Jumat, 23 Mei 2014

Perlakuan Khusus Allah Swt. Terhadap Orang-orang yang Memiliki Hubungan Khusus dengan-Nya



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   225

Perlakuan Khusus Allah Swt. Terhadap Orang-orang yang  Memiliki  Hubungan Khusus  dengan-Nya  

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai  mengenai asal muasal golongan Wujudi (penganut faham Wihdatul-Wujud), Pendiri Jemaat Ahmadiyah  menjelaskan:
    Secara alamiah timbul pertanyaan: Dari mana munculnya [golongan] Wujudi? Mengenai  mereka tidak ditemukan rujukan di dalam Quran Syarif dan Islam. Namun, dengan penelaahan cermat akan dapat diketahui bahwa mereka hanya mengalami keterkecohan.
    Tokoh-tokoh suci yang telah berlalu, sebenarnya mereka menganut akidah fana nazhari (penyatuan secara ruhani), artinya adalah manusia tetap mengarahkan perhatiannya ke arah Allah dalam setiap perbuatan, gerakan, dan diamnya. Dan sedemikian rupa fana (larut/lebur) di dalam-Nya, sehingga seolah-olah manusia itu tidak melihat adanya qudrat (kekuasaan) pada suatu benda lain, serta tidak melihat adanya gerakan yang timbul atas cetusan zat suatu benda. Manusia itu melihat bahwa setiap benda adalah bakal punah. Dan dia menyaksikan kekuasaan Ilahi itu sedemikian rupa sehingga tanpa iradah (kehendak) Ilahi tidak ada satu hal pun yang terjadi.
    Di dalam masalah itulah terjadi kekeliruan, sehingga akhirnya sampai pada [akidah] fana wujudi (peleburan/penyatuan secara wujud), dan mereka mulai mengatakan bahwa tidak ada suatu benda apa pun selain Tuhan. Dan mereka pun mulai menganggap diri mereka sendiri sebagai Tuhan. Dari pemikiran seperti itulah golongan ini berkembang, yakni dari kalimat-kalimat yang muncul dari mulut para waliullah yang tenggelam (dalam fana nazhari), mereka melahirkan   pemahaman yang terbalik, sehingga terbentuklah golongan wujudi ini.,
   Sampai batas fana nazhari (penyatuan secara ruhani)  memang manusia memiliki hak untuk menganggap tidak adanya jarak pemisah antara dirinya dengan diri Sang Kekasih, sebab hubungan antara pencinta dengan sesuatu yang dicintainya menuntut adanya fana nazhari. Dan di jalan setiap sālik  (penempuh jalan ruhani) seseorang itu menganggap wujud mahbūb (yang dikasihi) sebagai wujudnya sendiri.
    Namun, fana wujudi sesuatu hal yang palsu, dan  ia sedikit pun tidak ada kaitannya, dengan kesukaan, kecintaan, ketulusan, kesetiaan dan amal-amal shalih.  Tamsil bagi fana nazhari adalah ibarat ibu dan anak., yakni jika seseorang memukul si anak, maka ibunya pun merasakan suatu kepedihan.  Hal ini lebih hebat dari sekedar hubungan kecintaan yang mendalam, dan ini merupakan suatu kecintaan yang sejati dan hakiki.
   Namun akidah Wujudi adalah dusta, yakni mereka [mengaku] melakukan apa yang berlaku pada  Allah Ta’ala. Dikarenakan [golongan]   Wujudi ini menerapkan tata-cara  yang meninggalkan norma-norma santun, oleh sebab itu mereka luput dari hal-hal yang bersifat ketaatan, kecintaan, dan ibadah­ ibadah Ilahi.” (Malfuzat, jld. VI, hlm. 92-93).

Golongan  Penganut “Wihdatul Wujud  dan Penyembah  Berhala

   Lebih lanjut Al-Masih Mau’ud a.s. menjelaskan mengenai adanya persamaan antara  golongan “Wujudi” (Wihdatil Wujud) dengan para penyembah berhala:
      Para penyembah berhala pun – seperti halnya orang-orang Wujudi (penganut fahan Wihdatul Wujud) – menganggap  berhala-berhala mereka sebagai perwujudan [Tuhan].
      Quran Syarif pun menentang paham itu,  di bagian permulaan saja ia [dalam Surah Al-Fatihah] sudah mengatakan, "Alhamdulillāhi rabbil ‘ālamīn" (segala puji bagi Allah Rabb/Tuhan seluruh alam). Jika tidak ada perbedaan antara makhluk (yang diciptakan) dan Khaliq (Pencipta) dan bahwa keduanya adalah sama dan satu, maka tentu tidak harus dikatakan “Rabbul  ‘ālamīn” (Tuhan seluruh alam).  Alam itu tidak termasuk dalam sosok Allah Ta’ala, sebab arti  alam adalah ......yu’lamu bihii (sesuatu yang diketahui), sedangkan bagi Allah Ta’ala dikatakan, “Lā tudrikuhul abshara (penglihatan tidak dapat mencapai-Nya – Al-An’ām, 104).
   Mereka mengatakan bahwa benda-benda yang berwujud ini merupakan ainullah (inti Allah). Quran Syarif tidak ada membahas tentang 'ain dan ghair. Mereka mengaitkannya pada [perkataan] Muhyiddiin ibnu Arabi. Yakni, beliau menuliskan: "Alhamdulillāhil ladziy  halaqal asyiā-a wa huwa ‘ainuhā”.  Itu memang benar. Allah Ta’ala berfirman, “Wa laa taqfu maa laisa laka bihi ‘ilmun (dan janganlah engkau turut apa-apa yang engkau tidak memiliki ilmu mengenainya -  (Bani Israil:37). Tatkala manusia tidak tahu sedikit pun, maka katakanlah, apa lagi yang dapat disebut ghaib?
      Ini merupakan suatu hal yang mutlak, bahwa sifat-sifat suatu benda itu – tidak peduli ke mana pun ia pergi –   air jika kalian  bawa ke London akhirnya ia tetap saja air. Apabila benar bahwa manusia itu merupakan  Tuhan maka Sifat-sifat Tuhan tidak boleh terlepas dari manusia, tidak peduli dalam keadaan bagaimana   pun.
      Dengan terjadinya perubahan maka sifat-sifatnya pun hilang. Kelanggengan wujud sesuatu benda beriringan dengan sifat-sifatnya. Jika pada setangkai bunga tidak ada lagi sifat-sifat bunga maka bagaimana mungkin ia itu merupakan bunga? Jadi, jika manusia merupakan Tuhan maka tentu Sifat-sifat Tuhan harus ada pada diri manusia. Jika tidak ada Sifat-sifat Tuhan maka kebodohanlah yang telah menjadikannya sebagai Tuhan.
   Manusia terus menerus dalam berbagai macam musibah dan kesulitan-kesulitan. Manusia mengalami penderitaan-penderitaan, mereka berusaha mati-matian sehingga tidak tahu lagi apa yang dikerjakan. Terdapat ribuan kehendak dan keinginan yang tidak kunjung terpenuhi. Apakah seperti itu juga halnya kehendak Allah Ta’ala? Yakni, tidak terpenuhi?
   Mengenai-Nya justru dikatakan, "Idzā  arāda syai-an an- yaqūla lahū kun fayakūn (apabila Dia menghendaki sesuatu Dia berfirman kepadanya, “Jadilah” maka  jadilah ia” – Ya Sin, 83).  Dari itu diketahui dengan jelas bahwa sesuatu yang menimbulkan kegagalan dalam kehendak-kehendak manusia adalah suatu Wujud yang terpisah dan sangat kuat. Jika keduanya (manusia dan Tuhan) sama maka kegagalan itu tentu tidak akan timbul. Hal-hal semacam itu jelas bertentangan dengan ajaran Quran Syarif, dan pada pandangan Allah Ta’ala  hal itu merupakan kelancangan-kelancangan yang berbahaya.
      Mengetengahkan kritikan semacam ini -- yakni bahwa dari mana dunia ini diciptakan? --  adalah kelancangan. Tatkala Allah Ta’ala itu telah diakui sebagai Maha Kuasa, mengapa mengapa kritikan-kritikan semacam itu dilakukan? Orang-orang Arya juga sering melontarkan kritikan-kritikan semacam itu. Mereka ingin mengukur Allah Ta’ala dengan ukuran kekuatan serta kemampuan mereka. 
    Kemudian, lihatlah para tokoh sufi besar dari kalangan Wujudi ini ternyata telah dan masih saja meninggal dunia. Kalau mereka itu Tuhan, maka seharusnya pada saat itu mereka memperlihatkan kehebatan mereka sebagai Tuhan, bukannya roboh menyerahkan nyawa seperti manusia yang tidak berdaya.
    Ingatlah, hal yang baik bagi manusia  adalah tidak mencampuri urusan-urusan Allah Ta’ala, melainkan mengakui kedudukannya sebagai hamba. Keimanan dan keyakinan saya adalah, terdapat suatu Wujud Yang Maha Kuat  yang mengatur kita. Ke mana saja Dia mau akan Dia bawa ke sana. Dia-lah Khāliq (Maha Pencipta) dan kita adalah makhluq (yang diciptakan).  Dia Hayyul-Qayyum (Yang Maha Hidup dan Maha Mandiri) sedangkan kita adalah makhluk yang tak berdaya.
     Di dalam Quran Syarif terdapat kisah tentang Hadhrat Sulaiman dan Bilqis (QS.27:45), yakni ia (Bilqis) melihat [bentangan] air lalu ia mengangkat kainnya. Di situ pelajaran jugalah yang diberikan Hadhrat Sulaiman kepada perempuan itu. Ratu itu sebenarnya seorang penyembah matahari. Dengan cara itu Hadhrat Sulaiman memberi pelajaran kepadanya bahwa sebagaimana air mengalir di bawah [lantai] kaca [bening], sebenarnya yang ada di atas [air] adalah kaca. Demikian pula terdapat suatu  Kekuatan yang Maha kuat yang memberikan cahaya dan sinar kepada matahari.
   Kritikan yang dilontarkan bahwa Quran Syarif datang untuk menghapuskan ghairiyyat (unsur-unsur selain Tuhan), ternyata para Wujudi ini tidak memahaminya. Quran Syarif menegakkan suatu kesatuan umum di kalangan umat Islam, bukannya  menciptakan suatu kesatuan secara substansial antara makhluk (yang diciptakan) dengan  Khāliq (Pencipta).      Manusia itu mencintai dosa, lalu bagaimana mungkin manusia dapat menjadi Tuhan?
  Orang-orang Wujudi mengatakan, “Kalian telah berbuat benar mengenai ghairiyyat.” Kita mengatakan, itu tidak benar. Kita mengakui adanya makhluk (hasil ciptaan), bukannya kta memaparkan suatu Tuhan yang lain. Dan kita mengakui makhluk yang sepenuhnya dikuasai oleh Allah Ta’ala, sebab Dia itu adalah Tuhan Yang Maha Hidup dan Maha Mandiri (Hayyul-Qayyum). Melalui topangan-Nya-lah kehidupan ini berlangsung.
     Kedudukan Allah Ta’ala sebagai Yang Maha Hidup dan Maha Mandiri tidaklah seperti pembuat bangunan. Yakni suatu  bangunan tidak membutuhkan si pembuat bangunan untuk hidup bersamanya, yakni jika si pembuat bangunan mati maka dengan kematiannya itu bangunan tersebut tidak akan mengalami kerugian apa-apa, melainkan  dalam bentuk apa pun makhluk tidak akan terlepas dari dukungan Allah Ta’ala.
    Justru Dia itu merupakan sarana inti yang menimbulkan kehidupan dan kelanggengan bagi makhluk. Kita sama sekali tidak mau berdebat soal ‘ain (inti) maupun ghair. Quran Syarif tidak pernah menggunakan istilah-istilah itu. Yang diterangkan oleh Al-Quran adalah hubungan-hubungan antara Khāliq (Pencipta) dengan para makhluk (yang diciptakan). Keluar dari itu adalah suatu kelancangan dan tidak etis.
     Sebelum Syeikh Muhyiddīn ibnu ‘Arabi tidak ada yang [menganut]   Wihdatul wujud. Ya, yang ada adalah Wihdatusy- syuhud, yakni dalam menyaksikan Allah Ta’ala  seorang insan memahami dirinya sendiri sebagai sesuatu yang tidak ada. .... Para Wujudi melewati batas itu lalu melakukan hal-hal yang dikatakan oleh dokter dan para filsuf bahwa mereka telah menjadi bagian dari Tuhan.
   Di sini tampak bahwa para penganut paham Wihdatul wujud ini umumnya menghalalkan semua yang diharamkan. Mereka sama-sekali tidak peduli soal shalat dan puasa. Sampai­-sampai mereka juga menjalin hubungan dengan para pelacur. Mereka tidak mau menahan diri.
     Hakikat syuhud adalah seperti besi yang dimasukkan ke dalam api. Besi itu menjadi panas sedemikian rupa sehingga jadi seperti api. Pada waktu itu walau pun padanya terdapat sifat-sifat api, tetapi tetap saja kita tidak dapat mengatakannya api.
     Demikian pula seseorang yang menjalin hubungan kuat dan mendalam dengan Allah Ta’ala dan mencapai derajat fanafillāh, maka kadang-kadang pada dirinya berlaku mukjizat-mukjizat luar biasa, yang mengandung penampakkan semacam potensi kekuasaan-kekuasaan Ilahi. Orang-orang – karena kesalahpahaman dan lemahnya pemahaman mereka – menganggap orang itu sebagai Tuhan.
Dalam kondisi syuhud banyak hal yang berlangsung sesuai kehendak mereka. Misalnya Allah Ta’ala telah menyatakan perbuatan-perbuatan Rasulullah saw. sebagai perbuatan-Nya, dan kepada beliau saw. dikatakan, “Al-yauma akmaltu lakum dīnakum (pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu – Al-Maidah 4) dan “Idzā jā-an-nashrullāahi (apabila datang pertolongan Allah” – An-Nashr, 2).” (Malfuzat, jld. III, hlm. 306-308).

Dua Macam Hubungan Allah Swt. dengan Makhluk-Nya

     Sehubungan  dua macam hubungan antara Allah Swt. dengan manusia – yakni  hubungan yang bersifat umum dengan semua makhluk-Nya, dan hubungan yang bersifat khusus  dengan  hamba-hamba-Nya yang khusus  – dalam buku Kisyti Nuh (Bahtera Nuh) Al-Masih Mau’ud a.s.  menjelaskan:
      “Hendaknya hal ini difahami dengan jelas bahwa baiat hanya berupa ikrar  di lidah saja tidaklah punya arti apa-apa, jika tidak ditunjang oleh suatu kebulatan tekad hendak melaksanakan janji itu sepenuh-penuhnya. Oleh karena itu barangsiapa yang mengamalkan ajaranku selengkapnya ia masuk rumah ini, perihal rumah tersebut ada janji dari Allah Ta’ala: Inniy uhafizhu kulla man fī  daar  Yakni: “Tiap-tiap orang yang berada  di dalam dinding pagar rumah engkau akan Kuselamatkan”.
      Tetapi dalam hal ini hendaknya jangan diartaikan bahwa perlindungan Ilahi ini hanya diberikan kepada mereka yang berdiam di dalam rumah saya yang terbuat dari tanah dan batu-bata ini, melainkan janji itu meliputi pula mereka yang mentaati ajaranku   selengkap-lengkapnya, dan yang karenanya benar-benar dapat dikatakan sebagai penghuni rumah-ruhani saya.
     Untuk mengikuti ajaranku   secara seksama  dikehendaki bahwa mereka harus berkeyakinan bahwa mereka mempunyai satu Tuhan Yang Qadir (Maha Kuasa), Qayyum (Yang Maha Mandiri), dan Khaliqul Kul (Pencipta segala sesuatu), yang Sifat-sifat-Nya tak pernah  berubah serta  kekal dan abadi. Dia tidak mempunyai anak. Dia  suci  dari jejak penderitaan, dari dinaikkan ke tiang salib dan dari mengalami suatu kematian.
    Dia sedemikian rupa, bahwa meski pun dekat namun  jauh, walau pun  Tunggal tetapi penjelmaan-Nya nampak dalam bermacam-ragam corak. Manakala ada terjadi suatu perubahan di dalam diri seorang manusia, bagi  orang itu Dia menjadi Tuhan yang  baru, dan Dia memperlakukannya dengan penjelmaan-Nya yang baru. Orang itu melihat suatu perubahan di dalam Wujud Tuhan menurut proporsi dan perubahan yang ada pada dirinya – tetapi hal ini  bukanlah seakan-akan terjadi suatu perubahan di dalam Wujud Tuhan, karena sesungguhnya Dia tidak akan pernah mengalami perubahan, dan Wujud-Nya memang paripurna. Tetapi dengan tiap-tiap perubahan yang berlaku di dalam diri manusia yang menjurus ke arah kebaikan, Tuhan pun menjelmakan Diri-Nya terhadap orang itu di dalam bentuk penjelmaan baru. Dengan tiap-tiap usaha  kemajuan pada diri manusia,  Tuhan pun memperlihatkan diri-Nya dengan penjelmaan yang lebih agung lagi perkasa.
     Dia menampakkan sesuatu  penjelmaan dari Kudrat-Nya yang luar biasa hanya apabila manusia memperlihatkan suatu perubahan di dalam dirinya secara luar biasa pula. Inilah akar dan landasan dari keajaiban dan mukjizat-mukjizat yang dipersaksikan  (diperagakan) hamba-hamba Allah.
      Beriman kepada Allah Ta’ala serta kepada segala kekuatan-kekuatan tersebut merupakan syarat yang penting bagi Jemaat kita. Resapkanlah keimanan ini ke dalam kalbu kamu sekalian. Berikanlah tempat yang utama kepada keimanan  itu lebih daripada kepada urusan pribadi, kesenangan-kesenangan kamu dan segala hubungan-hubungan kamu. Dengan perbuatan-perbuatan nyata disertai keberanian yang tak kenal menyerah perlihatkanlah kesetiaan dengan sejujur-jujurnya.
     Orang-orang lain di dunia ini tidak menganggap Tuhan sebagai suatu Zat  Yang lebih penting daripada harta-benda mereka dan sanak-saudara serta karib-kerabat mereka. Akan tetapi kamu harus memberikan kepada-Nya tempat yang paling utama, supaya di langit kamu dituliskan di dalam daftar Jemaat-Nya.
     Memperlihatkan tanda-tanda karunia adalah cara kebiasaan Tuhan semenjak zaman bihari. Tetapi kamu sekalian dapat mengambil bagian dalam hikmah cara kebiasaan ini hanya apabila tidak ada sesuatu sebab yang memisahkan kamu dari Dia, apabila kamu mempunyai keinginan menjadi keinginan-Nya, apabila kamu mempunyai sesuatu hasrat dan kedambaan akan sesuatu, itu pun merupakan hasrat dan kedambaan-Nya, dan hanya  apabila sepanjang masa – baik dalam keadaan  berhasil mau pun dalam menghadapi kegagalan, biar pun dalam keadaan yang memberikan harapan-harapan atau pun pada saat  kamu dihadapkan kepada keputus-asaan – kepala kamu sujud mencium duli  Telapak-kaki-Nya, menyerah kepada segala kehendak-Nya.   Jika kamu berbuat serupa itu maka di dalam diri kamu akan nampak Wujud Tuhan itu yang sudah lama menyembunyikan Wajah-Nya dari permukaan bumi ini.
      Apakah ada di antara kamu sekalian yang mengamalkan ajaran ini dan hanya mencari keridhaan-Nya, tanpa menampakkan rasa ketidak-puasan atas qadha dan qadar-Nya, atas cara  Dia bekerja? Bahkan apabila kamu dihadapkan kepada suatu musibah, kamu harus melangkahkan kaki kamu terus ke depan, sebab itu adalah rahasia bagi keberhasilan kamu, dan  hendaklah  kamu menyebar-luaskan itikad Keesaan Tuhan ke seluruh penjuru dunia.”

Allah Swt. Memiliki Kekuatan-kekuatan Maha Besar dan Luar Biasa

     Kemudian dalam bagian lain buku Kisyti Nuh (Bahtera Nuh) tersebut Mirza Ghulam Ahmad a.s. lebih jauh menjelaskan tentang Allah Swt.:
      Tuhan adalah Tuhan yang amat setia, dan bagi  mereka yang tetap setia Dia menampakkan kejadian-kejadian  ajaib.  Dunia ingin menelan mereka, dan tiap lawan mau mengganyang mereka, tetapi Dia Yang menjadi Kawan mereka menyelamatkan mereka dari tiap tempat kemusnahan, dan menganugerahi mereka kemenangan dalam tiap-tiap medan.
  Alangkah bahagianya orang yang tidak melepaskan tali silaturahim (perhubungan kasing-sayang)  dengan  Tuhan semacam itu. Kepada-Nya kita beriman. Kita telah mengenal Dia. Dia-lah Tuhan bagi  seluruh alam, dan  Dia-lah Yang telah  menurunkan  wahyu kepadaku, dan Yang telah memperlihatkan  bagiku  Tanda-tanda perkasa, Yang telah mengutusku sebagai Masih Mau’ud untuk zaman ini. Kecuali Dia tidak ada Tuhan lagi, tidak di  langit tidak pula di bumi.
     Barangsiapa yang tidak beriman kepada-Nya, jauhlah ia dari kebahagiaan dan ia ada dalam cengkraman kemalangan. Kami telah menerima wahyu dari  Tuhan kami  laksana matahari berkilau-kilauan. Kami telah menyaksikan-Nya bahwa Dia-lah Tuhan bagi  alam semesta,  dan tidak ada Tuhan kecuali Dia. Sungguh Perkasa lagi  Berdiri Sendiri Tuhan  Yang kami jumpai itu! Betapa hebatnya kekuasaan-kekuasaan yang  dimiliki Tuhan yang telah kami saksikan. Sesungguhnya di hadapan Dia tiada sesuatu yang mustahil, kecuali apabila itu bertentangan dengan Kitab-Nya dan janji-Nya.
     Oleh karena itu apabila kamu berdoa, janganlah  hendaknya kamu  berbuat  seperti yang dilakukan orang-orang naturalis yang jahil, dan yang telah merancang   suatu hukum kudrat alam  menurut daya khayal  mereka sendiri yang tidak mendapat pengesahan  Kitab Ilahi. Mereka itu  mardud (tertolak), doa-doa mereka sekali-kali tidak akan terkabul. Mereka itu buta, tidak melihat. Mereka itu mati, tidak hidup. Mereka mengemukakan di hadapan Tuhan suatu hukum yang mereka rancang sendiri, dan mereka membatasi kudrat-kudrat-Nya yang tidak berhingga itu  dan menganggap-Nya lemah dan tidak berdaya, dengan demikian mereka akan diperlakukan sesuai dengan keadaan  mereka sendiri.
     Akan tetapi apabila kamu berdiri untuk memanjatkan doa, maka terlebih dulu kamu wajib meyakini  bahwa Tuhan kamu berkuasa atas tiap sesuatu, sesudah itu barulah doa-doa kamu akan terkabul, dan kamu akan menyaksikan keajiban-keajaiban kudrat Ilahi yang telah kami lihat. Dan kesaksian kami adalah berdasarkan rukyat (penglihatan) sendiri, dan bukan berdasarkan  dongeng-dongeng.
    Bagaimanakah  doa-doa  orang semacam itu terkabul, dan juga bagaimanakah ia akan mempunyai keberanian untuk memanjatkan doa pada waktu ia  dihadapkan kepada  kesulitan-kesulitan besar, kalau ia tidak percaya bahwa Tuhan berkuasa atas tiap sesuatu? Sebab  hal itu bertentangan dengan hukum kudrat yang dibuatnya sendiri.
     Tetapi, wahai orang-orang budiman! Hendaklah kamu jangan berbuat seperti itu! Tuhan kamu adalah Wujud Yang menggantungkan bintang-bintang yang tak terhitung banyaknya di cakrawala  tanpa tiang sebatang pun,  dan  telah menciptakan dunia dan langit dari serba tiada. Apakah kamu berprangsangka terhadap Dia bahwa Dia tidak akan berdaya untuk memenuhi keperluan kamu?[1] Bahkan prasangka kamu itu sendirilah yang  akan merugikan diri kamu.
      Dalam Wujud Tuhan kami terdapat keajaiban-keajaiban yang tak terhingga  banyaknya. Akan tetapi hanya mereka yang menjadi kepunyaan Dia-lah – berkat ketulusan serta kesetiaan mereka -- dapat melihat keajaiban-keajaiban itu. Dia tidak menampakkan keajaiban-keajaiban kepada orang yang   tidak  mempercayai kekuasaan-Nya dan tidak setia  kepada kesungguhan hati terhadap-Nya.
    Alangkah malangnya insan itu yang hingga kini belum  mengetahui juga bahwasanya ia mempunyai Satu Tuhan Yang berkuasa atas tiap sesuatu! Surga kita adalah Tuhan kita. Puncak kelezatan kita terletak pada Tuhan kita, sebab kami telah melihat-Nya, dan segala kejuitaan nampak pada Wujud-Nya. Harta ini patut dimiliki, walaupun untuk memilikinya harus dengan jalan mempertaruhkan jiwa. Permata itu patut dibeli, sekalipun untuk memperolehnya harus dengan jalan meniadakan segala wujud kita.
    Wahai orang-orang yang merugi! Bergegaslah lari menuju Sumber mata-air   ini agar oleh mata-air itu dahaga kamu akan dilepaskan. Inilah Sumber mata-air kehidupan yang bakal menyelamatkan kamu sekalian. Apa gerangan yang harus kuperbuat, dan bagaimanakah harus kusampaikan  berita ini ke setiap kalbu manusia? Dengan genderang bagaimana jenisnya  harus kuumumkan di pusat-pusat keramaian bahwa inilah Tuhan kamu, agar orang dapat mendengar? Dengan obat apakah harus kuobati telinga orang-orang agar jadi terbuka untuk mendengarnya?”

(Bersambung)                                   

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  28 Maret      2014




[1] Tuhan berkuasa mengerjakan tiap sesuatu. Ya, Kitab Ilahi mengamukakan mengenai peraturan berkenaan dengan doa, bahwa Dia memperlakukan manusia yang shalih dengan amat kasih-sayang bagaikan seorang sahabat. Yakni, adakalanya Dia melepaskan Kehendak-Nya  Sendiri dan mengabulkan doa orang itu, sebagaimana Dia Sendiri berfirman:
ادۡعُوۡنِیۡۤ   اَسۡتَجِبۡ لَکُمۡ
 (“Berdoalah kepada-Ku dan Aku akan menjawab doa kamu” – QS.Al-Mukmin [40]:61).
Dan  kadangkala Dia ingin agar kehendak-Nya-lah yang diikuti, sebagaimana Dia berfirman:
وَ لَنَبۡلُوَنَّکُمۡ بِشَیۡءٍ مِّنَ الۡخَوۡفِ وَ الۡجُوۡعِ
(“Niscaya Kami akan menguji kamu sekalian dengan sesuatu ketakutan dan kelaparan” – QS.Al-Baqarah [2]:156).
Hal demikian niscaya dilakukan-Nya agar kadang-kadang Dia memperlakukan manusia sesuai dengan doanya untuk memberi kemajuan kepadanya dalam keyakinan dan kemakrifatan. Dan kadangkala Dia berlaku menurut kehendak-Nya Sendiri dan menganugerahkan kepada orang itu baju kehormatan ridha-Nya serta mengangkat martabatnya serta dengan mencintai orang itu Dia  memberi kemajuan kepadanya pada jalan petunjuk. (Pen.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar