بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab
225
Perlakuan Khusus Allah Swt. Terhadap Orang-orang yang Memiliki
Hubungan Khusus dengan-Nya
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai
mengenai
asal muasal golongan Wujudi (penganut
faham Wihdatul-Wujud), Pendiri Jemaat
Ahmadiyah menjelaskan:
“Secara alamiah timbul pertanyaan: Dari mana
munculnya [golongan] Wujudi?
Mengenai mereka tidak ditemukan rujukan
di dalam Quran Syarif dan Islam. Namun, dengan penelaahan cermat akan dapat
diketahui bahwa mereka hanya mengalami keterkecohan.
Tokoh-tokoh suci yang telah berlalu,
sebenarnya mereka menganut akidah fana nazhari (penyatuan secara
ruhani), artinya adalah manusia tetap mengarahkan perhatiannya ke arah Allah dalam setiap perbuatan, gerakan, dan
diamnya. Dan sedemikian rupa fana (larut/lebur) di dalam-Nya,
sehingga seolah-olah manusia itu tidak melihat adanya qudrat (kekuasaan)
pada suatu benda lain, serta tidak melihat adanya gerakan yang timbul atas cetusan zat suatu benda. Manusia itu melihat
bahwa setiap benda adalah bakal punah. Dan dia menyaksikan kekuasaan Ilahi itu
sedemikian rupa sehingga tanpa iradah (kehendak) Ilahi
tidak ada satu hal pun yang terjadi.
Di dalam masalah itulah terjadi kekeliruan, sehingga akhirnya sampai
pada [akidah] fana wujudi (peleburan/penyatuan secara wujud), dan mereka
mulai mengatakan bahwa tidak ada suatu benda
apa pun selain Tuhan. Dan mereka pun
mulai menganggap diri mereka sendiri
sebagai Tuhan. Dari pemikiran seperti itulah golongan ini
berkembang, yakni dari kalimat-kalimat yang muncul dari mulut para waliullah
yang tenggelam (dalam fana nazhari), mereka melahirkan pemahaman
yang terbalik, sehingga terbentuklah golongan wujudi ini.,
Sampai batas fana nazhari
(penyatuan secara ruhani) memang manusia
memiliki hak untuk menganggap tidak adanya jarak
pemisah antara dirinya dengan diri Sang
Kekasih, sebab hubungan antara pencinta
dengan sesuatu yang dicintainya menuntut adanya fana nazhari. Dan di jalan setiap
sālik (penempuh jalan ruhani) seseorang itu
menganggap wujud mahbūb (yang dikasihi) sebagai wujudnya sendiri.
Namun, fana wujudi sesuatu
hal yang palsu, dan ia sedikit pun tidak ada kaitannya, dengan kesukaan, kecintaan, ketulusan, kesetiaan dan amal-amal shalih. Tamsil bagi fana nazhari adalah ibarat ibu dan anak., yakni
jika seseorang memukul si anak, maka ibunya pun merasakan suatu kepedihan. Hal ini lebih hebat dari sekedar hubungan kecintaan yang mendalam, dan ini merupakan suatu kecintaan
yang sejati dan hakiki.
Namun akidah Wujudi adalah dusta,
yakni mereka [mengaku] melakukan apa yang berlaku pada Allah Ta’ala. Dikarenakan [golongan] Wujudi ini menerapkan
tata-cara yang meninggalkan norma-norma santun, oleh sebab itu mereka
luput dari hal-hal yang bersifat ketaatan,
kecintaan, dan ibadah ibadah Ilahi.” (Malfuzat, jld. VI, hlm.
92-93).
Golongan Penganut “Wihdatul
Wujud” dan Penyembah Berhala
Lebih lanjut Al-Masih Mau’ud a.s. menjelaskan mengenai adanya persamaan antara golongan “Wujudi”
(Wihdatil Wujud) dengan para penyembah
berhala:
“Para penyembah berhala pun – seperti halnya
orang-orang Wujudi (penganut fahan
Wihdatul Wujud) – menganggap berhala-berhala
mereka sebagai perwujudan
[Tuhan].
Quran Syarif pun menentang paham itu, di bagian permulaan saja ia [dalam Surah Al-Fatihah] sudah mengatakan, "Alhamdulillāhi
rabbil ‘ālamīn" (segala puji bagi Allah Rabb/Tuhan seluruh alam). Jika tidak ada perbedaan antara makhluk
(yang diciptakan) dan Khaliq (Pencipta) dan bahwa
keduanya adalah sama dan satu, maka tentu tidak harus dikatakan
“Rabbul ‘ālamīn” (Tuhan seluruh alam). Alam
itu tidak termasuk dalam sosok Allah Ta’ala, sebab arti ‘alam adalah ......yu’lamu
bihii (sesuatu yang diketahui), sedangkan bagi Allah Ta’ala dikatakan, “Lā tudrikuhul abshara (penglihatan tidak dapat mencapai-Nya – Al-An’ām, 104).
Mereka
mengatakan bahwa benda-benda yang berwujud ini merupakan ‘ainullah
(inti Allah). Quran Syarif tidak ada membahas tentang 'ain dan ghair. Mereka mengaitkannya pada
[perkataan] Muhyiddiin ibnu Arabi.
Yakni, beliau menuliskan: "Alhamdulillāhil ladziy halaqal asyiā-a wa huwa ‘ainuhā”. Itu memang benar. Allah Ta’ala berfirman, “Wa
laa taqfu maa laisa laka bihi ‘ilmun (dan janganlah engkau turut
apa-apa yang engkau tidak memiliki ilmu mengenainya - (Bani Israil:37). Tatkala manusia tidak tahu sedikit
pun, maka katakanlah, apa lagi yang dapat disebut ghaib?
Ini merupakan suatu hal yang mutlak, bahwa
sifat-sifat suatu benda itu – tidak peduli ke mana pun ia pergi – air jika kalian bawa ke London akhirnya ia tetap saja air.
Apabila benar bahwa manusia itu
merupakan Tuhan maka Sifat-sifat Tuhan tidak boleh terlepas dari manusia, tidak peduli dalam keadaan
bagaimana pun.
Dengan
terjadinya perubahan maka sifat-sifatnya pun hilang. Kelanggengan wujud sesuatu benda beriringan dengan sifat-sifatnya.
Jika pada setangkai bunga tidak ada
lagi sifat-sifat bunga maka
bagaimana mungkin ia itu merupakan bunga?
Jadi, jika manusia merupakan Tuhan maka tentu Sifat-sifat Tuhan
harus ada pada diri manusia. Jika
tidak ada Sifat-sifat Tuhan maka
kebodohanlah
yang telah menjadikannya sebagai Tuhan.
Manusia terus menerus dalam berbagai
macam musibah dan kesulitan-kesulitan. Manusia mengalami penderitaan-penderitaan, mereka
berusaha mati-matian sehingga tidak tahu lagi apa yang dikerjakan. Terdapat
ribuan kehendak dan keinginan yang tidak kunjung terpenuhi.
Apakah seperti itu juga halnya kehendak Allah
Ta’ala? Yakni, tidak terpenuhi?
Mengenai-Nya justru dikatakan, "Idzā
arāda syai-an an- yaqūla lahū kun fayakūn
(apabila Dia menghendaki sesuatu Dia berfirman kepadanya, “Jadilah” maka jadilah ia” – Ya Sin,
83). Dari itu diketahui dengan jelas
bahwa sesuatu yang menimbulkan kegagalan dalam kehendak-kehendak manusia adalah suatu Wujud yang terpisah dan sangat kuat. Jika keduanya (manusia dan
Tuhan) sama maka kegagalan itu tentu tidak akan timbul.
Hal-hal semacam itu jelas bertentangan
dengan ajaran Quran Syarif, dan pada
pandangan Allah Ta’ala hal itu merupakan
kelancangan-kelancangan yang berbahaya.
Mengetengahkan kritikan semacam ini --
yakni bahwa dari mana dunia ini diciptakan? --
adalah kelancangan. Tatkala Allah Ta’ala itu telah diakui sebagai Maha Kuasa, mengapa mengapa kritikan-kritikan semacam itu
dilakukan? Orang-orang Arya juga
sering melontarkan kritikan-kritikan semacam itu. Mereka ingin mengukur Allah Ta’ala dengan ukuran kekuatan serta kemampuan mereka.
Kemudian, lihatlah para tokoh sufi besar dari kalangan Wujudi
ini ternyata telah dan masih saja meninggal
dunia. Kalau mereka itu Tuhan,
maka seharusnya pada saat itu mereka memperlihatkan kehebatan mereka sebagai Tuhan,
bukannya roboh menyerahkan nyawa
seperti manusia yang tidak berdaya.
Ingatlah, hal yang baik bagi manusia adalah tidak mencampuri urusan-urusan Allah Ta’ala,
melainkan mengakui kedudukannya
sebagai hamba. Keimanan dan keyakinan saya adalah, terdapat suatu Wujud
Yang Maha Kuat yang mengatur kita. Ke mana saja Dia mau akan Dia bawa ke sana. Dia-lah Khāliq
(Maha Pencipta) dan kita adalah makhluq (yang diciptakan). Dia Hayyul-Qayyum (Yang Maha Hidup
dan Maha Mandiri) sedangkan kita adalah makhluk
yang tak berdaya.
Di dalam Quran Syarif terdapat kisah tentang
Hadhrat Sulaiman dan Bilqis (QS.27:45), yakni ia (Bilqis)
melihat [bentangan] air lalu ia mengangkat kainnya. Di situ pelajaran jugalah
yang diberikan Hadhrat Sulaiman kepada perempuan itu. Ratu itu sebenarnya
seorang penyembah matahari. Dengan
cara itu Hadhrat Sulaiman memberi pelajaran kepadanya bahwa sebagaimana air mengalir di bawah [lantai] kaca [bening], sebenarnya yang ada di
atas [air] adalah kaca. Demikian
pula terdapat suatu Kekuatan
yang Maha kuat yang memberikan cahaya dan sinar kepada matahari.
Kritikan yang dilontarkan bahwa Quran
Syarif datang untuk menghapuskan ghairiyyat (unsur-unsur selain Tuhan), ternyata para Wujudi ini tidak memahaminya. Quran Syarif menegakkan suatu kesatuan umum di kalangan umat Islam,
bukannya menciptakan suatu kesatuan secara substansial antara makhluk (yang diciptakan)
dengan Khāliq
(Pencipta). Manusia itu mencintai dosa,
lalu bagaimana mungkin manusia dapat
menjadi Tuhan?
Orang-orang Wujudi mengatakan, “Kalian telah berbuat
benar mengenai ghairiyyat.” Kita mengatakan, itu
tidak benar. Kita mengakui adanya makhluk (hasil ciptaan),
bukannya kta memaparkan suatu Tuhan
yang lain. Dan kita mengakui makhluk yang sepenuhnya dikuasai oleh Allah Ta’ala, sebab Dia itu adalah Tuhan Yang Maha Hidup dan Maha
Mandiri (Hayyul-Qayyum). Melalui topangan-Nya-lah
kehidupan ini berlangsung.
Kedudukan Allah Ta’ala
sebagai Yang Maha Hidup dan Maha Mandiri tidaklah seperti pembuat bangunan. Yakni suatu bangunan tidak membutuhkan si pembuat bangunan untuk hidup
bersamanya, yakni jika si pembuat
bangunan mati maka dengan kematiannya itu bangunan tersebut tidak akan mengalami
kerugian apa-apa, melainkan dalam bentuk
apa pun makhluk tidak akan terlepas dari dukungan Allah Ta’ala.
Justru Dia
itu merupakan sarana inti yang menimbulkan kehidupan
dan kelanggengan bagi makhluk. Kita sama sekali tidak mau
berdebat soal ‘ain (inti) maupun ghair. Quran Syarif tidak pernah
menggunakan istilah-istilah itu. Yang diterangkan oleh Al-Quran adalah hubungan-hubungan antara Khāliq (Pencipta) dengan para makhluk (yang diciptakan). Keluar dari
itu adalah suatu kelancangan dan tidak etis.
Sebelum Syeikh Muhyiddīn ibnu ‘Arabi tidak ada yang [menganut] Wihdatul wujud. Ya, yang ada adalah Wihdatusy-
syuhud, yakni dalam menyaksikan
Allah Ta’ala seorang insan memahami dirinya sendiri sebagai sesuatu yang tidak ada. .... Para Wujudi melewati
batas itu lalu melakukan hal-hal yang dikatakan oleh dokter dan para filsuf
bahwa mereka telah menjadi bagian
dari Tuhan.
Di sini tampak bahwa para
penganut paham Wihdatul wujud ini umumnya menghalalkan
semua yang diharamkan. Mereka sama-sekali tidak peduli soal shalat dan puasa. Sampai-sampai mereka juga
menjalin hubungan dengan para pelacur. Mereka tidak mau menahan diri.
Hakikat syuhud adalah seperti besi yang dimasukkan ke dalam api.
Besi itu menjadi panas sedemikian
rupa sehingga jadi seperti api. Pada
waktu itu walau pun padanya terdapat sifat-sifat
api, tetapi tetap saja kita tidak dapat mengatakannya api.
Demikian pula seseorang yang menjalin hubungan kuat dan mendalam dengan Allah Ta’ala
dan mencapai derajat fanafillāh, maka kadang-kadang
pada dirinya berlaku mukjizat-mukjizat luar biasa, yang mengandung penampakkan semacam potensi kekuasaan-kekuasaan Ilahi.
Orang-orang – karena kesalahpahaman
dan lemahnya pemahaman mereka –
menganggap orang itu sebagai Tuhan.
Dalam
kondisi syuhud banyak
hal yang berlangsung sesuai kehendak
mereka. Misalnya Allah Ta’ala telah menyatakan perbuatan-perbuatan Rasulullah saw. sebagai perbuatan-Nya, dan kepada beliau saw. dikatakan, “Al-yauma akmaltu lakum dīnakum (pada
hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu – Al-Maidah 4) dan “Idzā
jā-an-nashrullāahi (apabila datang pertolongan Allah” – An-Nashr,
2).” (Malfuzat, jld.
III, hlm. 306-308).
Dua Macam Hubungan Allah Swt. dengan Makhluk-Nya
Sehubungan dua macam hubungan
antara Allah Swt. dengan manusia – yakni
hubungan yang bersifat umum dengan semua makhluk-Nya, dan hubungan
yang bersifat khusus dengan hamba-hamba-Nya yang khusus – dalam buku Kisyti Nuh (Bahtera Nuh) Al-Masih Mau’ud a.s. menjelaskan:
“Hendaknya
hal ini difahami dengan jelas bahwa baiat hanya berupa ikrar
di lidah saja tidaklah punya arti apa-apa, jika tidak ditunjang
oleh suatu kebulatan tekad hendak melaksanakan janji itu
sepenuh-penuhnya. Oleh karena itu barangsiapa yang mengamalkan ajaranku selengkapnya ia masuk rumah ini, perihal rumah tersebut ada janji
dari Allah Ta’ala: Inniy uhafizhu
kulla man fī daar Yakni: “Tiap-tiap orang yang berada di
dalam dinding pagar rumah engkau akan Kuselamatkan”.
Tetapi dalam hal ini hendaknya jangan
diartaikan bahwa perlindungan Ilahi ini hanya diberikan kepada mereka yang
berdiam di dalam rumah saya yang
terbuat dari tanah dan batu-bata ini, melainkan janji
itu meliputi pula mereka yang mentaati
ajaranku selengkap-lengkapnya,
dan yang karenanya benar-benar dapat dikatakan sebagai penghuni rumah-ruhani saya.
Untuk
mengikuti ajaranku secara seksama dikehendaki bahwa mereka harus berkeyakinan bahwa mereka mempunyai
satu Tuhan Yang Qadir (Maha Kuasa), Qayyum (Yang Maha
Mandiri), dan Khaliqul Kul (Pencipta segala sesuatu), yang Sifat-sifat-Nya
tak pernah berubah serta kekal dan abadi. Dia tidak mempunyai anak.
Dia suci
dari jejak penderitaan, dari
dinaikkan ke tiang salib dan dari
mengalami suatu kematian.
Dia
sedemikian rupa, bahwa meski pun dekat
namun jauh, walau pun Tunggal
tetapi penjelmaan-Nya nampak dalam bermacam-ragam corak. Manakala ada terjadi suatu perubahan di dalam diri seorang manusia, bagi
orang itu Dia menjadi Tuhan yang
baru, dan Dia
memperlakukannya dengan penjelmaan-Nya yang baru. Orang
itu melihat suatu perubahan di dalam Wujud Tuhan menurut proporsi
dan perubahan yang ada pada dirinya
– tetapi hal ini bukanlah seakan-akan
terjadi suatu perubahan di dalam Wujud Tuhan, karena sesungguhnya Dia tidak akan pernah
mengalami perubahan, dan Wujud-Nya memang paripurna.
Tetapi dengan tiap-tiap perubahan yang berlaku di dalam diri
manusia yang menjurus ke arah kebaikan, Tuhan pun menjelmakan Diri-Nya terhadap
orang itu di dalam bentuk penjelmaan baru. Dengan tiap-tiap
usaha
kemajuan pada diri manusia, Tuhan pun memperlihatkan diri-Nya dengan
penjelmaan yang lebih agung lagi perkasa.
Dia
menampakkan sesuatu penjelmaan dari Kudrat-Nya yang luar biasa hanya apabila manusia memperlihatkan suatu perubahan di dalam dirinya secara luar
biasa pula. Inilah akar dan landasan dari keajaiban dan mukjizat-mukjizat
yang dipersaksikan (diperagakan) hamba-hamba
Allah.
Beriman kepada Allah Ta’ala serta kepada segala kekuatan-kekuatan
tersebut merupakan syarat yang penting bagi Jemaat kita. Resapkanlah keimanan
ini ke dalam kalbu kamu sekalian.
Berikanlah tempat yang utama kepada keimanan itu lebih daripada kepada urusan pribadi, kesenangan-kesenangan kamu dan segala hubungan-hubungan kamu. Dengan perbuatan-perbuatan nyata
disertai keberanian yang
tak kenal menyerah perlihatkanlah kesetiaan dengan sejujur-jujurnya.
Orang-orang
lain di dunia ini tidak menganggap Tuhan sebagai suatu Zat Yang
lebih penting daripada harta-benda mereka dan sanak-saudara serta karib-kerabat mereka. Akan tetapi kamu harus memberikan kepada-Nya tempat yang paling
utama, supaya di langit kamu dituliskan di
dalam daftar Jemaat-Nya.
Memperlihatkan tanda-tanda karunia adalah cara
kebiasaan Tuhan semenjak
zaman bihari. Tetapi kamu sekalian dapat mengambil
bagian dalam hikmah cara kebiasaan
ini hanya apabila tidak ada sesuatu
sebab yang memisahkan kamu dari Dia, apabila kamu mempunyai keinginan menjadi keinginan-Nya,
apabila kamu mempunyai sesuatu hasrat
dan kedambaan akan sesuatu, itu pun
merupakan hasrat dan kedambaan-Nya, dan hanya apabila sepanjang
masa – baik dalam keadaan berhasil mau pun dalam menghadapi kegagalan, biar pun dalam keadaan yang
memberikan harapan-harapan atau pun
pada saat kamu dihadapkan kepada keputus-asaan – kepala kamu sujud
mencium duli Telapak-kaki-Nya, menyerah
kepada segala kehendak-Nya. Jika kamu berbuat serupa itu maka di dalam diri kamu akan nampak Wujud
Tuhan itu yang sudah lama
menyembunyikan Wajah-Nya dari permukaan bumi ini.
Apakah ada
di antara kamu sekalian yang mengamalkan
ajaran ini dan hanya
mencari keridhaan-Nya,
tanpa menampakkan rasa ketidak-puasan
atas qadha dan qadar-Nya, atas cara
Dia bekerja? Bahkan apabila kamu dihadapkan kepada suatu musibah, kamu harus melangkahkan kaki kamu terus ke depan,
sebab itu adalah rahasia bagi keberhasilan
kamu, dan hendaklah kamu menyebar-luaskan itikad Keesaan
Tuhan ke seluruh
penjuru dunia.”
Allah Swt. Memiliki Kekuatan-kekuatan Maha Besar dan Luar Biasa
Kemudian dalam bagian lain buku Kisyti
Nuh (Bahtera Nuh) tersebut Mirza
Ghulam Ahmad a.s. lebih jauh menjelaskan tentang Allah Swt.:
“Tuhan
adalah Tuhan yang amat setia, dan bagi mereka yang
tetap setia Dia menampakkan kejadian-kejadian ajaib. Dunia ingin menelan mereka, dan tiap lawan
mau mengganyang mereka, tetapi Dia
Yang menjadi Kawan mereka menyelamatkan
mereka dari tiap tempat kemusnahan,
dan menganugerahi mereka kemenangan dalam tiap-tiap medan.
Alangkah bahagianya orang yang tidak
melepaskan tali silaturahim (perhubungan kasing-sayang) dengan
Tuhan semacam itu. Kepada-Nya
kita beriman. Kita telah mengenal Dia. Dia-lah
Tuhan bagi seluruh alam, dan Dia-lah
Yang telah menurunkan wahyu
kepadaku, dan Yang telah
memperlihatkan bagiku Tanda-tanda
perkasa, Yang telah
mengutusku sebagai Masih Mau’ud untuk zaman ini. Kecuali Dia tidak ada Tuhan lagi, tidak di langit tidak pula di bumi.
Barangsiapa yang tidak beriman kepada-Nya, jauhlah ia dari kebahagiaan dan ia
ada dalam cengkraman kemalangan. Kami
telah menerima wahyu dari Tuhan
kami laksana matahari berkilau-kilauan. Kami telah menyaksikan-Nya bahwa Dia-lah
Tuhan bagi alam
semesta, dan tidak ada Tuhan kecuali
Dia. Sungguh Perkasa lagi Berdiri Sendiri Tuhan Yang kami jumpai itu! Betapa hebatnya kekuasaan-kekuasaan yang dimiliki Tuhan
yang telah kami saksikan.
Sesungguhnya di hadapan Dia tiada
sesuatu yang mustahil, kecuali
apabila itu bertentangan dengan Kitab-Nya
dan janji-Nya.
Oleh karena itu apabila kamu berdoa, janganlah hendaknya kamu berbuat
seperti yang dilakukan orang-orang naturalis yang jahil, dan yang telah merancang suatu hukum kudrat alam menurut daya khayal mereka sendiri yang tidak mendapat pengesahan Kitab Ilahi. Mereka itu mardud (tertolak), doa-doa mereka sekali-kali tidak
akan terkabul. Mereka itu buta,
tidak melihat. Mereka itu mati, tidak hidup. Mereka mengemukakan di hadapan Tuhan suatu hukum yang mereka rancang
sendiri, dan mereka membatasi kudrat-kudrat-Nya yang tidak berhingga itu dan menganggap-Nya
lemah dan tidak berdaya, dengan
demikian mereka akan diperlakukan sesuai
dengan keadaan mereka sendiri.
Akan tetapi apabila kamu berdiri untuk
memanjatkan doa, maka
terlebih dulu kamu wajib meyakini bahwa Tuhan
kamu berkuasa atas tiap sesuatu, sesudah itu
barulah doa-doa kamu akan terkabul, dan kamu akan menyaksikan keajiban-keajaiban kudrat Ilahi
yang telah kami lihat. Dan kesaksian kami adalah berdasarkan
rukyat
(penglihatan) sendiri, dan bukan
berdasarkan dongeng-dongeng.
Bagaimanakah doa-doa orang semacam itu terkabul, dan juga
bagaimanakah ia akan mempunyai keberanian untuk memanjatkan doa pada waktu ia
dihadapkan kepada
kesulitan-kesulitan besar, kalau ia tidak percaya bahwa Tuhan
berkuasa atas tiap sesuatu? Sebab
hal itu bertentangan dengan hukum
kudrat yang dibuatnya
sendiri.
Tetapi, wahai orang-orang budiman! Hendaklah kamu jangan berbuat seperti itu! Tuhan kamu adalah Wujud Yang menggantungkan
bintang-bintang yang tak terhitung banyaknya di cakrawala tanpa
tiang sebatang pun, dan telah
menciptakan dunia dan langit dari serba tiada. Apakah kamu berprangsangka terhadap Dia bahwa Dia tidak akan berdaya untuk memenuhi
keperluan kamu?[1] Bahkan prasangka
kamu itu sendirilah yang akan merugikan diri kamu.
Dalam Wujud Tuhan kami terdapat keajaiban-keajaiban yang tak
terhingga banyaknya. Akan tetapi hanya
mereka yang menjadi kepunyaan Dia-lah – berkat ketulusan serta kesetiaan mereka -- dapat melihat keajaiban-keajaiban
itu. Dia tidak menampakkan keajaiban-keajaiban kepada orang
yang tidak mempercayai kekuasaan-Nya dan tidak setia kepada kesungguhan
hati terhadap-Nya.
Alangkah malangnya insan itu yang hingga kini belum
mengetahui juga bahwasanya ia mempunyai Satu Tuhan Yang berkuasa atas tiap sesuatu! Surga kita adalah Tuhan kita. Puncak kelezatan kita
terletak pada Tuhan kita, sebab kami telah melihat-Nya, dan segala kejuitaan
nampak pada Wujud-Nya. Harta
ini patut dimiliki, walaupun untuk memilikinya harus dengan jalan
mempertaruhkan jiwa. Permata
itu patut dibeli, sekalipun untuk memperolehnya harus dengan jalan meniadakan
segala wujud kita.
Wahai orang-orang
yang merugi! Bergegaslah lari menuju Sumber mata-air ini agar oleh mata-air itu dahaga kamu akan dilepaskan. Inilah Sumber
mata-air kehidupan yang bakal menyelamatkan
kamu sekalian. Apa gerangan yang harus kuperbuat, dan bagaimanakah harus
kusampaikan berita ini ke setiap kalbu
manusia? Dengan genderang bagaimana jenisnya
harus kuumumkan di pusat-pusat keramaian bahwa inilah Tuhan kamu, agar orang dapat mendengar?
Dengan obat apakah harus kuobati telinga orang-orang agar jadi terbuka untuk
mendengarnya?”
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 28 Maret
2014
[1] Tuhan berkuasa mengerjakan tiap sesuatu. Ya, Kitab Ilahi
mengamukakan mengenai peraturan berkenaan dengan doa, bahwa Dia memperlakukan
manusia yang shalih dengan amat kasih-sayang bagaikan seorang sahabat. Yakni,
adakalanya Dia melepaskan Kehendak-Nya
Sendiri dan mengabulkan doa orang itu, sebagaimana Dia Sendiri
berfirman:
ادۡعُوۡنِیۡۤ اَسۡتَجِبۡ لَکُمۡ
(“Berdoalah kepada-Ku dan Aku akan
menjawab doa kamu” – QS.Al-Mukmin [40]:61).
Dan
kadangkala Dia ingin agar kehendak-Nya-lah yang diikuti, sebagaimana Dia
berfirman:
وَ لَنَبۡلُوَنَّکُمۡ بِشَیۡءٍ مِّنَ
الۡخَوۡفِ وَ الۡجُوۡعِ
(“Niscaya Kami akan menguji kamu sekalian
dengan sesuatu ketakutan dan kelaparan” – QS.Al-Baqarah [2]:156).
Hal demikian niscaya dilakukan-Nya agar
kadang-kadang Dia memperlakukan manusia sesuai dengan doanya untuk memberi
kemajuan kepadanya dalam keyakinan dan kemakrifatan. Dan
kadangkala Dia berlaku menurut kehendak-Nya Sendiri dan menganugerahkan kepada
orang itu baju kehormatan ridha-Nya serta mengangkat martabatnya serta
dengan mencintai orang itu Dia memberi
kemajuan kepadanya pada jalan petunjuk. (Pen.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar