4).
         Makna kata dhālla   berkenaan dengan Nabi Besar Muhammad saw. dalam ayat  tersebut   berarti:   ia bingung dan tidak mampu melihat arah tujuan; ia sama sekali tenggelam atau hilang dalam kecintaan, atau berkelana mencari sesuatu dan gigih dalam pencariannya (Lexicon Lane).
       Sehubungan dengan hal tersebut,  berikut firman-Nya mengenai kepedulian besar yang diperagakan  oleh Nabi Besar Muhammad saw. terhadap umat manusia agar mereka menerima petunjuk Allah Swt.   – yaki Al-Quran) -- yang diamanatkan Allah Swt. kepada beliau saw.:
وَ اِنۡ کَانَ  کَبُرَ عَلَیۡکَ اِعۡرَاضُہُمۡ فَاِنِ اسۡتَطَعۡتَ اَنۡ تَبۡتَغِیَ نَفَقًا فِی الۡاَرۡضِ اَوۡ  سُلَّمًا فِی السَّمَآءِ  فَتَاۡتِیَہُمۡ  بِاٰیَۃٍ ؕ وَ لَوۡ شَآءَ اللّٰہُ  لَجَمَعَہُمۡ عَلَی الۡہُدٰی فَلَا تَکُوۡنَنَّ مِنَ  الۡجٰہِلِیۡنَ ﴿﴾
Dan jika berpalingnya mereka terasa berat bagi engkau, maka kalau engkau sanggup mencari lubang ke dalam bumi  atau tangga ke langit, lalu engkau mendatangkan kepada mereka suatu Tanda. Dan  jika Allah menghendaki niscaya mereka akan dihimpun-Nya kepada petunjuk, maka janganlah sekali-kali engkau menjadi orang-orang yang jahil. (Al-An’ām [6]:36).
     Kata-kata  mencari lubang tembusan ke dalam bumi  berarti “menggunakan daya-upaya dunawi,” yakni menablighkan dan menyebarkan kebenaran, dan kata-kata tangga ke langit, maknanya “menggunakan daya-upaya ruhani,” yakni memanjatkan doa ke hadirat Allah Swt.   untuk memohon hidayat (petunjuk) bagi orang-orang kafir dan sebagainya.
       Shalat sungguh merupakan tangga yang dengan itu orang (secara ruhani) dapat naik ke langit. Dalam ayat tersebut Nabi Besar Muhammad saw. diberi tahu oleh Allah Swt. supaya menggunakan kedua upaya ini.  Dengan demikian jelaslah bahwa bahwa  ayat tersebut bukan merupakan “celaan” melainkan merupakan “pujian khusus” Allah Swt. terhadap “dhāllan  (kecintaan) Nabi Besar Muhammad saw. terhadap  umat manusia (QS.18:7; QS.26:4-5).
      Kata jahil seperti dalam QS.2:274 artinya  seseorang yang tidak tahu-menahu” atau “tidak mengenal.”  Nabi Besar Muhammad saw.  dianjurkan agar jangan sampai tidak mengenal Hukum Tuhan dalam perkara ini. Ayat itu pun menyingkapkan keprihatinan dan perhatian besar Nabi Besar Muhammad saw.  untuk kesejahteraan ruhani kaum beliau saw..
Nabi Besar Muhammad saw. bersedia untuk sedapat mungkin membawakan kepada mereka Tanda, sekalipun beliau harus “mencari lubang tembusan ke dalam bumi atau tangga ke langit,” walau pun dalam QS.6:111-114 Allah Swt. menyatakan bahwa orang-orang kafir tetap akan menolak kebenaran, sekali pun berbagai macam dalil dan mukjizat dikemukakan secara jelas  di hadapan mereka. Benarlah firman-Nya berikut ini mengenai  kepedulian luar biasa beliau saw. terhadap umat manusia:
لَقَدۡ جَآءَکُمۡ رَسُوۡلٌ مِّنۡ اَنۡفُسِکُمۡ عَزِیۡزٌ عَلَیۡہِ مَا عَنِتُّمۡ حَرِیۡصٌ عَلَیۡکُمۡ بِالۡمُؤۡمِنِیۡنَ رَءُوۡفٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَقُلۡ حَسۡبِیَ اللّٰہُ ۫٭ۖ لَاۤ  اِلٰہَ  اِلَّا ہُوَ ؕ عَلَیۡہِ  تَوَکَّلۡتُ وَ ہُوَ رَبُّ الۡعَرۡشِ  الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾٪
Sungguh benar-benar  telah datang kepada kamu seorang Rasul dari antara kamu sendiri, berat terasa olehnya apa yang menyusahkan kamu, ia sangat mendambakan kesejahteraan bagi kamu dan  terhadap orang-orang beriman  ia sangat berbelas kasih lagi penyayang.  Tetapi jika  mereka berpaling  maka katakanlah: “Cukuplah   Allah bagiku, tidak ada Tuhan kecuali Dia, kepada-Nya-lah aku bertawakkal, dan Dia-lah Pemilik 'Arasy yang agung. (At-Taubah [9]:128-129).
   Ayat 128 ini boleh dikenakan kepada orang-orang beriman  maupun kepada orang-orang kafir, tetapi terutama kepada orang-orang beriman, bagian permulaannya mengenai orang-orang kafir dan bagian terakhir mengenai orang-orang beriman. 
Kepada orang-orang kafir nampaknya ayat ini mengatakan: “Rasulullah saw. merasa sedih melihat kamu mendapat kesusahan, yaitu sekalipun kamu mendatangkan kepadanya segala macam keaniayaan dan kesusahan, namun hatinya begitu sarat dengan rasa kasih-sayang kepada umat manusia, sehingga tidak ada tindakan yang datang dari pihak kamu dapat membuatnya menjadi keras hati terhadap kamu dan membuat ia menginginkan keburukan bagimu. Ia begitu penuh kasih-sayang dan belas kasihan terhadap kamu, sehingga ia tidak tega hati melihat kamu menyimpang dari jalan kebenaran hingga mendatangkan kesusahan kepada kamu.”
Kepada orang-orang beriman  ayat ini berkata: “Rasulullah saw.  penuh dengan kecintaan, kasih-sayang, dan rahmat bagi kamu, yaitu ia dengan riang dan gembira ikut dengan kamu dalam menanggung kesedihan dan kesengsaraan kamu. Lagi pula, seperti seorang ayah yang penuh dengan kecintaan ia memperlakukan kamu, dengan sangat murah hati dan kasih-sayang.”

Pujian Khusus  Allah Swt. dalam Nada “Mencela” kepada Nabi Besar Muhammad Saw.

   Jadi, kembali kepada  Surah  Adh-Dhuha [93]:1-12,  arti kata dhālla dalam ayat     وَ  وَجَدَکَ ضَآلًّا   --  dan Dia mendapati engkau larut/tenggelam dalam kecintaan kepada kaum engkau,  فَہَدٰی   --   lalu Dia memberi engkau petunjuk. dapat ditafsirkan sebagai berikut:
 (1) Nabi Besar Muhammad saw.  sebelum diangkat sebagai Rasul Allah, beliau saw. berkelana mencari jalan dan sarana untuk mencapai Allah Swt., di antaranya sering bertafakkur di gua Hira selama berhari-hari, lalu Dia mewahyukan kepada beliau saw. syariat yang  terakhir dan tersempurna yang membimbing beliau saw. ke arah tujuan yang didambakan;
  (2) Beliau bingung dan tidak mengetahui betapa cara menemukan jalan yang menjurus ke arah tercapainya apa yang dicari beliau saw. lalu  Allah Swt. membimbing beliau saw. ke jalan itu;
  (3) Seluruh wujud beliau saw. telah   fana (hilang/sirna/tenggelam/larut) )dalam kecintaan kepada kaum beliau  saw. agar dapat mengeluarkan mereka dari kesesatan dan kejahiliyahan mereka,  lalu Allah Swt. membekali beliau saw. dengan petunjuk sempurna bagi mereka;
  (4) Beliau  saw. tersembunyi dari mata dunia  lalu  Allah Swt.  menemukan beliau saw.  lalu memilih beliau saw. untuk mengemban tugas membimbing umat manusia supaya sampai kepada-Nya (QS.7:159; QS.21:108;  QS.25:2;  QS.34:29).
   Dengan demikian kata dhālla tidak dipakai sebagai celaan, bahkan sebagai pujian terhadap  Nabi Besar Muhammad saw..  Kata ini tidak mengena dan tidak pula dapat dikenakan kepada beliau  saw. dalam arti “telah tersesat,” sebab menurut ayat Al-Quran lain (QS.53:3) beliau saw. kebal terhadap kesalahan atau kesesatan.
  Lebih-lebih 6 ayat terakhir dalam Surah ini menunjukkan suatu urutan tertentu ayat-ayat 7, 8, dan 9 masing-masing mempunyai hubungan erat dan bersesuaian dengan ayat-ayat 10, 11, dan 12. Dhālla dalam ayat 8, yang digantikan oleh kata sā’il dalam ayat   وَ اَمَّا السَّآئِلَ  فَلَا تَنۡہَرۡ   -- “Dan terhadap orang yang me-minta-minta  janganlah engkau menghardik”,   menjelaskan arti dhālla, yaitu “orang yang mencari pertolongan Ilahi supaya dibimbing kepada-Nya atau supaya diberi petunjuk.”
   Ayat  وَ  وَجَدَکَ ضَآلًّا فَہَدٰی      dapat pula berarti  “Allah Swt. mendapatkan diri engkau hilang-sirna (fana) alam keasyikan mencari Dia,  lalu   Dia membimbing engkau ke hadirat-Nya.”

Kata Dhallin Sehubungan dengan Jawaban Nabi Musa a.s.

        Pengertian  mengenai kata dhalla   (dhāllīn) itu pulalah yang dikemukakan Nabi Musa a.s. ketika menjawab tuduhan Fir’aun bahwa beliau secara zalim telah memukul  dengan sengaja seorang  dari kaum Fir’aun sehingga ia tewas, firman-Nya:
قَالَ اَلَمۡ  نُرَبِّکَ فِیۡنَا وَلِیۡدًا وَّ لَبِثۡتَ فِیۡنَا مِنۡ عُمُرِکَ  سِنِیۡنَ ﴿ۙ﴾  وَ فَعَلۡتَ فَعۡلَتَکَ الَّتِیۡ فَعَلۡتَ وَ اَنۡتَ مِنَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾  قَالَ فَعَلۡتُہَاۤ  اِذًا وَّ اَنَا مِنَ الضَّآلِّیۡنَ ﴿ؕ﴾  فَفَرَرۡتُ مِنۡکُمۡ  لَمَّا خِفۡتُکُمۡ  فَوَہَبَ لِیۡ رَبِّیۡ حُکۡمًا وَّ جَعَلَنِیۡ مِنَ الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾  وَ تِلۡکَ نِعۡمَۃٌ  تَمُنُّہَا عَلَیَّ  اَنۡ عَبَّدۡتَّ بَنِیۡۤ   اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿ؕ﴾
Fir’aun berkata: “Ya Musa, bukankah kami telah memelihara  engkau  di antara kami ketika engkau kanak-kanak, dan engkau benar-benar telah tinggal di antara kami beberapa tahun dalam hidup engkau. Dan engkau telah melakukan perbuatan yang pernah engkau lakukan  itu dan engkau dari antara orang yang tidak berterimakasih.   قَالَ فَعَلۡتُہَاۤ  اِذًا وَّ اَنَا مِنَ الضَّآلِّیۡنَ -- Musa berkata: “Aku telah melakukannya  demikian dan ketika itu aku dalam keadaan kalut. Maka aku melarikan diri da-ri kamu tatkala aku takut kepada kamu, lalu Rabb-ku (Tuhan-ku) menganugerahkan kepadaku hikmah dan menjadikan aku seorang dari rasul-rasul.  Dan apakah nikmat pemeliharaan   yang  engkau telah memberikannya  kepadaku itu sehingga engkau beralasan  telah memperbudak Bani Israil?” (Asy-Syu’ara [26]:19-23).
        Dhall berasal dari kata dhalla yang berarti: ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan; ia berada dalam keadaan pikiran kalut; ia tenggelam dalam kecintaan (Lane). Tatkala orang Israil itu memanggil beliau dan minta menolongnya terhadap orang Mesir, Nabi Musa a.s. a.s.  tidak tahu apa yang harus beliau lakukan, oleh karena hasrat beliau besar sekali untuk menolong orang Israil yang malang dan tidak berdaya itu (QS.28:16-21), beliau memberi pukulan keras sehingga membuat orang itu mati terkapar.
       Kematian orang Mesir itu tidak terduga sebab satu pukulan dengan tinju biasanya tidak menyebabkan kematian seseorang. Atau ayat ini dapat juga diartikan,  bahwa disebabkan oleh besarnya kecintaan Nabi Musa a.s.  kepada orang-orang tertindas, beliau datang menolong orang Israil dan meninju orang Mesir itu, sehingga mengakibatkan kematiannya. Atau artinya ialah, bahwa beliau melakukan hal itu, karena tidak menginsyafi akibat-akibatnya.
        Hakikat bahwa sesudah membunuh orang Mesir itu Nabi Musa a.s.  melarikan diri, lalu Allah Swt. mengangkat beliau sebagai seorang nabi —sungguh suatu nikmat Ilahi yang besar sekali— merupakan suatu bukti, bahwa apa yang telah dilakukan oleh Nabi Musa a.s. itu adalah suatu perbuatan yang tidak disengaja dan dilakukan karena dorongan hati yang terbetik secara tiba-tiba akibat kecintaan  beliau terhadap orang  Israil yang dizalimi oleh orang Mesir.


(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  18 Maret      2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar