بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 224
Asal Golongan Wihdatul
Wujud & “Bintang Cemerlang” Pengejar “Setan
Pencuri Dengar”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai
masalah khalwat (menyendiri) dan fana berkenaan diri Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad
a.s., dan juga para nabi Allah – terutam sekali Nabi Besar Muhammad saw. –
beliau menjelaskan:
“…Begitu jugalah kondisi kalbu para nabi. Yakni mereka tidak menginginkan kemasyhuran. Tidak ada
seorang nabi pun yang pernah menghendaki kemasyhuran. Rasulullah saw. juga suka
terhadap khalwat dan kesendirian.
Untuk melakukan ibadah, beliau
pergi jauh-jauh dari manusia di sebuah gua
yang sepi, yaitu gua Hira. Gua ini
begitu menakutkan, sehingga tidak ada orang yang berani masuk ke
dalamnya. Namun, beliau menyukai
tempat itu justru karena tidak ada orang yang berani datang ke sana.
Beliau saw. benar-benar menginginkan kesendirian.
Beliau sama sekali tidak suka terhadap kemasyhuran. Namun turun perintah
Allah Ta’ala, "Yaa ayyuhal- muddatstsir, qum
fa-andzir – (Hai orang yang berselubung, bangunlah, lalu berikan
peringatan]" (Al-Muddatstsir ). Kata “bangunlah” di dalam perintah itu tampak suatu pemaksaan.
Dan karena itulah secara paksa
telah diperintahkan supaya sejak saat itu beliau saw. meninggalkan kesendirian
yang sangat beliau saw. sukai tersebut.”
Seanjutnya
Pendiri Jemaat Ahmadiyah menjelaskan mengenai fana: “Puncak taubat adalah fana (larut/sirna), yang artinya ruju' (kembali meleburkan wujud pada Allah – pent.), yakni dekat
dengan Allah Ta’ala. Inilah api yang membuat manusia menjadi bersih. Seseorang yang takut
melangkahkan kaki ke dekat api itu karena takut terbakar
berarti dia tidak sempurna. Namun orang yang melangkahkan kaki maju, dia itu
bagaikan laron yang terbang ke arah api lalu menjatuhkan diri di dalam api itu sehingga
tubuhnya terbakar, orang yang seperti itu berhasil. Puncak dari upaya-upaya gigih adalah fana itu tadi……
Lebih lanjut dari itu, yakni liqa
(perjumpaan Ilahi – pent.) bukanlah suatu hal yang diupayakan, melainkan suatu anugerah. Puncak dari upaya itu adalah mati (fana) dan itu
merupakan pembenihan, setelah
itu menumbuh-kembangkan adalah pekerjaan Tuhan. Sebutir benih dengan
masuk ke dalam tanah, sama-sekali dia menjadi lenyap, lalu Allah Ta’ala menjadikannya hijau subur. Namun tahap ini sangat mengerikan....
Ketika seseorang melangkahkan kaki dalam
suluk (perjalanan menuju Allah
– pent.), maka ribuan bencana
turun menimpanya, seperti seakan-akan para jin dan dewa
melakukan serangan atas dirinya. Namun ketika orang itu telah memutuskan bahwa
dia tidak akan kembali lagi, dan di jalan
ini juga dia akan melepaskan nyawanya, maka serangan itu pun tidak akan ada lagi. Dan akhirnya bencana itu berubah menjadi sebuah kebun
(jannah). Sedangkan orang yang takut terhadap hal itu, maka baginya bencana tersebut menjadi neraka. Tahap puncak baginya benar-benar seperti neraka, supaya Allah Ta’ala dapat
mengujinya. Orang yang tidak peduli terhadap neraka itu dia berhasil. Pekerjaan ini sangat genting.
Tidak ada cara lain kecuali maut.” (Malfuzat,
jld. V, hlm. 183-184).
Maqam Liqa
(Perjumpaan Ilahi) & Hakikat Syihābuts-
Tsāqib (Bintang yang Menyala-nyala)
Setelah
menerangkan maqam fana (mati) dan baqa (hidup kembali) selanjutnya
mengenai maqam liqa (perjumpaan
Ilahi) Pendiri Jemaat Ahmadiyah menjelaskan:
“Tatkala manusia mencapai kedudukan hamba
maka Allah Ta’ala menjadi anggota tubuhnya, lidahnya, "Mā
yanthiqu `anil hawā – (dia
tidak berkata menurut hawa nafsunya - An-Najm, 4). Hal ini berlangsung tatkala manusia
secara sempurna menjadi orang yang taat
kepada Allah Ta’ala dan menjadi hamba-Nya yang setia. Dia
menjalin perdamaian yang sempurna
dengan keridhaan Allah Ta’ala. Dalam kondisi seperti itulah dia menggenapi apa yang dimaksud dengan, “Maa
yanthiqu ‘anil- hawā (dia tidak berkata menurut hawa nafsunya - An-Najm, 4). Dan kedudukan ini sempurna serta dalam bentuk yang paling
lengkap diraih oleh Rasulullah saw..” (Malfuzat, jld. VIII,
hlm. 146).
Kemudian
beliau menjelaskan mengenai rafa’ (pengangkatan/kenaikan ruhani) yang dialami oleh seorang mukmin hakiki:
“Tatkala seorang mukmin mendahulukan Allah Ta’ala dari
segenap yang lain, maka dia memperoleh
rafa' (pengangkatan) dari
Allah. Di dalam kehidupan ini juga dia diangkat
ke arah Allah Ta’ala, dan dia disimbahi cahaya dengan suatu nur yang khusus. Dalam rafa'
(pengangkatan) tersebut dia melesat jauh tinggi dari jangkauan setan sedemikian rupa, sehingga
tangan setan tidak dapat
mencapainya.
Allah Ta’ala memberikan suatu contoh
bagi segala sesuatu di dunia ini, dan ke arah inilah diisyaratkan bahwa tatkala setan mulai naik ke
Langit, maka sebuah syihābuts
tsāqib (bintang yang
menyala-nyala) mengikutinya (mengejarnya) dari belakang dan menjatuhkannya ke
bawah (QS.37:11).
Tsāqib adalah bintang yang menyala-nyala. Tsāqib
juga disebutkan bagi benda yang menimbulkan lubang, dan benda yang menjulang sangat tinggi pun disebut tsāqib. Di situ telah diterangkan suatu permisalan
bagi kondisi manusia, yang di
dalamnya tidak hanya mengandung makna zahiriah, tetapi juga suatu hakikat yang terselubung.
Tatkala seorang manusia memiliki keimanan
yang mantap terhadap Allah Ta’ala, maka dia memperoleh rafa' (pengangkatan ruhaniah) ke arah
Allah Ta’ala, dan kepadanya dianugerahkan suatu kekuatan dan kemampuan
serta cahaya yang istimewa, yang melaluinya dia menjatuhkan setan ke bawah.
Tsāqib juga artinya yang membunuh (mengalahkan). Bagi setiap
orang Mukmin mutlak untuk berusaha mengalahkan
setannya lalu membinasakannya.
Orang-orang yang tidak tahu menahu tentang ilmu ruhani tentu
akan menertawakan hal-hal
semacam ini. Namun sebenarnya mereka sendirilah yang patut untuk ditertawakan. Ada satu hal yang
merupakan hukum alam zahiriah,
demikian pula ada hukum alam batiniah. Hukum
zahir merupakan suatu pertanda
bagi hukum batin.
Allah Ta’ala juga telah mengatakan
kepada saya dalam wahyu: "Anta minni bimanzilatin- najmits- tsāqib"
yakni, "Engkau bagi-Ku
merupakan bintang yang
menyala-nyala." Artinya adalah, "Aku (Allah) telah menjadikan engkau
untuk mengalahkan setan. Melalui tangan engkaulah setan akan binasa." Setan tidak dapat menjulang tinggi.
Jika orang mukmin menjulang tinggi, maka setan tidak akan
dapat mengalahkannya.
Orang mukmin hendaknya berdoa
kepada Allah Ta’ala, semoga dia meraih suatu kekuatan yang
melaluinya dia dapat membinasakan setan. Sekian banyak pikiran
buruk yang timbul,
untuk menghapuskan semua itu bergantung pada keberhasilan membinasakan setan.
Orang mukmin hendaknya berupaya dengan teguh, jangan putus
asa, teruslah berusaha untuk mengalahkan
setan, akhirnya suatu saat dia pasti akan menang. Allah Ta’ala itu Maha
Pengasih dan Maha Penyayang.
Orang-orang yang berusaha
(berjihad) di jalan-Nya, akhirnya Dia akan perlihatkan keberhasilan kepada mereka. Derajat tinggi yang dimiliki oleh
manusia adalah apabila dia berhasil membinasakan
setannya.” (Malfuzat, jld. X, hlm. 91-92).
Sehubungan
dengan upaya “mengalahkan setan”
tersebut, Nabi Besar Muhammad saw. telah bersabda bahwa setan berada dalam tubuh setiap orang mengalir bersama aliran darah. Ketika seorang bertanya
apakah demikian juga mengenai beliau saw., Nabi Besar Muhammad saw.
menjawab, “Ya benar, tetapi setanku telah menjadi Muslim”.
Diriwayatkan di
dalam Shahih Muslim, ketika Sayyidatuna ‘Aisyah r.a. -- cemburu
karena Rasulullah saw. datang dari istri-istr beliau saw. -- yang lain, lalu
dikatakan Nabi saw.:
“Hai ‘Aisyah, datang kepada engkau syaitan engkau,” maka berkata Sayyidatuna Aisyah r.a., “Ya Rasulullah, apa di dalam diriku ini ada syaitan?” Rasul Saw. menjawab, “Ya betul, di hati engkau dan di diri
engkau itu ada syaitan”. Sayyidatuna Aisyah r.a bertanya, “Apakah di setiap manusia juga ada syaitannya?” Rasul Saw. menjawab “Ya benar, pada setiap manusia itu ada syaitan
penggodanya.” Bertanya lagi, “Lalu bagaimana dengan engkau?” Rasul Saw. menjawab “Ya, pada diriku pun
ada syaitannya, tetapi Allah Swt. sudah
menundukkannya sampai syaitan itu
pun menyerah”. Demikian riwayat shahih Muslim memperjelas hadits riwayat Shahih Bukhari ini bahwa syaitan itu mengalir di setiap aliran darah keturunan Adam.
Makna “Setan-setan Pencuri Dengar”
Mengenai syihābuts tsāqib
(bintang yang menyala-nyala) Allah Swt. berfirman dalam Al-Quran:
اِنَّا زَیَّنَّا
السَّمَآءَ الدُّنۡیَا بِزِیۡنَۃِۣ
الۡکَوَاکِبِ ۙ﴿ ﴾ وَ حِفۡظًا
مِّنۡ کُلِّ شَیۡطٰنٍ مَّارِدٍ ۚ﴿ ﴾ لَا یَسَّمَّعُوۡنَ اِلَی الۡمَلَاِ الۡاَعۡلٰی وَ یُقۡذَفُوۡنَ
مِنۡ کُلِّ جَانِبٍ ٭ۖ﴿ ﴾ دُحُوۡرًا
وَّ لَہُمۡ عَذَابٌ
وَّاصِبٌ ۙ﴿۹﴾ اِلَّا مَنۡ خَطِفَ الۡخَطۡفَۃَ فَاَتۡبَعَہٗ
شِہَابٌ ثَاقِبٌ ﴿ ﴾
Sesungguhnya Kami
telah menghiasi langit yang terdekat dengan hiasan bintang-bintang, dan telah
memeliharanya dari setiap syaitan durhaka. Mereka tidak
dapat mendengar-dengarkan pembicaraan majlis malaikat-malaikat yang tinggi dan mereka dilempari dari segala penjuru. Terusir
dan bagi mereka ada azab yang kekal, Kecuali barangsiapa mencuri-curi sesuatu
pembicaraan maka ia dikejar oleh cahaya api yang
cemerlang. (Ash-Shāffāt [37]:7-11).
Ayat 7 menunjuk kepada kesejajaran antara alam kebendaan (alam jasmani) dan alam keruhanian, bahwa seperti halnya cakrawala alam lahir didukung oleh
adanya planit-planit dan bintang-bintang, demikian pula cakrawala alam ruhani didukung oleh
adanya planit-planit dan bintang-bintang ruhani yang terdiri dari nabi-nabi dan mushlih-mushlih rabbani. Tiap-tiap wujud mereka itu berperan sebagai perhiasan bagi cakrawala alam
keruhanian, sebagaimana bintang-bintang
dan planit-planit di langit memperindah dan menghiasi cakrawala alam lahir (jasmani) ini.
Syaitan-syaitan itu terdiri dari dua golongan: (a) musuh-musuh di
dalam selimut jemaat kaum Muslimin sendiri, seperti orang-orang munafik, dan
sebagainya. Mereka itu disebut “syaitan durhaka,” seperti tersebut dalam
ayat ini, dan (b) musuh-musuh dari luar atau orang-orang kafir yang disebut sebagai “syaithanirrajīm” (syaitan
yang terkutuk - QS.15:18).
Makna ayat ۙ اِلَّا مَنۡ خَطِفَ الۡخَطۡفَۃَ
فَاَتۡبَعَہٗ شِہَابٌ ثَاقِبٌ -- “Kecuali barangsiapa mencuri-curi sesuatu pembicaraan maka ia
dikejar oleh cahaya api yang cemerlang”, bahwa selama Kalamullāh (firman Allah) terpelihara di
langit maka Kalamullāh itu aman dan terpelihara dari gangguan pencurian
dan serobotan “syaitan-syaitan pencuri
dengar”, tetapi sesudah diturunkan
(diwahyukan) kepada seorang nabi
(rasul) Allah, maka “syaitan” atau musuh-musuh nabi-nabi Allah berusaha menyalah-sampaikan atau menyalahartikannya, dengan mengutip
kata-kata nabi Allah itu secara keliru, atau dengan mengambil sebagian wahyunya dan mencampurkan banyak kepalsuan dengan wahyu itu, atau bahkan mereka mencoba mengemukakan ajaran
nabi itu sebagai ajaran mereka
sendiri - sebagaimana yang dilakukan
oleh Samiri (QS.20:96-98). Tetapi kepalsuan mereka tersingkap oleh penjelasan hakiki yang diberikan oleh sang Mushlih rabbani mengenai wahyunya
itu.
Demikian juga
di Akhir Zaman ini pun banyak
sekali “syaitan-syaitan pencuri dengar” yang berusaha menyalah-tafsirkan
Al-Quran dan hadits-hadits Nabi besar Muhammad saw., bahkan menyalah-tafsirkan pengalaman ruhani para wali
Allah besar berkenaan thariqah
yang mereka jalani, contohnya berkenaan dengan ittihad
dan hulul yang kemudian memunculkan para penganut faham Wihdatul wujud atau “Manunggaling
kawula lan Gusti” ajaran Syekh Siti Jenar, yang disebut sebagai “Ngelmu Ma’rifat Kasampurnaning Ngurip” (ilmu ma’rifat kesempurnaan
hidup), yang secara keliru oleh para pengikutnya
-- dan para penentangnya
-- dimaknai secara harfiah.
Golongan Wujudi
(Wihdatul- Wujud) yang Menghalalkan
Segala Larangan & Cara Menghadapi Golongan Wujudi
Sehubungan
dengan paham keliru
yang dianut golongan Wihdatul
Wujud mengenai makna tingkatan liqa’, baqa dan fāna, Mirza Ghulam Ahmad a.s. dalam kapasitasnya sebagai Imam
Mahdi Hakaman ‘Adlan (Hakim
yang adil) menjawab pernyataan seseorang
yang datang dari Jalandhar [sebuah kota di Hindustan). Ia mengatakan, ”Di
mana-mana golongan Wujudi (penganut faham Wihdatul Wujud) ini sangat
kuat", Pendiri Jemaat Ahmadiyah -- Al-Masih Mau'ud a.s. -- bersabda:
“Sebenarnya orang-orang ini menerapkan kebebasan yang menghalalkan semua larangan. Sangat sedikit perbedaan
mereka dengan orang-orang atheis. Kehidupan mereka itu
serba bebas. Mereka sama sekali tidak
mempedulikan batasan-batasan Tuhan
dan kewajiban-kewajiban. Mereka
bermabuk-mabukan. Mereka menonton perempuan-perempuan penari, dan mereka
menganggap perbuatan zina sebagai
suatu ajaran yang mendasar.
Suatu kali seorang Wujudi datang kepada saya, dan dia mengatakan bahwa dia Tuhan.
Saat itu ia menyodorkan tangannya, lalu saya dengan sekuat tenaga mencubit
tangannya, sampai-sampai dia menjerit.
Saya katakan, “Apakah Tuhan juga
mengalami rasa sakit?”
Kemudian orang tadi
mengatakan, "Mereka ini selalu
mengatakan bahwa Tuhan telah
menciptakan manusia sesuai bentuk-Nya (gambar-Nya) sendiri." Al-Masih Mau'ud a.s. bersabda:
Di dalam Taurat hal itu disebutkan.
Artinya adalah, Takhallaqu bi akhlaqillāh, yakni Allah menginginkan agar
manusia menerapkan nilai-nilai akhlak Ilahi. Sebagaimana Dia itu suci
dari segala aib dan keburukan, maka, hendaknya manusia juga suci seperti itu.
Sebagaimana, di dalam Dzat-Nya terdapat sifat adil, bersikap sama rata dan mengetahui,
maka hendaknya sifat-sifat itu
terdapat juga pada diri manusia.
Oleh karena itu ciptaan yang satu ini disebut ahsani taqwīm, لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ
فِیۡۤ اَحۡسَنِ تَقۡوِیۡمٍ (sesungguhnya Kami benar-benar telah
menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk – At Tīn, 5). Yang
dimaksud di dalam ayat ini adalah manusia yang menerapkan akhlak-akhlak Ilahi,
dan jika manusia menolaknya, maka tempat baginya adalah asfalus sāfilīn
(makhluk yang paling rendah)” (Malfuzat, jld. V, hlm. 61).
Cara Menghadapi Golongan Wujudi & Asal Muasal
Golongan Wujudi (Penganut Paham Wihdatul Wujud)
Dalam
perbincangan lainnya mengenai golongan Wihdatul
Wujud, beliau menjelaskan:
“Apabila terjadi
perdebatan dengan orang-orang Wujudi maka pertama-tama hendaknya yang
ditanyakan kepada mereka adalah mengenai definisi
Tuhan. Yakni, apa yang
dinamakan Tuhan itu dan Sifat-sifat apa yang terdapat
pada-Nya? Setelah mereka menyebutkannya, lalu katakan kepada mereka: "Sekarang
kalian harus memberikan bukti akan
semua hal itu dari dalam diri kalian sendiri."
Jangan hanya mendengarkan apa saja yang
mereka katakan, sehingga kalian terperangkap
dalam jeratan mereka, melainkan yang
paling pertama hendaknya ditegaskan mengenai
standar (definisi) Ketuhanan.
Sebagian di antara mereka mengatakan (beralasan): "Sekarang masih ada
sedikit kekurangan pada diri kami untuk menjadi Tuhan." Maka, hendaknya dikatakan kepada mereka: "Jangan
kalian hanya pandai bicara. Kalian harus paparkan tokoh-tokoh yang sudah sempurna dalam hal itu sebelumnya!"
Mereka ini adalah suatu golongan yang sesat. Mereka sama sekali jauh dari takwa, kesucian, niat yang benar,
serta tidak menaati hukum-hukum.
Mereka tidak membaca Al-Quran, yang selalu mereka baca adalah buku-buku lain.
[Golongan Wujudi] ini juga merupakan
suatu bencana atas Islam, bahwa sekian banyak para petapa (faqir) pada masa sekarang ini,
hampir semuanya mereka berasal dari golongan Wujudi ini. Mereka sama
sekali tidak mencari makrifat sejati dan ketakwaan hakiki. Di dalam golongan ini terdapat
dua hal yang bertentangan dengan [Sifat] Tuhan,
pertama kelemahan, kedua ketidak-sucian.
Kedua hal itu tidak terdapat pada Dzat
Tuhan, sedangkan kedua hal itu ditemukan di segenap penganut paham Wujudi.
Anehnya, tatkala seorang Wujudi sakit keras, misalnya lumpuh, maka saat itu dia tidak lagi
menjadi Wujudi. Kemudian bila sembuh kembali, maka dia beranggapan
bahwa dia adalah Tuhan.” (Malfuzat, jld. V, hlm. 61-62).
Selanjutnya mengenai asal muasal golongan Wujudi (penganut faham Wihdatul-Wujud) beliau menjelaskan:
“Secara alamiah timbul pertanyaan: dari mana
munculnya [golongan] Wujudi?
Mengenai mereka tidak ditemukan rujukan
di dalam Quran Syarif dan Islam. Namun, dengan penelaahan cermat akan dapat
diketahui bahwa mereka hanya mengalami keterkecohan.
Tokoh-tokoh suci yang telah berlalu,
sebenarnya mereka menganut akidah fana nazhari (penyatuan secara
ruhani), artinya adalah manusia tetap mengarahkan perhatiannya ke arah Allah dalam setiap perbuatan, gerakan, dan
diamnya. Dan sedemikian rupa fana (larut/lebur) di dalam-Nya,
sehingga seolah-olah manusia itu tidak melihat adanya qudrat (kekuasaan)
pada suatu benda lain, serta tidak melihat adanya gerakan yang timbul atas cetusan zat suatu benda. Manusia itu
melihat bahwa setiap benda adalah bakal punah. Dan dia menyaksikan kekuasaan
Ilahi itu sedemikian rupa sehingga tanpa iradah (kehendak) Ilahi
tidak ada satu hal pun yang terjadi.
Di dalam masalah itulah terjadi kekeliruan, sehingga akhirnya sampai
pada [akidah] fana wujudi (peleburan/penyatuan secara wujud), dan mereka
mulai mengatakan bahwa tidak ada suatu benda
apa pun selain Tuhan. Dan mereka pun
mulai menganggap diri mereka sendiri
sebagai Tuhan. Dari pemikiran seperti itulah golongan ini
berkembang, yakni dari kalimat-kalimat yang muncul dari mulut para waliullah
yang tenggelam (dalam fana nazhari), mereka melahirkan pemahaman
yang terbalik, sehingga terbentuklah golongan wujudi ini.,
Sampai batas fana nazhari
(penyatuan secara ruhani) memang manusia
memiliki hak untuk menganggap tidak adanya jarak
pemisah antara dirinya dengan diri Sang
Kekasih, sebab hubungan antara pencinta
dengan sesuatu yang dicintainya menuntut adanya fana nazhari. Dan di jalan setiap
sālik (penempuh jalan ruhani) seseorang itu
menganggap wujud mahbūb (yang dikasihi) sebagai wujudnya sendiri.
Namun, fana wujudi sesuatu
hal yang palsu, dan ia sedikit pun tidak ada kaitannya, dengan kesukaan, kecintaan, ketulusan, kesetiaan dan amal-amal shalih. Tamsil bagi fana nazhari adalah ibarat ibu dan anak., yakni
jika seseorang memukul si anak, maka ibunya pun merasakan suatu kepedihan. Hal ini lebih hebat dari sekedar hubungan kecintaan yang mendalam, dan ini merupakan suatu kecintaan
yang sejati dan hakiki.
Namun akidah Wujudi adalah dusta,
yakni mereka [mengaku] melakukan apa yang berlaku pada Allah Ta’ala. Dikarenakan [golongan] Wujudi ini menerapkan
tata-cara yang meninggalkan norma-norma santun, oleh sebab itu
mereka luput dari hal-hal yang bersifat ketaatan,
kecintaan, dan ibadah ibadah Ilahi.” (Malfuzat, jld. VI, hlm.
92-93).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 27 Maret
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar