بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
212
“Pendakian Terjal” yang Ditempuh Sayyidina Abu Bakar
Shiddiq r.a.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai orang-orang miskin yang -- karena memiliki “rasa malu” yang tinggi
-- mereka tidak berani mengemukakan
kebutuhan hidupnya:
لِلۡفُقَرَآءِ الَّذِیۡنَ اُحۡصِرُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ
لَا یَسۡتَطِیۡعُوۡنَ ضَرۡبًا
فِی الۡاَرۡضِ ۫ یَحۡسَبُہُمُ الۡجَاہِلُ اَغۡنِیَآءَ مِنَ
التَّعَفُّفِ ۚ تَعۡرِفُہُمۡ بِسِیۡمٰہُمۡ ۚ لَا یَسۡـَٔلُوۡنَ النَّاسَ
اِلۡحَافًا ؕ وَ مَا تُنۡفِقُوۡا مِنۡ خَیۡرٍ فَاِنَّ اللّٰہَ
بِہٖ عَلِیۡمٌ ﴿﴾٪ اَلَّذِیۡنَ یُنۡفِقُوۡنَ اَمۡوَالَہُمۡ بِالَّیۡلِ وَ
النَّہَارِ سِرًّا
وَّ عَلَانِیَۃً فَلَہُمۡ اَجۡرُہُمۡ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ ۚ وَ لَا خَوۡفٌ
عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾ؔ
Infak
tersebut bagi orang-orang fakir yang terikat di jalan Allah, mereka tidak mampu bergerak bebas di muka bumi.
Orang yang tidak berpengetahuan
menganggap mereka itu kaya, karena
mereka menghindarkan diri dari
meminta-minta. Engkau dapat
mengenali mereka dari wajahnya, mereka tidak suka me-minta kepada manusia dengan mendesak-desak. Dan
harta apa pun yang kamu
belanjakan maka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahuinya. Orang-orang
yang membelanjakan harta mereka pada
malam dan siang dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, bagi mereka ada ganjarannya di sisi Rabb-nya (Tuhan-nya), dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah
[2]:274—275).
Ciri Pengenal Pada
“Wajahnya”
Jadi, menurut firman-Nya tersebut
terdapat segolongan “orang-orang miskin”
tetapi karena mempertahankan kehormatan
dirinya dari “meminta-minta”, sehingga orang-orang yang jahil
(tuna pengetahuan) menyangka mereka itu sebagai orang-orang yang keadaan ekonominya mencukupi, padahal tidak demikian: لَا یَسۡـَٔلُوۡنَ النَّاسَ اِلۡحَافًا -- “Engkau
dapat mengenali mereka dari wajahnya,
mereka tidak suka meminta kepada
manusia dengan mendesak-desak.”
Keadaan kadang-kadang memaksa orang untuk diam
terkurung dalam satu tempat, mereka tidak
mampu mencari rezeki. Orang-orang demikian khususnya layak mendapatkan pertolongan dari anggota-anggota
masyarakat yang lebih baik keadaannya. Ada dua macam manusia terutama termasuk dalam
golongan ini:
(a) Mereka yang dengan sukarela berkhidmat kepada seorang hamba pilihan Allah (Rasul Allah) dan
tak pernah pisah dari pergaulannya
agar mendapat faedah ruhani dari pergaulan itu. Di zaman Nabi Besar Muhammad
saw. golongan ini disebut ahli shufah,
salah satu di antaranya adalah Abu Hurairah r.a..
(b) Mereka yang karena terkurung
dalam lingkungan yang tidak bersahabat, menjadi mahrum
(luput) dari sarana keperluan hidup.
Sima
dalam ayat تَعۡرِفُہُمۡ بِسِیۡمٰہُمۡ -- “Engkau
dapat mengenali mereka dari wajahnya”, berarti tanda
atau ciri yang membedakan, atau raut wajah yang menjadi tanda atau ciri yang memperbedakan (Aqrab-al-Mawarid).
Ayat 274
ini secara sepintas lalu memuji
orang-orang yang memelihara
rasa-harga-diri dengan mencegah diri dari minta-minta dan mengandung arti ketidakpantasan
kebiasaan meminta-minta, seperti
nampak dari kata-kata ta’affuf (mencegah diri dari hal-hal yang kurang
pantas atau haram) dan ilhaf (dengan mendesak-desak). Nabi Besar Muhammad saw. mencela kebiasaan meminta-minta.
Perbedaan Zakat dengan Sedekah
Kata khair dalam ayat وَ مَا تُنۡفِقُوۡا مِنۡ خَیۡرٍ فَاِنَّ اللّٰہَ بِہٖ عَلِیۡمٌ -- “Dan orang-orang yang
membelanjakan harta mereka pada malam
dan siang dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan” berarti kekayaan;
kekayaan berlimpah-limpah; kekayaan yang dihasilkan dengan jujur (Mufradat-al-Mawarid).
Sehubungan dengan “pembelanjaan
harta di jalan Allah”, menurut Allah Swt. dalam Al-Quran ada dua
macam sedekah — yakni (1) sedekah wajib (zakat) dan (2) sedekah nafal (tambahan). Zakat dikumpulkan oleh negara dari
setiap orang Muslim yang memiliki sejumlah harta berupa uang atau kekayaan, dan
dibelanjakan oleh negara bagi fakir
miskin dan anak-anak yatim, janda, dan orang-orang dalam perjalanan (musafir), dan sebagainya; oleh karena
si penerima tidak mengetahui sumber sedekah itu sebenarnya, ia tidak berhutang budi terhadap perseorangan.
Zakat
itu tindakan negara untuk mencegah penumpukan
harta pada satu tangan dan bukan
bersifat sedekah. Sedekah itu
bersifat sukarela dan diberikan
kepada perseorangan-perseorangan dari
keinginan menolong mereka. Sedekah melahirkan perasaan simpati di antara orang-orang berada (kaya) terhadap saudara-saudara mereka yang miskin, dan
menimbulkan rasa terima kasih di
antara orang-orang miskin terhadap
para dermawan. Sedekah berperan pula
untuk membedakan orang-orang beriman
yang ikhlas dari yang tidak.
Dari penjelasan mengenai adab
(sopan-santun) melakukan infaq (pembelanjaan harta) di jalan
Allah Swt. dalam QS.2:262-275 maka firman Allah Swt. mengenai
“pendakian terjal” dalam firman-Nya
sebelum ini menjadi jelas, karena yang disebut dengan “amal shaleh” tidaklah sesederhana yang disangka oleh umumnya umat beragama -- termasuk umat Islam -- firman-Nya:
اَلَمۡ نَجۡعَلۡ لَّہٗ عَیۡنَیۡنِ
ۙ﴿﴾ وَ لِسَانًا وَّ
شَفَتَیۡنِ ۙ﴿﴾ وَ ہَدَیۡنٰہُ النَّجۡدَیۡنِ ﴿ۚ﴾ فَلَا
اقۡتَحَمَ الۡعَقَبَۃَ﴿۫ۖ﴾ وَ مَاۤ
اَدۡرٰىکَ مَا الۡعَقَبَۃُ ﴿ؕ﴾ فَکُّ رَقَبَۃٍ ﴿ۙ﴾ اَوۡ اِطۡعٰمٌ
فِیۡ یَوۡمٍ ذِیۡ مَسۡغَبَۃٍ ﴿ۙ﴾ یَّتِیۡمًا ذَا
مَقۡرَبَۃٍ﴿ۙ﴾ اَوۡ مِسۡکِیۡنًا
ذَا مَتۡرَبَۃٍ ﴿ؕ﴾ ثُمَّ کَانَ مِنَ
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ تَوَاصَوۡا
بِالصَّبۡرِ وَ تَوَاصَوۡا
بِالۡمَرۡحَمَۃِ ﴿ؕ﴾ اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ
الۡمَیۡمَنَۃِ ﴿ؕ﴾ وَ الَّذِیۡنَ
کَفَرُوۡا بِاٰیٰتِنَا ہُمۡ اَصۡحٰبُ الۡمَشۡـَٔمَۃِ ﴿ؕ﴾ عَلَیۡہِمۡ
نَارٌ مُّؤۡصَدَۃٌ
﴿٪﴾
Tidakkah Kami menjadikan baginya sepasang mata? Dan sebuah
lidah serta dua buah bibir? Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi ia
tidak mendaki pendakian terjal. Dan
apakah yang engkau ketahui apa pendakian
terjal itu? Yaitu memerdekakan
budak, atau memberi makan pada hari
kelaparan kepada anak yatim kerabat atau kepada orang miskin yang terbaring di debu. Kemudian dia menjadi di antara orang-orang beriman dan menasihati satu sama lain supaya bersabar
dan mengajak satu sama lain berbelas
kasih. Mereka ini golongan kanan. Dan orang-orang
yang kafir kepada Tanda-tanda Kami mereka itu golongan
kiri. Atas mereka akan ada Api yang tertutup. (Al-Balad
[90]:9-20).
Sikap Terpuji Sayyidina Abu Bakar Shidiq r.a.
Contoh lainnya “pendakian terjal” yang harus ditempuh oleh hamba-hamba
Allah yang mengarungi suluk adalah firman Allah Swt. berikut ini:
وَ لَا یَاۡتَلِ اُولُوا الۡفَضۡلِ مِنۡکُمۡ وَ السَّعَۃِ اَنۡ یُّؤۡتُوۡۤا اُولِی الۡقُرۡبٰی وَ الۡمَسٰکِیۡنَ وَ
الۡمُہٰجِرِیۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ ۪ۖ وَ لۡیَعۡفُوۡا وَ لۡیَصۡفَحُوۡا ؕ
اَلَا تُحِبُّوۡنَ اَنۡ یَّغۡفِرَ اللّٰہُ
لَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ﴿﴾ اِنَّ الَّذِیۡنَ یَرۡمُوۡنَ الۡمُحۡصَنٰتِ
الۡغٰفِلٰتِ الۡمُؤۡمِنٰتِ لُعِنُوۡا فِی الدُّنۡیَا وَ الۡاٰخِرَۃِ ۪ وَ لَہُمۡ
عَذَابٌ عَظِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ یَّوۡمَ تَشۡہَدُ عَلَیۡہِمۡ اَلۡسِنَتُہُمۡ وَ
اَیۡدِیۡہِمۡ وَ اَرۡجُلُہُمۡ
بِمَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Dan orang-orang
yang mempunyai kelebihan dan kelimpahan
di antara kamu janganlah
bersumpah tidak akan memberikan kepada
kaum kerabat, kepada orang-orang miskin dan kepada
orang-orang yang ber-hijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang
dada, tidakkah kamu ingin agar Allah
mengampuni kamu? Dan Allah Maha
Pengampun,Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan bersuami yang menjaga kesucian diri lagi
beriman yang lengah, mereka akan
dilaknat di dunia dan di akhirat,
dan bagi mereka azab yang sangat besar.
Pada hari ketika lidah mereka, tangan mereka dan kaki mereka akan menjadi saksi atas mereka
menge-nai apa yang senantiasa
mereka kerjakan. (An-Nūr [24]:23-25).
Yang diisyaratkan dalam ayat 23 mungkin Sayyidina Abu Bakar r.a. yang telah menghentikan tunjangan yang biasa beliau
berikan kepada Misthah, seorang
anggauta keluarga beliau r.a. yang miskin, namun karena nasibnya yang malang telah ikut dalam melancarkan fitnah terhadap putri beliau r.a. (QS.24:12-21) -- yang juga
istri Nabi Besar Muhammad saw. --
Siti ‘Aisyah r.a., fitnah
terhadap beliau tersebut disponsori oleh
Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin
kaum munafik di Madinah.
Dalam ayat 24 dipergunakannya kata ghafilat (lalai/lengah) dalam
hubungan dengan fitnah terhadap Siti ‘Aisyah r.a. membuktikan, bahwa beliau r.a. sama
sekali bersih dari dosa, dan mengandung arti bahwa tokoh kesucian dan ketakwaan
itu sama sekali tidak tahu-menahu dan
tidak merasa melakukan sesuatu perbuatan yang salah, firman-Nya:
اِنَّ الَّذِیۡنَ جَآءُوۡ
بِالۡاِفۡکِ عُصۡبَۃٌ مِّنۡکُمۡ ؕ لَا تَحۡسَبُوۡہُ شَرًّا لَّکُمۡ ؕ بَلۡ ہُوَ خَیۡرٌ لَّکُمۡ ؕ لِکُلِّ امۡرِیًٔ مِّنۡہُمۡ
مَّا اکۡتَسَبَ مِنَ الۡاِثۡمِ ۚ وَ الَّذِیۡ تَوَلّٰی کِبۡرَہٗ مِنۡہُمۡ
لَہٗ عَذَابٌ عَظِیۡمٌ ﴿﴾
لَوۡ لَاۤ
اِذۡ سَمِعۡتُمُوۡہُ ظَنَّ
الۡمُؤۡمِنُوۡنَ وَ الۡمُؤۡمِنٰتُ بِاَنۡفُسِہِمۡ خَیۡرًا ۙ وَّ قَالُوۡا
ہٰذَاۤ اِفۡکٌ مُّبِیۡنٌ﴿﴾ لَوۡ لَا جَآءُوۡ عَلَیۡہِ بِاَرۡبَعَۃِ شُہَدَآءَ ۚ فَاِذۡ لَمۡ
یَاۡتُوۡا بِالشُّہَدَآءِ فَاُولٰٓئِکَ
عِنۡدَ اللّٰہِ ہُمُ
الۡکٰذِبُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya
orang-orang yang mendatangkan tuduhan
dusta itu adalah golongan dari kamu.
Janganlah kamu menyangkanya
buruk bagi kamu, bahkan itu
baik bagi kamu. Tiap-tiap orang di antara mereka akan mendapat bagiannya dari apa yang ia telah peroleh dari dosa
itu, dan orang yang mengambil
peranan besar di antara mereka baginya ada azab yang sangat besar. Mengapa
ketika kamu mende-ngarnya, orang-orang
beriman laki-laki dan orang-orang
beriman perempuan tidak bersangka
baik mengenai diri yakni sesama mereka
sendiri dan mereka berkata bahwa ini
adalah ke-dustaan yang nyata? Mengapa
mereka tidak mem-bawa empat orang saksi atas hal itu? Maka
karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi itu karena
itu di sisi Allah mereka itu pendusta
(An-Nūr [24]:12-14).
Kejadian sangat menyayat hati yang telah
disinggung dalam ayat ini terjadi, ketika sekembalinya Nabi Besar Muhammad saw.
dari gerakan militer terhadap Bani Mushthaliq pada tahun ke-5 Hijrah, tentara
Islam itu terpaksa bermalam di suatu tempat yang tidak begitu jauh dari
Medinah.
“Kelengahan“ Tidak Disengaja yang Dimanfaatkan Untuk
Menyebarkan Fitnah & Pentingnya
Menghadirkan 4 Orang Saksi Mata
Dalam gerakan militer tersebut Nabi Besar Muhammad saw. disertai oleh istri beliau yang mulia
dan cemerlang, Siti Aisyah r.a.. Secara kebetulan Siti ‘Aisyah r.a. pergi agak jauh dari perkemahan untuk
buang hajat besar. Ketika beliau kembali beliau dapati kalung beliau telah hilang
terjatuh di suatu tempat. Kalung itu sendiri sebenarnya tidak begitu
berharga, tetapi karena kalung itu pinjaman
dari seorang teman, beliau kembali lagi untuk mencarinya.
Pada waktu Siti Aisyah r.a. kembali, alangkah sedih dan
kecewanya beliau melihat pasukan telah bertolak berikut unta kendaraan beliau,
sebab para khadim mengira beliau berada dalam tandu karena pada masa itu beliau masih amat muda
dan ringan bobotnya. Dalam keadaan tidak berdaya Siti
Aisyah r.a. duduk dan menangis, sehingga
kantuk menguasai beliau.
Shafwan seorang muhajir yang ketika itu datang dari arah
belakang mengenali Siti Aisyah r.a., sebab ia pernah melihat beliau sebelum ayat
yang mewajibkan memakai “pardah” (kerudung) turun dan membawa beliau ke Medinah
berkendaraan untanya, sedang ia sendiri berjalan di belakang unta itu (Bukhari, Kitabunnikah).
Orang-orang munafik di Medinah, dipimpin oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Salul, berusaha mengambil keuntungan
sebaik-baiknya dari kejadian itu, dan menyebarkan tuduhan keji terhadap Siti ‘Aisyah r.a. dan malangnya beberapa orang Muslim pun -- termasuk Misthah, kerabat Sayyidina Abu Bakar Shiddiq r.a. -- melibatkan
diri dalam fitnah itu.
Kebersihan Siti ‘Aisyah r.a.
dari tuduhan itu dibuktikan oleh wahyu
Ilahi. Mereka yang telah ikut-serta dalam mengada-adakan dan menyebarkan tuduhan itu telah dihukum, dan turunlah peraturan-peraturan untuk menindak secara
jitu penyebar-penyebar fitnah serta
rencana-rencana dan kegiatan-kegiatan jahat mereka.
Kata-kata
“mengambil peranan besar” dalam ayat 13 dianggap tertuju kepada ‘Abdullah bin Ubay bin Salul pemimpin orang-orang munafik Medinah yang telah
membuat dusta itu dan menyebarkannya
secara luas. Ia mati secara hina, gagal dalam segala rencananya melawan Islam
dan gagal pula dalam ambisi dan cita-citanya untuk dinobatkan menjadi raja Medinah.
Dalam rangka menekan merebaknya penyebaran fitnah, Allah Swt. telah menetapkan peraturan dalam Al-Quran, bahwa orang yang menuduh seorang Muslim pria
atau perempuan telah melakukan perzinaan tetapi tidak mengemukakan empat saksi untuk membuktikan tuduhannya (QS.24:5-11),
ia akan dianggap sebagai pendusta dan diperlakukan demikian oleh
hukum syariat Islam, jika ia hanya
dapat mengemukakan seorang, atau dua orang, ataupun tiga orang saja sebagai saksi
yang melihat sendiri perbuatan itu.
Bila hanya seorang melihat orang lain
melakukan perbuatan asusila ini, maka kenyataan itu tidak memberi hak kepadanya untuk menyiar-nyiarkan berita buruk itu.
Ketaatan Sayyidina Abu Bakar Shiddiq r.a. Terhadap Perintah Allah Swt. & “Catatan
Amal Perbuatan” di Dunia dan Di Akhirat
Jadi, itulah latar belakang mengapa Sayyidina Abu Bakar Shiddiq r.a. kemudian menghentikan
tunjangan yang biasa beliau berikan kepada Misthah
yang ikut-serta dalam penyebar fitnah terhadap Siti ‘Aisyah r.a., dalam
firman-Nya sebelum ini:
وَ لَا یَاۡتَلِ اُولُوا الۡفَضۡلِ مِنۡکُمۡ وَ السَّعَۃِ اَنۡ یُّؤۡتُوۡۤا اُولِی الۡقُرۡبٰی وَ الۡمَسٰکِیۡنَ وَ
الۡمُہٰجِرِیۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ ۪ۖ وَ لۡیَعۡفُوۡا وَ لۡیَصۡفَحُوۡا ؕ
اَلَا تُحِبُّوۡنَ اَنۡ یَّغۡفِرَ اللّٰہُ
لَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ﴿﴾ اِنَّ الَّذِیۡنَ یَرۡمُوۡنَ الۡمُحۡصَنٰتِ
الۡغٰفِلٰتِ الۡمُؤۡمِنٰتِ لُعِنُوۡا فِی الدُّنۡیَا وَ الۡاٰخِرَۃِ ۪ وَ لَہُمۡ
عَذَابٌ عَظِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ یَّوۡمَ تَشۡہَدُ عَلَیۡہِمۡ اَلۡسِنَتُہُمۡ وَ
اَیۡدِیۡہِمۡ وَ اَرۡجُلُہُمۡ
بِمَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Dan orang-orang
yang mempunyai kelebihan dan kelimpahan di antara kamu janganlah
bersumpah tidak akan memberikan kepada
kaum kerabat, kepada orang-orang miskin dan kepada
orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang
dada, tidakkah kamu ingin agar Allah
mengampuni kamu? Dan Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan bersuami yang menjaga kesucian diri lagi
beriman yang lengah, mereka akan
dilaknat di dunia dan di akhirat,
dan bagi mereka azab yang sangat besar.
Pada hari ketika lidah mereka, tangan mereka dan kaki mereka akan menjadi saksi atas mereka
mengenai apa yang senantiasa
mereka kerjakan. (An-Nūr [24]:23-25).
Karena mentaati perintah Allah Swt. tersebut
kemudian Sayyidina Abu Bakar
Shiddiq r.a. kembali memberikan tunjangannya
kepada Misthah, hal tersebut benar-benar
merupakan bukti lainnya suatu “pendakian terjal” (QS.90:9-20) yang
harus ditempuh oleh hamba-hamba Allah yang melakukan perjalanan ruhani (suluk) menuju “perjumpaan” dengan Allah Swt..
Pernyataan Allah Swt. dalam ayat 25 یَّوۡمَ
تَشۡہَدُ عَلَیۡہِمۡ اَلۡسِنَتُہُمۡ وَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ
اَرۡجُلُہُمۡ بِمَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ -- “Pada hari ketika
lidah mereka, tangan mereka
dan kaki mereka akan menjadi saksi atas mereka
menge-nai apa yang senantiasa
mereka kerjakan” dibuktikan kebenarannya oleh penyelidikan ilmiah mutakhir telah membuktikan kebenaran ayat ini. Alat-alat ilmiah mutakhir telah diciptakan
yang apabila diletakkan pada suatu tempat
dapat merekam percakapan seseorang, dan bahkan dapat mencatat suara gerakan-gerakan tangan, kaki, dan atau anggauta-anggauta
badan lainnya.
Alat-alat ini telah sangat menolong polisi
menangkap pencuri-pencuri dan penjahat-penjahat lain dan membuktikan kejahatan
mereka. Jadi dengan bantuan alat-alat mutakhir ini lidah, tangan, dan kaki
seseorang penjahat seolah-olah dijadikan pemberi kesaksian terhadap dirinya
sendiri.
Ilmu pengetahuan telah pula
membuktikan kenyataan bahwa tiap-tiap
kata yang diucapkan atau gerakan
ataupun perbuatan meninggalkan bekasnya di udara. Menurut Al-Quran bekas-bekas semacam itu di akhirat akan
diberi bentuk benda, dan dengan
demikian kaki dan tangan orang yang melakukan perbuatan baik atau buruk akan memberikan kesaksian
yang memberatkan atau sebaliknya menguntungkan si pelaku itu.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 14 Maret
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar