بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
215
“Sungai
Khamar” & Hakikat “Kemabukan Ruhani” Abu Yazid Al-Bisthami dan Mansyur Al-Hallaj
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai pertanyaan:
Mengapa nikmat-nikmat surga diberi
nama yang biasa dipakai untuk benda-benda di bumi ini? Hal demikian adalah
karena seruan Al-Quran itu tidak
hanya semata-mata tertuju kepada orang-orang yang maju dalam bidang ilmu, karena itu Al-Quran mempergunakan kata-kata sederhana yang dapat dipahami semua orang.
Dalam
menggambarkan karunia Ilahi, Al-Quran
telah mempergunakan nama benda yang
pada umumnya dipandang baik di bumi ini,
dan orang-orang beriman
diajari bahwa mereka akan mendapat
hal-hal itu semuanya dalam bentuk
yang lebih baik di alam yang akan datang (akhirat).
Untuk menjelaskan perbedaan penting itulah maka dipakai kata-kata yang telah dikenal, selain itu tidak ada
persamaan antara kesenangan duniawi
dengan karunia-karunia ukhrawi,
itulah makna firman-Nya:
ؕ کُلَّمَا رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ
رِّزۡقًا ۙ قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ
Setiap kali diberikan
kepada mereka buah-buahan dari kebun
itu sebagai rezeki, mereka berkata: “Inilah yang telah direzekikan kepada kami sebelumnya.”
Tambahan
pula menurut Islam kehidupan di akhirat itu tidak ruhaniah
dalam artian bahwa hanya akan terdiri atas keadaan
ruhani, bahkan dalam kehidupan di
akhirat pun ruh manusia akan
mempunyai semacam tubuh baru
tetapi tubuh itu tidak bersifat benda.
Baik-buruknya “tubuh baru” manusia di akhirat tersebut sesuai dengan baik-buruknya
keimanan dan amal manusia di
dunia, karena itu betapa pentingnya
masalah keimanan dan amal shaleh tersebut sebab kedua hal itulah yang di akhirat digambarkan dalam Al-Quran
sebagai “kebun-kebun” yang di
bawahnya “mengalir sungai-sungai”,
atau sebaliknya merupakan keadaan neraka
jahannam yang penuh dengan berbagai jenis siksaan.
Kembali kepada firman Allah Swt. mengenai “minuman surgawi” yang campurannya kafur,
firman-Nya:
فَوَقٰہُمُ اللّٰہُ
شَرَّ ذٰلِکَ الۡیَوۡمِ وَ
لَقّٰہُمۡ نَضۡرَۃً وَّ سُرُوۡرًا ﴿ۚ﴾ وَ جَزٰىہُمۡ بِمَا صَبَرُوۡا
جَنَّۃً وَّ حَرِیۡرًا﴿ۙ﴾
مُّتَّکِـِٕیۡنَ فِیۡہَا عَلَی الۡاَرَآئِکِ ۚ لَا
یَرَوۡنَ فِیۡہَا شَمۡسًا وَّ لَا زَمۡہَرِیۡرًا ﴿ۚ﴾ وَ دَانِیَۃً عَلَیۡہِمۡ ظِلٰلُہَا وَ ذُلِّلَتۡ قُطُوۡفُہَا
تَذۡلِیۡلًا ﴿﴾ وَ یُطَافُ عَلَیۡہِمۡ
بِاٰنِیَۃٍ مِّنۡ فِضَّۃٍ وَّ اَکۡوَابٍ کَانَتۡ قَؔوَارِیۡرَا۠
﴿ۙ﴾
قَؔوَارِیۡرَا۠ مِنۡ فِضَّۃٍ قَدَّرُوۡہَا تَقۡدِیۡرًا ﴿﴾
وَ یُسۡقَوۡنَ
فِیۡہَا کَاۡسًا کَانَ مِزَاجُہَا زَنۡجَبِیۡلًا ﴿ۚ﴾ عَیۡنًا فِیۡہَا تُسَمّٰی سَلۡسَبِیۡلًا ﴿﴾
Maka Allah memelihara mereka dari keburukan
hari itu, dan menganugerahkan kepada mereka kesenangan dan kebahagiaan.
Dan Dia membalas mereka karena kesabaran mereka dengan kebun
dan sutera, duduk
bersandar di dalamnya di atas
dipan-dipan, mereka tidak melihat di dalamnya terik matahari dan tidak pula dingin yang sangat. Dan keteduhannya
didekatkan atas mereka dan tandan-tandan
buahnya direndahkan serendah-rendahnya. Dan bejana-bejana minuman dari
perak diedarkan kepada
mereka dan piala-piala seperti kaca, seperti kaca, terbuat dari
perak, mereka mengukurnya sesuai
dengan ukuran. Dan di dalamnya mereka
diberi gelas minuman yang campurannya jahe. Dari mata air di dalamnya yang disebut Salsabil. (Ad-Dahr
-- Al-Insān [76]:12-19).
Makna
Mata Air Surgawi “Salsabil”
Setelah
menerangkan bermacam-macam kenikmatan surgawi -- yang mengandung falsafah sangat dalam -- selanjutnya diterangkan وَ یُسۡقَوۡنَ فِیۡہَا کَاۡسًا
کَانَ مِزَاجُہَا زَنۡجَبِیۡلًا “dan di dalamnya mereka diberi gelas minuman
yang campurannya jahe, عَیۡنًا
فِیۡہَا تُسَمّٰی سَلۡسَبِیۡلًا dari mata
air di dalamnya yang disebut Salsabil.”
Kata
salsabil yang secara harfiah berarti “menanyakan jalan yang harus ditempuh”, makna ayat ini ialah pada
tingkat zanjabil sang kelana
ruhani menjadi begitu mabuk cinta
kepada Allah Swt. sehingga dalam kerinduannya yang meluap-luap hendak berjumpa dengan Allah Swt. ia bertanya
di mana-mana dan kepada setiap orang, menanyakan
jalan pendekatan yang terdekat dan tercepat ke ambang pintu
Ilahi.
Mengisyaratkan kepada tingkat-tingkat perjalanan
ruhani atau suluk itu pulalah
firman-Nya berikut ini:
بَلٰی ٭ مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ لِلّٰہِ وَ ہُوَ مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ ۪ وَ
لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾٪
Bahkan,
barangsiapa berserah diri
kepada Allah dan ia berbuat ihsan maka baginya
ada ganjaran di sisi Rabb-nya (Tuhan-nya),
tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah
[2]:113).
Kata wajh dalam ayat بَلٰی
٭ مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ لِلّٰہِ -- “bahkan,
barangsiapa berserah diri kepada
Allah” berarti: wajah (muka); benda itu sendiri;
tujuan dan motif; perbuatan atau tindakan yang kepadanya seseorang menujukan
perhatian; jalan yang diinginkan, anugerah atau kebaikan (Aqrab-ul-Mawarid). Ayat ini memberi isyarat kepada ketiga
taraf penting ketakwaan sempurna,
yaitu: fana (menghilangkan diri),
baqa (kelahiran kembali), dan liqa (memanunggal dengan Allah
Swt.) .
Kata-kata مَنۡ
اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ لِلّٰہِ yakni “barangsiapa berserah diri kepada Allah” berarti, segala kekuatan
dan seluruh anggota tubuh kita, dan apa-apa yang menjadi bagian diri kita,
hendaknya diserahkan kepada Allah Swt.
seutuhnya (kāffah -- ) dan dibaktikan
kepada-Nya. Keadaan itu dikenal sebagai fana
atau “kematian” yang harus ditimpakan
seorang Muslim atas dirinya sendiri., yakni kematian hawa-nafsu yang merupakan
keadaan nafs Ammarah (12:54).
Anak-kalimat
kedua وَ
ہُوَ مُحۡسِنٌ -- “dan ia berbuat ihsan” menunjuk kepada
keadaan baqa atau kelahiran kembali, sebab bila seseorang
telah melenyapkan dirinya (fana)
dalam cinta Ilahi dan segala tujuan serta keinginan duniawi telah lenyap, ia seolah-olah dianugerahi kehidupan baru yang dapat disebut baqa atau kelahiran kembali, maka ia
hidup untuk Allah Swt. dan
bakti kepada umat manusia.
Kata-kata
penutup وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ
یَحۡزَنُوۡنَ
-- “tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak
pula mereka akan bersedih.”menjelaskan taraf kebaikan ketiga dan tertinggi
— taraf liqa atau memanunggal (menyatu) dengan Allah Swt. dalam Sifat-sifat-Nya,
yang
dalam Al-Quran (QS.89:28) disebut pula “jiwa
yang tenteram” atau nafs-al-muthma’innah, firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ
الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾ ارۡجِعِیۡۤ اِلٰی رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾ فَادۡخُلِیۡ فِیۡ عِبٰدِیۡ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang
tenteram! Kembalilah kepada Rabb (Tuhan) engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau., maka masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah
ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr [90]:28-31).
Thariqah Tashawuf Abu
Yazid al-Busthami & Mansyur
“Al-Hallaj”
Jadi liqa merupakan tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً --- manusia ridha
kepada Rabb-nya (Tuhan-nya) dan Tuhan
pun ridha kepadanya” (QS.58:23). Pada
tingkat ini yang disebut pula tingkat
surgawi, orang-orang yang telah meraih tingkatan
ruhani tersebut menjadi kebal
terhadap segala macam kelemahan akhlak,
yang diperkuat dengan kekuatan ruhani
yang khusus dari Allah Swst. maka mereka meraih martabat ruhani yang disebut liqa
(manunggal) dengan Allah Swt. dan hamba-hamba Allah yang hakiki seperti
itu mereka tidak dapat hidup tanpa “kebersamaan”
atau “kebersatuan” dengan Allah Swt.
Menurut Allah Swt. dalam Al-Quran bahwa di dunia inilah -- dan bukan
sesudah mati -- perubahan ruhani besar terjadi di dalam diri orang-orang yang bertakwa, dan di dunia inilah dan bukan di tempat lain jalan dibukakan bagi mereka untuk masuk ke surga.
Pada tingkat liqa
(menunggal) inilah dalam dunia tashawuf dikenal adanya orang-orang yang “sakr”
(mabuk/mabuk cinta) ketika mereka
mengalami “tajalliyyat Ilahiyyah”, seperti
contohnya yang dialami Abu Yazid al-Busthami (874-947 M) yang terkenal dengan ajarannya
mengenai al-fana’, al-baqa dan al-ittihad (bersatu) sebagai pengganti
istilah liqa; dan Mansyur “Al-Hallaj” yang menggunakan
istilah hulul (luluh/menyatu)
mengenai liqa.
Mansyur
“Al-Hallaj” inilah yang
sangat terkenal dengan ucapannya “Ana-al-Haqqa”
(Aku al-Haqq) -- terjemahan harfiyahnya adalah “Akulah Yang Maha Benar (Tuhan)” -- ketika mengalami keadaan “sakr/mabuk”
saat mengalami “tajalliyat
Ilahiyyah” (penampakkan keagungan
Ilahi – QS.7: 144) -- yang
menimbulkan reaksi sangat keras dari
pihak-pihak yang tidak memahaminya, sehingga telah membuat Mansyur “Al-Hallaj” harus menjadi korban “fatwa mati” dari penguasa dan para ulama sezamannya yang berbeda mazhab dalam “pemikiran dan perasaan (dzawq)”, sebagaimana
yang juga dialami oleh Syekh
Lemah Abang di Indonesia.
Para
tokoh tashawuf besar tersebut memiliki
konsep “pendekatan” dan “penyatuan” dengan Allah Swt. yang
bermacam-macam, misalnya konsep tentang mahabbah dari Sufi perempuan yang
terkenal, Rabiatul- Adawiyah; Ma’rifat konsep ajaran Imam Ghazali, Wihdah-al-Wujud ajaran Ibnu ‘Arabi, dan lain-lain, tetapi pada
dasarnya semua thariqah atau manhaj para shufi besar tersebut merupakan
penjelasan dari fana, baqa dan liqa atau ittihad atau hulul
tersebut, yang pada hakikatnya merupakan 3 “terminal” atau 3
“pendakian” dalam suluk
(perjalanan menuju “perjumpaan”
dengan Tuhan).
Namun karena
para shufi besar tersebut mengalami pengalaman
ruhani masing-masing maka mereka memiliki istilah-istilah yang berbeda mengenai sebutan fana,
baqa, dan liqa, padahal merujuk kepada hal yang sama. Contohnya kata dalam bahasa
Inggris untuk sebutan
untuk liqa, ittihad dan hulul adalah fusi
(fusion), yang artinya gabungan, penyerapan atau
penyatuan.
Berikut artikel mengenai dari kedua sufi besar yang dianggap “nyentrik”
tersebut yang kami copas dari blog Mubaudillah
Ismail:
Faham Fana, Baqa dan Ittihad,dan al-Hulul
ABU YAZID
AL-BUSTAMI DAN AL-HALLAJ
A. Pendahuluan
Berbicara masalah tasawuf tentunya tidak akan terlepas dari tokoh-tokoh
tasawuf itu sendiri yang menggunakan sebagian besar dari sisa hidupnya untuk
memperoleh pengetahuan, pendekatan, kasih atau cinta Allah SWT, namun tasawuf
ibarat induk jalan yang akan memunculkan jalan-jalan yang lebih kecil darinya
sesuai dengan faham dan tokoh yang merintis jalan tersebut faham tersebut. Jadi
bagi yang ingin memilih jalan Tasawuf sebagai Jalan pikiran sekaligus menjadi
Jalan hidup bisa memilih jalan mana yang baik menurutnya.
Mereka yang merupakan tokoh tasawuf itu mempunyai konsep pendekatan kepada Allah
yang bermacam-macam, ada yang ajarannya tentang mahabbah (Rabiatul Adawiyah), ma'rifah (Ghazali), dan lain-lain.
Adapun tokoh yang akan penulis kemukakan adalah dua
orang tokoh sufi fenomenal dan controversial yang memiliki corak tasawuf yang sejalan dari segi
tujuan, berupa kedekatan atau lebih
khususnya penyatuan diri manusia secara bathiniyah dengan Allah,
namun memiliki konsep yang berbeda.
(1) Abu Yazid Al-Bustami, beliau diberi gelar raja para mistikus, karena yang
terlihat darinya adalah hal-hal yang berada di
luar nalar manusia biasa. Di dalamnya akan dibahas sejarah hidupnya serta
ajarannya yang sangat terkenal fana’ baqa dan Ittihad.
(2) Al-Hallaj dengan garis
kehidupan dan konsepnya yang kontroversi terhadap pandangan ulama’ dan pemimpin waktu itu sehingga mengakhiri hidupnya di dunia, dukungan
oleh banyak pengikutnya dari berbagai kalangan, serta penjelasan tentang Hululnya.
Semoga pemaparan makalah ini akan meluruskan pandangan dan meluaskan
wawasan terhadap kehidupan dan corak pikiran tokoh Islam di bidang,
tidak dilihat dari sudut pandang yang lain.
B. Abu Yazid Al-Bustami
a. Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa
bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 - 947 M[1].
Al Bustami adalah nama adalah nama yang dinisbatkan kepada tempat kelahiranya,
Busthan sebuah kota kecil di Khurasan Barat, Persia atau sebelah tenggara dari
laut Kaspia. Nama kecilnya adalah Taifur. Ayahnya Surusyan, pada mulanya
seorang penganut agama Majusi kemudian masuk Islam. Pendidikan dasar yang
dialami Abu Yazid ia belajar Figih mazhab Hanafi dengan Abu Ali al-Sindi,
begitu juga ilmu tauhid dan ilmu hakikat, begitu juga ilmu pengetahuan mengenai
alam fana. [2]
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan
tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu
telah menjadi seorang fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang
terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. la mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat,
dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid.[5]
Pengetahuan yang mendalam mengenai fikih
Hanafi menjadikan ia seorang yang kuat memegang Syari’at Islam. Hal ini dapat dipahami dari beberapa pernyataan
yang pernah dilontarkannya, ia pernah berkata: “Kalau kamu melihat seseorang telah mampu melakukan hal-hal keramat yang
besar-besar, walau ia sanggup terbang di udara, namun janganlah kamu tertipu
sebelum kamu melihat bagaimana ia mengikuti perintah dan larangan serta menjaga batas-batas syari’at.[6]
Abu Yazid meninggal dunia tanpa meninggalkan karya tertulis riwayat hidup
dan pemikiranya hanya diketahui Isa B. Adam Musa b Isa dan Thufaur b Isa dan
tokoh lain yang pernah berjumpa dengan Yazid Abu Musa Al-Dabili, Abu Ishak
Al-Harawi dan lain-lain. Pengikutnya tergabung kedalam tarekat Thaifuriyyah
yang merupakan pelanjut dari ajarannya. Ia meninggal dunia tahun 261 H/ 874 M
di kota kelahiranya Busthan. [7]
b. Ajaran Fana’, Baqa' dan Al-Ittihad
Abu Yazid
Ajaran al-fana’,
al-baqa’, dan al-ittihad Abu Yazid adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Dari segi bahasa, fana' berasal dari kata faniya yang
berarti musnah atau lenyap. Keadaan dari syai’
(sesuatu) yang tidak berakhir, artinya apabila tetapnya suatu keadaan telah berakhir dikatakan bahwa ia telah mencapai fana[8].
Dalam hal ini Abu Bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H / 988 M)
mendefinisikannya : "Hilangnya semua
keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga
ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan
ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu”[9].
Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan
hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu. Sebenarnya
dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar
lagi pada mereka dan pada dirinya[10] .
Di antara kaum
sufi ada yang berpendapat bahwa
manusia dapat “bersatu” dengan Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada
tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan dengan mata sanubarinya.
Menurut al-Syathi,
proses penghancuran sifat-sifat basyariah,
disebut Fana’ al-sifat dan proses penghancuran tentang iradah (keinginan) dirinya
disebut Fana’ al-iradah, serta proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya disebut Fana’ al-nafs[11].
Menurut
Al-Thusi: Fana’ adalah berarti sirnanya pandangan seseorang terhadap
tindankan-tindakannya.[12]
Al-Fana dalam
pengertian umum dapat dilihat dari penjelasan al-Junaidi, yaitu:
ذهاب قلب عن حسن المحسوسات بمشاهدة
ماشاهد ثم يذهب عن ذهابه والذهاب عن ذهاب هذا مالا نهاية له. يعنى قد غابت المحاضر
وتلفت الاشياء فليس شيء يوجد ولا يحس بشيء يفقد
Hilangnya daya kesadaran
qalbu dari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang
dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang
terlihat itu dan berlangsung terus secara slilih berganti sehingga tiada lagi
yang disadaridan dirasakan oleh indera[13].
Sebelum sampai kepada al-ittihad (penyatuan), seorang sufi terlebih
dahulu menghancurkan dirinya -- yakni keluar dari kekuasaan nafs Ammarah lalu memasuki keadaan nafs Lawwaamah -- selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, ia tidak dapat bersatu dengan Tuhan. Itu sebabnya al-fana’ sebagai proses awal lalu
kemudian dilanjutkan dengan al-baqa, yang satu dengan yang lain merupakan
kembar yang tidak dapat dipisahkan.
Yang dimaksud dengan hancurnya jiwa
sufi bukan berarti hilang, tetapi kehancuran yang akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap dirinya. Kesadaran ini disebut dengan al-fana ‘alan nafs wa al baqa’ billah,
yaitu “kesadaran tentang diri
sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan”. Dengan terjadinya fana, otomatis baqa akan datang
sendiri dalam kondisi seperti itu ittihad
(penyatuan) pun terjadi pula. Abu
Yazid membawa pengertian yang berbeda dengan Junaid khususnya dalam masalah sakar, yaitu mabuk dalam mencintai Tuhan. [14]
Abu Yazid al-Busthami berpendapat bahwa
manusia hakikatnya se-esensi dengan
Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur eksitensi keberadaan-Nya sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari dirinya (fana an nafs)[15].
Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs
yaitu tidak disadarinya wujud jasmaniyah,
maka yang tinggal adalah wujud
rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu
dengan Tuhan secara ruhani[16].
Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’
dan Baqa’ adalah mencapai persatuan
secara rohaniah dan bathiniah
dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan
demikian materi manusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga alam
sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya kesadaran dirinya sebagai manusia,
ia tidak lagi merasakan jasad kasarnya.
Bila seseorang
telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentang wujudnya sendiri dan wujud lain di
sekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa’ dan berlanjut kepada Ittihad
(penyatuan). Fana’ dan Baqa’ menurut
sufi adalah kembar dan tak
terpisahkan sebagaimana ungkapan mereka: “Siapa
yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang ada adalah sifat-sifat Tuhan”.
Dengan
demikian bisa dikatakan pencapaian
Abu Yazid ketahap fana' dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah Swt.
Adapun salah
satu jalan untuk mencapai fana’ fillah disamping mendalamnya cinta rindu, adalah dengan meditasi (pemusatan kesadaran) dengan
perantaraan zikir, dalam kitab Hikam diterangkan:
والذكر أعظم باب أنت
داخله
لله فأجعل له الأنفاس
حراسا
Zikir adalah sebuah pintu yang paling besar (untuk mencapai fana’ dan
makrifah) pada Allah; maka masukilah, sertailah setiap keluar masuknya nafas
dengan zikir [17]
Jalan menuju fana’ menurut Abu
Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. la bertanya, "Bagaimana
caranya agar aku sampai kepada Engkau? Tuhan menjawab, "Tinggalkan diri (nafsu) engkau dan kemarilah.”
Abu Yazid sendiri sebenarnya pernah melontarkan kata fana’ pada
salah satu ucapannya:
أعرفه بى حتى فنيت ثمّ عرفته به
فحيّيْتُ
Artinya:
"Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana', kemudian aku
tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup”.[18]
Kehancuran
(fana') dalam ucapan ini memberikan 2 bentuk pengenalan (Al-Ma'rifat) terhadap
Tuhan, yaitu :
a. Pengenalan
terhadap Tuhan melalui diri Abu Yazid.
b. Pengenalan
terhadap Tuhan melalui diri Tuhan.
Adapun baqa' berasal dari kata baqiya. Arti dari segi
bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan
sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa' tidak dapat dipisahkan
dengan paham fana' karena keduanya merupakan paham yang berpasangan.
Jika seorang sufi sedang mengalami fana', ketika itu juga ia sedang menjalani
baqa'[19].
Dengan
tercapainya Fana’ dan Baqa’ maka seorang sufi dianggap telah sampai
kepada tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal (Tuhan) yang oleh
Bayazid disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yaitu dengan perpaduan
dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun[20].
Paham Fana’,
Baqa’, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep
pertemuan dengan Allah. Fana’ dan Baqa’ juga dianggap merupakan
jalan menuju pertemuan dengan Tuhan sesuai dengan firman Allah SWT yang
bunyinya :
ö@è%
!$yJ¯RÎ)
O$tRr&
׎|³o
öä3è=÷WÏiB
#Óyrqãƒ
¥’n<Î)
!$yJ¯Rr&
öNä3ßg»s9Î)
×m»s9Î)
Ó‰Ïnºur
(
`yJsù
tb%x.
(#qã_ötƒ
uä!$s)Ï9
¾ÏmÎnu‘
ö@yJ÷èu‹ù=sù
WxuKtã
$[sÎ=»|¹
Ÿwur
õ8ÎŽô³ç„
ÍoyŠ$t7ÏèÎ
ÿ¾ÏmÎnu‘
#J‰tnr&
ÇÈ
“Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah
ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun
dalam beribadat kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi, 18 : 110)
Ittihad adalah tahapan
selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana dan
baqa'. Disebutkan oleh Abdul Razaq Al-Katsani:
التحاد هو شهود الوجود الحق الواحد المطلق الذى الكل به
موجود بالحق فيتحد به الكل من حيث كون كل شيء موجوداً به معدوما بنهسه، لا من حيث
أنّ له وجوداً خاصاً اتحد به فإنه محال[21]
Dalam tahapan
ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang
dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad identitas telah hilang dan
identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fananya tak mempunyai
kesadaran lagidan berbicara dengan nama Tuhan.
Usaha untuk mencapai fana’, baqa’ dan
ittihad itu bagi Abu Yazid, seperti sufi lainya, juga diawali dengan
zuhud. Ia berkata ketika seseorang bertanya kepadanya, tentang perjuangan
mencapai ittihad. Ia menjawab tiga tahun sedang umurnya pada waktu itu
telah lebih dari tujuh puluh tahun. Dengan kata lain setelah ia berumur tujuh
puluh tahun ia mencapai maqam ittihad. Ia juga berkata hari pertama aku zuhud
terhadap dunia dan segala isinya, pada hari kedua aku zuhud terhadap akhirat
dan segala yang akan terjadi disana, dan pada hari ketiga aku zuhud terhadap
apa saja selain Allah.[22]
Seorang sufi dipandang telah mencapai station
ittihad adalah ketika ia dalam keadaan mabuk (sakr atau trance).
Ucapan-ucapan seperti itu juga diucapkan oleh Abu Yazid, antara lain ia
berkata: “manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak, aku hannya mengucapkan
tiada Tuhan selain Allah”[23]
Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga
mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan "pada suatu ketika
aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata: "Abu Yazid,
makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab:
"Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu,
maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu,
sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah
melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan
mereka itu. Pernyataan di atas menggambarkan bahwa Abu Yazid
telah dekat dengan Tuhan, tetapi ittihad belum ia capai, ittihad tercapai
ketika ia mengucapkan sebagai berikut:
"Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah
makhluk-Ku. Aku pun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku
adalah Engkau. Konversasi ; terputus Kata menjadi satu, bahkan semuanya
menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab,
Hai aku. Ia berkata, "Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu.
Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku." Pernyataan di atas menunjukan bahwa Abu Yazid mengucapkan “aku” bukan
sebagai gambaran dirinya, tetapi sebagai gambaran Tuhan. Hal ini terjadi karena
Abu Yazid sedang mengalami ittihad. [24]
Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya
satu wujud meskipun sebenarnya ada dua wujud yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang
dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud maka dalam ittihad ini bisa jadi
pertukaran peranan antara manusia dengan Tuhan. Dalam suasana seperti ini
mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan di mana antara yang
mencinta dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu memanggil
yang lain dengan kata-kata “Hai Aku” . Dalam keadaan Fana’ si sufi yang
bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga ia berbicara atas nama
Tuhan.
Louis Massignon menyatakan bahwa ungkapan yang muncul pada seorang sufi
diluar sadarnya berarti telah Fana’ dari dirinya sendiri serta kekal dalam zat
Yang Maha Benar, sehingga ia mengucap dalam kalam Yang Maha Benar dan bukan
ucapannya sendiri. Perkataan yang diucapkanya dalam kondisi begini tidak akan terucap dalam kondisi normal, bahkan akan ditolak oleh dirinya sendiri .[25]
Hal ini
sejalan dengan Firman Allah Swt. pada surah Al-Kahfi ayat 110 :
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang
Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya".
Ayat tersebut memberi isyarat bahwa Allah SWT telah memberi peluang
kepada manusia untuk menemuinya, bahkan karena sudah merasa terlalu dekat
dengan Tuhan al-Bustami telah merasa berittihad dengan-Nya.
C. Al-Hallaj
1. Biografi Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Al-Mughist
Al-Husain ibn Mansyur ibnu Muhammad Al- Baidhawi. Al-Hallaj di lahirkan di kota
Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 244 H/ 858 M.
Ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang Majusi
dari silsilah Abi’ Ya’qub[26].
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas
(penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari
bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak
di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan
pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah.[27]
Ia mulai belajar Al-Qur’an pada
Qura’ Al Qur’an mazhab Hambali dan dan sudah hafal pada usia dini, tahun 260 H/ 873 M,
dia pindah ke Tustar dan menjadi murid Sahl
bin Abdullah al-Tusturi, seorang
sufi pengembara yang ketat dalam pengamalan tasaufnya. Dari al-Tusturi ia
belajar mengenai teori Nur Muhammad (The light of Muhammad) yang selanjutnya
sangat menentukan arah pemikiran al-Hallaj dikemudian hari. Setelah belajar 2
tahun dengan Tusturi, dia berangkat ke Basrah lalu melanjutkan perjalanan ke
Baghdad. Di Basrah ia balajar dengan Amir Makki (w.279/909) salah seorang murid
al-Junaid, di Baghdad ia menuntut ilmu dan berada di bawah asuhan sufi Abu
Ya’kub al-Aqtha juga murid al-Junaid dan ia kawin dengan putri gurunya Umm
al-Husain.[28]
Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum
Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama
hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj
tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari
dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj
melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya
menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar
sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan
membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi,
dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya.
Banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj
yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj
kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah
besar murid.
Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Sehingga
hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau
mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya,
yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan
gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka,
mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan
menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj
memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi.
Al-Hallaj meninggalkan kehidupan sufi selama beberapa tahun, tapi tetap
terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu,
kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam
perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga
mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang
kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali
di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang
berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati
jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar, (Hallaj berarti seorang
penggaru sedangkan Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu) yang berarti sang
penggaru segenap rahasia atau Kalbu.[29].
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia
menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai
empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia mutuskan
meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal
sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan
Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan
orang-orang kafir. Ia berlayar
menuju India selatan, pergi
keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan
ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap
tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah[30].
Ia kembali ke Baghdad pada tahun 296 H / 909 M. Di kota ini, secara
kebetulan ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr al-Qusyairi,
yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik dan pemerintah yang bersih.
Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan
dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi. Gagasan
"pemerintah yang bersih" dari Nash al-Qusyairi dan al-Hallaj ini
jelas berbahaya, karena khalifah tidak boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan
yang nyata dan hanya merupakan lambang saja[31].
Karena kekhawatiran pada kebesaran pengaruhnya, kecenderungan pada
aliran syi'ah, dan besarnya jumlah pengikutnya, penguasa di Baghdad menangkap
dan memenjarakannya pada 910 (297 H). Dengan sejumlah tuduhan (bahwa ia
berkomplot dengan kaum Qaramith, yang mengancam kekuasaan Daulat Bani Abbas; ia
dianggap bersifat ketuhanan oleh sebagian pengikutnya yang fanatik; ia
mengucapkan "ana al-haq" (akulah yang maha
benar)[32].
Karena ucapannya, al-Hallaj dipenjara, tetapi setelah satu tahun
dipenjara dia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga yang
menaruh simpati kepadanya. Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus dalam wilayah
Ahwas. Disinilah ia bersembunyi selama empat tahun. Namun pada tahun 301 H /
930 M ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke penjara hampir sembilan tahun
lamanya. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan
musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan
sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa
ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah.
Akhirnya pada tahun 309 H / 921 M, diadakan persidangan ulama dibawah kerajaan
Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H,
jatuhlah hukuman padanya. Dia dihukum bunuh dengan mula-mula di pukul dan di
cambuk dengan cemeti, lalu di salib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan
kakinya, di penggal lehernya dan ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan tubuh
itu di pintu gerbang kota Baghdad, kemudian dibakar dan abunya dihanyutkan ke
sungai Dajlah.[33]
Selama di penjara, al-Hallaj banyak menulis hingga mencapai 48 buah
buku. Judul-judul kitabnya itu tampak asing dan isinya juga banyak yang aneh
dan sulit dipahami. Kitab-kitab itu antara lain :
1. Kitab al-Shaihur fi Naqshid Duhur
2. Kitab al-Abad wa al-Mabud
3. Kitab Kaifa Kana wa Kaifa Yakun
4. Kitab Huwa Huwa
5. Kitab Sirru al-Alam wa al-Tauhid
6. Kitab al-Thawasin al-Azal
7. dan lain-lain.
Kitab-kitab itu hanya tinggal catatan, karena ketika hukuman
dilaksanakan, kitab-kitab itu juga ikut dimusnahkan, kecuali sebuah yang
disimpan pendukungnya yaitu Ibnu 'Atha dengan judul Al-Thawasin al-Azal. Dari
kitab-kitab ini dan sumber-sumber muridnya dapat diketahui tentang
ajaran-ajaran al-Hallaj dalam tasawuf.[34]
2. Pemikiran Hulul Al Hallaj
Hulul merupakan ajaran al-Hallaj yang membedakan dari
warna tasawuf lainya, dan hulul ini pula yang telah banyak menimbulkan
polemik pada waktu itu bahkan dikalangan sufi sendiri.
Hulul secara leksikal merupakan kata benda abstrak (masdar) yang
diderivisikan dari kata (حل يحل حلا لا حلو لا) lalu di Indonesiakan menjadi
menempati, bertempat tinggal bahkan dalam bentuk plus alif-nun (حلاة) ia dapat berarti luluh atau larut menyatu. [35]
Doktrin al-hulul adalah salah satu tipe dari aliran
tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan lanjut dari paham it-tihad.
Konsepsi al hulul pertama kali ditampilkan oleh Husen Ibn Mansur Al-Hallaj yang
meninggal karena dihukum mati di Bagdad pada tahun 308 H, karena paham yang
disebarkan itu dipandang sesat oleh penguasa pada masa itu.[36]
Pengertian al-hulul secara singkat adalah Tuhan
mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat
membersihkan dirinya dari sifat-sifat kemanusiaan melalui fana atau eksate.
Sebab menurut Al-Halaj, manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat
ketuhanan atau lahut dan sifat insani atau nasut. Demikian juga
Tuhan memiliki sifat ganda yaitu sifat-sifat Ilahiyat atau lahut dan
sifat insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah menghilangkan sifat
kemanusiaanya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, Maka
Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan antara
manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul. [37]
Mempunyai perasamaan dengan faham yang dikemukakan
sebelumnya yakitu Ittihad. Dalam terminologi Indonesia hulul dikenal sebagai :
fusi penyerapan atau penyatuan ; istilah ini digunakan dalam filsafat dengan
berbagai macam pengertian.
a. Penyatuan substansial antara jasad (tubuh) dan ruh (jiwa),
b. Penyatuan ruh dengan tuhan dalam diri manusia,
c. Inherensi suatu aksi
dalam substansinya,
d. Penyatuan bentuk -bentuk (shurat) dengan materi pertama dan
e. Hubungan antara suatu benda dengan tempatnya
.[38]
Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad
yaitu dalam hulul, jasad al-Hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam
diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah, dan dalam ittihad yang
dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu
tubuh.
Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari
pemahamanya tentang proses kejadian manusia. Al-Halaj berpendapat bahwa Adam
sebagai manusia pertama diciptankan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya surah min
nafsih dengan segenap sifat dan kebesaranya, sebagaimana yang ia ungkapkan
dalam syairnya:[39]
Maha suci dzat yang menampakan nasut-Nya,
Seiring cemerlang bersama lahut-Nya,
Demikian pula padu makhluk-Nya pun terlihat nyata,
Seperti manusia yang makan dan minum layaknya.
Konsepsi lahut dan nasut ini
didasarkan Al-Halaj pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 34.
dan (ingatlah) ketika Kami berfirman
kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah
mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan
orang-orang yang kafir.
Menurut pemahamanya adanya perintah Allah agar
Malaikat sujud kepada Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri
Adam sehingga ia harus disembah sebagaimana menyembah Allah. Bagaimana gambaran
hulul itu, dapat dipahami dalam ungkapan Al-Hallaj berikut ini:[40]
Berbaur sudah sukmamu dalam rohku menjadi satu,
Bagai anggur dan air bening berpadu,
Bila engkau tersentuh terusik pula aku,
Karena ketika itu, Kau dalam segala hal adalah aku.
Aku yang kurindu, dan yang kurindu aku jua,
Kami dua jiwa padu dalam satu raga,
Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam
pandanganmu,
Jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu tampak
nyata.
Dari ungkapan di atas terlihat bahwa wujud manusia
tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya
paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riel karena berlangsung dalam
kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah. Olej karena itu ucapan ana
al haq yang meluncur dari lidah Al-Hallaj bukanlah ia maksudkan sebagai
pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan. Sebab yang mengucapkan kalimat itu pada
hakikatnya adalah Tuhan juga tetapi melalui lidah Al-Hallaj. Interpensi ini sesuai
pula dengan pernyataan Al-Hallaj dalam syair berikut:[41]
Aku adalah rasia yang maha benar, aku bukanlah yang
maha benar, aku hanyalah yang benar, bedakanlah antara kami.
Al-Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut,
demikian juga manusia. Melalui maqamat, manusia mampu ke tingkat fana, suatu
tingkat dimana manusia telah mampu menghilangkan nasut-nya dan meningkatkan
lahut yang mengontrol dan menjadi ini kehidupan. Yang demikian itu memungkinkan
untuk hulul-nya Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain, Tuhan
menitis kepada hamba yang dipilih-Nya, melalui titik sentral manusia yaitu roh[42].
Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil
tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada
sifat-sifat ketuhanan. Ia mentakwilkan ayat:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ
لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ
الْكَافِرِينَ {البقرة : ٣٤}
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:
"Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia
enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.
(QS. Al-Baqarah : 34).
Sesuai dengan ajarannya, maka tatkala ia mengatakan "Aku adalah al-Haq"
bukanlah al-Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi roh Tuhan yang
mengambil dalam dirinya.
Sementara itu, hululnya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan
maqamat sebagaimana telah disebutkan, terutama maqam fana. Fana bagi al-Hallaj
mengandung tiga tingkatan : tingkat memfanakan semua kecenderungan dan
keinginan jiwa; tingkat memfanakan semua fikiran (tajrid aqli),
khayalan, perasaan dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya kepada
Allah, dan tingkat menghilang semua kekuatan pikir dan kesadaran. Dari tingkat
fana dilanjutkan ke tingkat fana al-fana, peleburan ujud jati diri manusia
menjadi sadar ketuhanan melarut dalam hulul hingga yang disadarinya
hanyalah Tuhan[43].
D. Penutup
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1. Abu Yazid Al-Bustami adalah tokoh sufi yang pertama kali memperkenlkan faham fana,baqa dan ittihad.
2. Al Hallaj Perbedaan
adalah tokoh sufi yang pertama kali
memperkenalkan faham hulul
3. Antara al-Ittihad dengan al-Hulul
Dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, diistilahkan diri
al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah sedangkan dalam hulul, jasad
al-Hallaj tidak lebur ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 17 Maret
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar