Rabu, 21 Mei 2014

Asal Golongan "Wihdatul Wujud" & "Bintang Cemerlang" Pengejar "Syaitan Pencuri Dengar"



  بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   224

 Asal  Golongan Wihdatul Wujud     & “Bintang Cemerlang” Pengejar “Setan Pencuri Dengar

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 

D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai   masalah khalwat  (menyendiri) dan fana berkenaan diri Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s., dan juga para nabi Allah – terutam sekali Nabi Besar Muhammad saw. – beliau menjelaskan:
      “…Begitu jugalah kondisi kalbu para nabi. Yakni mereka tidak menginginkan kemasyhuran. Tidak ada seorang nabi pun yang pernah menghendaki kemasyhuran. Rasulullah saw. juga suka terhadap khalwat dan kesendirian. Untuk melakukan ibadah, beliau pergi jauh-jauh dari manusia di sebuah gua yang sepi, yaitu gua Hira. Gua ini begitu menakutkan, sehingga tidak ada orang yang berani masuk ke dalamnya. Namun, beliau menyukai tempat itu justru karena tidak ada orang yang berani datang ke sana.  
      Beliau saw. benar-benar menginginkan kesendirian. Beliau sama­ sekali tidak suka terhadap kemasyhuran. Namun turun perintah Allah Ta’ala,  "Yaa ayyuhal- muddatstsir, qum fa-andzir – (Hai orang   yang  berselubung, bangunlah, lalu berikan peringatan]" (Al-Muddatstsir ).  Kata “bangunlah  di dalam perintah itu tampak suatu pemaksaan. Dan karena itulah secara paksa telah diperintahkan supaya sejak saat itu beliau saw. meninggalkan kesendirian yang sangat beliau saw. sukai tersebut.”
      Seanjutnya Pendiri Jemaat Ahmadiyah menjelaskan mengenai fana:        Puncak taubat adalah fana (larut/sirna),  yang artinya ruju' (kembali meleburkan wujud pada Allah – pent.), yakni dekat dengan Allah Ta’ala. Inilah api yang membuat manusia menjadi bersih. Seseorang yang takut melangkahkan kaki ke dekat api itu karena takut terbakar berarti dia tidak sempurna. Namun orang yang melangkahkan kaki maju, dia itu bagaikan laron  yang terbang ke arah api lalu menjatuhkan diri di dalam api itu sehingga tubuhnya terbakar, orang yang seperti itu berhasil. Puncak dari upaya-upaya gigih adalah fana itu tadi……  
       Lebih lanjut dari itu, yakni liqa (perjumpaan Ilahi – pent.) bukanlah suatu hal yang diupayakan, melainkan suatu anugerah. Puncak dari upaya itu adalah mati (fana) dan itu merupakan pembenihan, setelah itu  menumbuh-kembangkan adalah pekerjaan Tuhan. Sebutir benih dengan masuk ke dalam tanah, sama-sekali dia menjadi lenyap, lalu Allah Ta’ala menjadikannya hijau subur. Namun tahap ini sangat mengerikan....
       Ketika seseorang melangkahkan kaki dalam suluk (perjalanan menuju Allah – pent.), maka ribuan bencana turun menimpanya, seperti seakan-akan para jin dan dewa melakukan serangan atas dirinya. Namun ketika orang itu telah memutuskan bahwa dia tidak akan kembali lagi, dan di jalan ini juga dia akan melepaskan nyawanya, maka serangan itu pun tidak akan ada lagi. Dan akhirnya bencana itu berubah menjadi sebuah kebun (jannah). Sedangkan orang yang takut terhadap hal itu, maka baginya bencana tersebut menjadi neraka.  Tahap puncak baginya benar-benar seperti neraka, supaya Allah Ta’ala dapat mengujinya. Orang yang tidak peduli terhadap neraka itu  dia berhasil. Pekerjaan ini sangat genting. Tidak ada cara lain kecuali maut.” (Malfuzat, jld. V, hlm. 183-184). 

Maqam Liqa (Perjumpaan Ilahi)   &  Hakikat Syihābuts- Tsāqib  (Bintang yang Menyala-nyala)

     Setelah menerangkan maqam fana (mati) dan baqa (hidup kembali) selanjutnya mengenai maqam liqa (perjumpaan Ilahi) Pendiri Jemaat Ahmadiyah menjelaskan:
       Tatkala manusia mencapai kedudukan hamba maka Allah Ta’ala menjadi anggota tubuhnya, lidahnya, "Mā yanthiqu `anil hawā  – (dia tidak berkata menurut hawa nafsunya  - An-Najm,  4). Hal ini berlangsung tatkala manusia secara sempurna menjadi orang yang taat kepada Allah Ta’ala dan menjadi hamba­-Nya yang setia. Dia menjalin perdamaian yang sempurna dengan keridhaan Allah Ta’ala. Dalam kondisi seperti itulah  dia menggenapi apa yang dimaksud dengan, “Maa yanthiqu ‘anil- hawā (dia tidak berkata menurut hawa nafsunya  - An-Najm,  4). Dan kedudukan ini  sempurna serta dalam bentuk yang paling lengkap diraih oleh Rasulullah saw..” (Malfuzat, jld. VIII, hlm. 146).
     Kemudian beliau menjelaskan mengenai  rafa’ (pengangkatan/kenaikan ruhani) yang dialami oleh seorang mukmin hakiki:
        Tatkala seorang mukmin mendahulukan Allah Ta’ala dari segenap yang lain, maka dia memperoleh rafa' (pengangkatan) dari Allah. Di dalam kehidupan ini juga dia diangkat ke arah Allah Ta’ala, dan dia disimbahi cahaya dengan suatu nur yang khusus. Dalam rafa' (pengangkatan) tersebut dia melesat jauh tinggi dari jangkauan setan sedemikian rupa, sehingga tangan setan tidak dapat mencapainya.
       Allah Ta’ala memberikan suatu contoh bagi segala sesuatu di dunia ini, dan ke arah inilah diisyaratkan  bahwa tatkala setan mulai naik ke Langit, maka sebuah syihābuts tsāqib (bintang yang menyala-nyala) mengikutinya (mengejarnya) dari belakang dan menjatuhkannya ke bawah (QS.37:11).
      Tsāqib adalah bintang yang menyala-nyala. Tsāqib juga disebutkan bagi benda yang menimbulkan lubang, dan benda yang menjulang sangat tinggi pun disebut tsāqib.   Di situ telah diterangkan suatu permisalan bagi kondisi manusia, yang di dalamnya tidak hanya mengandung makna zahiriah, tetapi juga suatu hakikat yang terselubung.
      Tatkala seorang manusia memiliki keimanan yang mantap terhadap Allah Ta’ala, maka dia memperoleh rafa' (pengangkatan ruhaniah) ke arah Allah Ta’ala, dan kepadanya dianugerahkan suatu kekuatan dan kemampuan serta cahaya yang istimewa, yang melaluinya dia menjatuhkan setan ke bawah.
      Tsāqib juga artinya yang membunuh (mengalahkan). Bagi setiap orang Mukmin mutlak untuk berusaha mengalahkan setannya lalu membinasakannya. Orang-orang yang tidak tahu­ menahu tentang ilmu ruhani tentu akan menertawakan hal-hal semacam ini. Namun sebenarnya mereka sendirilah yang patut untuk ditertawakan. Ada satu hal yang merupakan hukum alam zahiriah, demikian pula ada hukum alam batiniah. Hukum zahir  merupakan suatu pertanda bagi hukum batin.
       Allah Ta’ala juga telah mengatakan kepada saya dalam wahyu: "Anta minni bimanzilatin- najmits- tsāqib" yakni,  "Engkau bagi-Ku merupakan  bintang yang menyala-nyala." Artinya adalah, "Aku (Allah) telah menjadikan engkau untuk mengalahkan setan. Melalui tangan engkaulah setan akan binasa." Setan tidak dapat menjulang tinggi. Jika orang mukmin menjulang tinggi, maka setan tidak akan dapat mengalahkannya.
       Orang mukmin hendaknya berdoa kepada Allah Ta’ala, semoga dia meraih suatu kekuatan yang melaluinya dia dapat membinasakan setan. Sekian banyak pikiran  buruk yang timbul, untuk menghapuskan semua itu bergantung pada keberhasilan membinasakan setan.
      Orang mukmin hendaknya berupaya dengan teguh, jangan putus asa, teruslah berusaha untuk mengalahkan setan, akhirnya suatu saat dia pasti akan menang. Allah Ta’ala itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Orang-orang yang berusaha (berjihad) di jalan-­Nya, akhirnya Dia akan perlihatkan keberhasilan kepada mereka. Derajat tinggi yang dimiliki oleh manusia adalah apabila dia berhasil membinasakan setannya.” (Malfuzat, jld. X, hlm. 91-92).
       Sehubungan dengan upaya “mengalahkan setan” tersebut, Nabi Besar Muhammad saw. telah bersabda bahwa setan  berada dalam tubuh setiap orang mengalir bersama aliran darah. Ketika seorang bertanya apakah demikian  juga mengenai  beliau saw., Nabi Besar Muhammad saw. menjawab, “Ya benar, tetapi setanku telah menjadi Muslim”. 
    Diriwayatkan di dalam Shahih Muslim, ketika Sayyidatuna ‘Aisyah r.a.  -- cemburu karena Rasulullah saw. datang dari istri-istr beliau saw. -- yang lain, lalu dikatakan   Nabi  saw.:   “Hai ‘Aisyah, datang kepada engkau syaitan engkau,”    maka berkata Sayyidatuna Aisyah r.a.,  “Ya Rasulullah,  apa di dalam diriku ini ada syaitan?”    Rasul Saw. menjawab,  “Ya betul, di hati engkau dan di diri engkau itu ada syaitan”. Sayyidatuna Aisyah r.a  bertanya, “Apakah di setiap manusia juga ada syaitannya?” Rasul Saw. menjawab “Ya benar,  pada setiap manusia itu ada syaitan penggodanya.”  Bertanya  lagi, “Lalu bagaimana dengan engkau?”  Rasul Saw. menjawab “Ya, pada diriku pun ada syaitannya, tetapi Allah Swt. sudah menundukkannya sampai syaitan itu pun menyerah”. Demikian riwayat shahih Muslim memperjelas   hadits riwayat Shahih Bukhari ini bahwa syaitan itu mengalir di setiap aliran darah keturunan Adam.

Makna “Setan-setan Pencuri Dengar

        Mengenai syihābuts tsāqib (bintang yang menyala-nyala) Allah Swt. berfirman dalam Al-Quran:
اِنَّا زَیَّنَّا السَّمَآءَ  الدُّنۡیَا بِزِیۡنَۃِۣ الۡکَوَاکِبِ ۙ﴿ ﴾  وَ  حِفۡظًا مِّنۡ کُلِّ شَیۡطٰنٍ مَّارِدٍ ۚ﴿ ﴾   لَا یَسَّمَّعُوۡنَ  اِلَی الۡمَلَاِ الۡاَعۡلٰی وَ یُقۡذَفُوۡنَ مِنۡ  کُلِّ  جَانِبٍ ٭ۖ﴿ ﴾  دُحُوۡرًا  وَّ  لَہُمۡ  عَذَابٌ  وَّاصِبٌ ۙ﴿۹﴾  اِلَّا مَنۡ خَطِفَ الۡخَطۡفَۃَ فَاَتۡبَعَہٗ شِہَابٌ  ثَاقِبٌ ﴿ ﴾
Sesungguhnya  Kami telah menghiasi langit yang terdekat dengan hiasan bintang-bintang,    dan telah memeliharanya dari setiap syaitan durhaka.  Mereka tidak dapat mendengar-dengarkan pembicaraan majlis malaikat-malaikat yang tinggi dan mereka dilempari dari segala penjuru.  Terusir dan bagi mereka ada azab yang kekal,   Kecuali barangsiapa mencuri-curi  sesuatu pembicaraan  maka ia dikejar oleh cahaya api yang cemerlang. (Ash-Shāffāt [37]:7-11).
   Ayat 7  menunjuk kepada kesejajaran antara alam kebendaan (alam jasmani) dan alam keruhanian, bahwa seperti halnya cakrawala alam lahir didukung oleh adanya planit-planit dan bintang-bintang, demikian pula cakrawala alam ruhani didukung oleh adanya planit-planit dan bintang-bintang ruhani  yang terdiri dari nabi-nabi dan mushlih-mushlih rabbani. Tiap-tiap wujud mereka itu berperan sebagai perhiasan bagi cakrawala alam keruhanian, sebagaimana bintang-bintang dan planit-planit di langit memperindah dan menghiasi cakrawala alam lahir (jasmani) ini.
           Syaitan-syaitan itu terdiri dari dua golongan: (a) musuh-musuh di dalam selimut jemaat kaum Muslimin sendiri, seperti orang-orang munafik, dan sebagainya. Mereka itu disebut “syaitan durhaka,” seperti tersebut dalam ayat ini, dan (b) musuh-musuh dari luar atau orang-orang kafir yang disebut sebagai “syaithanirrajīm” (syaitan yang terkutuk - QS.15:18).
       Makna ayat ۙ   اِلَّا مَنۡ خَطِفَ الۡخَطۡفَۃَ فَاَتۡبَعَہٗ شِہَابٌ  ثَاقِبٌ --  “Kecuali barangsiapa mencuri-curi  sesuatu pembicaraan  maka ia dikejar oleh cahaya api yang cemerlang”, bahwa selama Kalamullāh (firman Allah) terpelihara di langit maka Kalamullāh itu aman dan terpelihara dari gangguan pencurian dan serobotan “syaitan-syaitan pencuri dengar”, tetapi sesudah diturunkan (diwahyukan) kepada seorang nabi (rasul) Allah, maka “syaitan” atau musuh-musuh nabi-nabi Allah berusaha menyalah-sampaikan atau menyalahartikannya, dengan mengutip kata-kata nabi Allah  itu secara keliru,  atau dengan mengambil sebagian wahyunya dan mencampurkan banyak kepalsuan dengan wahyu itu, atau bahkan mereka mencoba mengemukakan  ajaran nabi itu sebagai ajaran mereka sendiri   - sebagaimana yang dilakukan oleh Samiri  (QS.20:96-98). Tetapi kepalsuan mereka tersingkap oleh penjelasan hakiki yang diberikan oleh sang Mushlih rabbani mengenai wahyunya itu.
      Demikian juga di Akhir Zaman ini pun banyak sekali  syaitan-syaitan pencuri dengar” yang  berusaha menyalah-tafsirkan Al-Quran dan hadits-hadits Nabi besar Muhammad saw., bahkan menyalah-tafsirkan pengalaman ruhani  para wali Allah besar berkenaan thariqah yang mereka jalani,    contohnya  berkenaan dengan   ittihad dan hulul  yang kemudian memunculkan  para penganut faham Wihdatul wujud atau “Manunggaling kawula lan Gusti” ajaran   Syekh Siti Jenar,   yang disebut sebagai “Ngelmu Ma’rifat Kasampurnaning Ngurip” (ilmu ma’rifat kesempurnaan hidup),  yang secara keliru oleh para pengikutnya   -- dan para penentangnya --  dimaknai secara harfiah.

Golongan Wujudi (Wihdatul- Wujud) yang Menghalalkan Segala Larangan  & Cara Menghadapi Golongan Wujudi

        Sehubungan dengan paham  keliru   yang dianut golongan Wihdatul Wujud  mengenai makna   tingkatan liqa’, baqa dan fāna, Mirza Ghulam Ahmad a.s.  dalam kapasitasnya sebagai Imam Mahdi Hakaman ‘Adlan (Hakim yang adil) menjawab pernyataan  seseorang yang datang dari Jalandhar [sebuah kota di Hindustan). Ia mengatakan, ”Di mana-mana  golongan Wujudi (penganut faham Wihdatul Wujud) ini sangat kuat", Pendiri Jemaat Ahmadiyah -- Al-Masih Mau'ud a.s. -- bersabda:
       Sebenarnya orang-orang ini menerapkan kebebasan yang menghalalkan semua larangan. Sangat sedikit perbedaan mereka dengan orang-­orang atheis. Kehidupan mereka itu serba bebas. Mereka sama sekali  tidak mempedulikan batasan-batasan Tuhan dan kewajiban-kewajiban. Mereka bermabuk-mabukan. Mereka menonton perempuan-perempuan penari, dan mereka menganggap perbuatan zina sebagai suatu ajaran yang mendasar.
       Suatu kali seorang Wujudi datang kepada saya, dan dia mengatakan bahwa dia Tuhan. Saat itu ia menyodorkan tangannya, lalu saya dengan sekuat tenaga mencubit tangannya, sampai-sampai dia  menjerit. Saya katakan, “Apakah Tuhan juga mengalami rasa sakit?”
       Kemudian orang tadi mengatakan, "Mereka ini selalu mengatakan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia sesuai bentuk-Nya (gambar-Nya)  sendiri."  Al-Masih Mau'ud a.s. bersabda:
     Di dalam Taurat hal itu disebutkan. Artinya adalah, Takhallaqu bi akhlaqillāh, yakni Allah menginginkan agar manusia menerapkan nilai-nilai akhlak Ilahi.  Sebagaimana Dia  itu suci dari segala aib dan keburukan, maka, hendaknya manusia juga suci seperti itu. Sebagaimana, di dalam Dzat­-Nya terdapat sifat adil, bersikap sama rata  dan mengetahui, maka hendaknya sifat-sifat itu terdapat juga pada diri manusia.
       Oleh karena itu ciptaan yang satu  ini disebut ahsani taqwīm, لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ فِیۡۤ  اَحۡسَنِ تَقۡوِیۡمٍ  (sesungguhnya Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk – At Tīn, 5). Yang dimaksud di dalam ayat ini adalah manusia yang menerapkan akhlak-akhlak Ilahi, dan jika manusia menolaknya, maka tempat baginya adalah asfalus sāfilīn (makhluk yang paling rendah)” (Malfuzat,  jld. V, hlm. 61).

Cara Menghadapi Golongan Wujudi  & Asal Muasal Golongan Wujudi  (Penganut Paham Wihdatul Wujud)

    Dalam perbincangan lainnya mengenai golongan Wihdatul Wujud, beliau  menjelaskan:
     Apabila  terjadi perdebatan  dengan orang-orang Wujudi maka pertama-tama hendaknya yang ditanyakan kepada mereka adalah mengenai definisi Tuhan. Yakni, apa yang dinamakan Tuhan  itu dan Sifat­-sifat apa yang terdapat pada-Nya? Setelah mereka menyebutkannya, lalu katakan kepada mereka: "Sekarang kalian harus memberikan bukti akan semua hal itu dari dalam diri kalian sendiri."
      Jangan hanya mendengarkan apa saja yang mereka katakan, sehingga kalian terperangkap dalam jeratan mereka, melainkan yang paling pertama hendaknya ditegaskan  mengenai standar (definisi) Ketuhanan. Sebagian di antara mereka mengatakan (beralasan): "Sekarang masih ada sedikit kekurangan pada diri kami untuk menjadi Tuhan." Maka, hendaknya dikatakan kepada mereka: "Jangan kalian hanya pandai bicara. Kalian harus paparkan tokoh-tokoh yang sudah sempurna dalam hal itu sebelumnya!"
       Mereka ini adalah suatu golongan yang sesat. Mereka sama ­sekali jauh dari takwa, kesucian, niat yang benar, serta tidak menaati hukum-­hukum. Mereka tidak membaca Al-Quran, yang selalu mereka baca adalah buku-­buku lain.
        [Golongan Wujudi] ini juga merupakan suatu bencana atas Islam, bahwa sekian banyak para petapa (faqir) pada masa sekarang ini, hampir semuanya mereka berasal dari golongan Wujudi ini. Mereka sama  sekali tidak mencari makrifat sejati dan ketakwaan  hakiki. Di dalam golongan ini terdapat dua hal yang bertentangan dengan [Sifat] Tuhan, pertama  kelemahan, kedua ketidak-sucian. Kedua hal itu tidak terdapat pada Dzat Tuhan, sedangkan kedua hal itu ditemukan di segenap penganut paham Wujudi.
       Anehnya, tatkala seorang Wujudi sakit keras, misalnya lumpuh, maka saat itu dia tidak lagi menjadi Wujudi. Kemudian bila sembuh kembali, maka dia beranggapan bahwa dia adalah Tuhan.” (Malfuzat,  jld. V, hlm. 61-62).
       Selanjutnya  mengenai asal muasal golongan Wujudi (penganut faham Wihdatul-Wujud) beliau  menjelaskan:
       Secara alamiah timbul pertanyaan: dari mana munculnya [golongan] Wujudi? Mengenai  mereka tidak ditemukan rujukan di dalam Quran Syarif dan Islam. Namun, dengan penelaahan cermat akan dapat diketahui bahwa mereka hanya mengalami keterkecohan.
       Tokoh-tokoh suci yang telah berlalu, sebenarnya mereka menganut akidah fana nazhari (penyatuan secara ruhani), artinya adalah manusia tetap mengarahkan perhatiannya ke arah Allah dalam setiap perbuatan, gerakan, dan diamnya. Dan sedemikian rupa fana (larut/lebur) di dalam-Nya, sehingga seolah-olah manusia itu tidak melihat adanya qudrat (kekuasaan) pada suatu benda lain, serta tidak melihat adanya gerakan yang timbul atas cetusan zat suatu benda. Manusia itu melihat bahwa setiap benda adalah bakal punah. Dan dia menyaksikan kekuasaan Ilahi itu sedemikian rupa sehingga tanpa iradah (kehendak) Ilahi tidak ada satu hal pun yang terjadi.
       Di dalam masalah itulah terjadi kekeliruan, sehingga akhirnya sampai pada [akidah] fana wujudi (peleburan/penyatuan secara wujud), dan mereka mulai mengatakan bahwa tidak ada suatu benda apa pun selain Tuhan. Dan mereka pun mulai menganggap diri mereka sendiri sebagai Tuhan. Dari pemikiran seperti itulah golongan ini berkembang, yakni dari kalimat-kalimat yang muncul dari mulut para waliullah yang tenggelam (dalam fana nazhari), mereka melahirkan   pemahaman yang terbalik, sehingga terbentuklah golongan wujudi ini.,
       Sampai batas fana nazhari (penyatuan secara ruhani)  memang manusia memiliki hak untuk menganggap tidak adanya jarak pemisah antara dirinya dengan diri Sang Kekasih, sebab hubungan antara pencinta dengan sesuatu yang dicintainya menuntut adanya fana nazhari. Dan di jalan setiap sālik  (penempuh jalan ruhani) seseorang itu menganggap wujud mahbūb (yang dikasihi) sebagai wujudnya sendiri.
        Namun, fana wujudi sesuatu hal yang palsu, dan  ia sedikit pun tidak ada kaitannya, dengan kesukaan, kecintaan, ketulusan, kesetiaan dan amal-amal shalih.  Tamsil bagi fana nazhari adalah ibarat ibu dan anak., yakni jika seseorang memukul si anak, maka ibunya pun merasakan suatu kepedihan.  Hal ini lebih hebat dari sekedar hubungan kecintaan yang mendalam, dan ini merupakan suatu kecintaan yang sejati dan hakiki.
      Namun akidah Wujudi adalah dusta, yakni mereka [mengaku] melakukan apa yang berlaku pada  Allah Ta’ala. Dikarenakan [golongan]   Wujudi ini menerapkan tata-cara  yang meninggalkan norma-norma santun, oleh sebab itu mereka luput dari hal-hal yang bersifat ketaatan, kecintaan, dan ibadah­ ibadah Ilahi.” (Malfuzat, jld. VI, hlm. 92-93).

 (Bersambung)                                  


Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  27 Maret      2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar