بِسۡمِ اللّٰہِ
الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
221
Perbedaan Kualitas FanafilLāh yang Dialami Para Wali Allah dan Para Nabi
Allah
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai makna kata
mā dalam ayat
فَاَوۡحٰۤی اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ
اَوۡحٰی
-- “Lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan” kadang-kadang dipergunakan untuk menyatakan kehormatan, keheranan,
atau untuk memberikan tekanan arti (Aqrab-al-Mawarid).
Ayat ini mengandung arti bahwa Allah menurunkan wahyu Al-Quran kepada
hamba-Nya, dan alangkah bagus lagi hebatnya wahyu
itu!, firman-Nya:
ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾ فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی ۚ﴿﴾ فَاَوۡحٰۤی اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ
اَوۡحٰی
﴿ؕ﴾ مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا
رَاٰی
﴿﴾ اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً
اُخۡرٰی
﴿ۙ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾
عِنۡدَہَا جَنَّۃُ الۡمَاۡوٰی ﴿ؕ﴾
اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی ﴿ۙ﴾ مَا
زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی ﴿﴾ لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ
الۡکُبۡرٰی ﴿﴾
Kemudian ia, Rasulullah, mendekati
Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya,
maka jadilah ia, seakan-akan, seutas tali dari dua
buah busur, atau lebih
dekat lagi. فَاَوۡحٰۤی
اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ اَوۡحٰی -- lalu Dia
mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan. مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا رَاٰی -- Hati Rasulullah sekali-kali tidak berdusta apa yang dia lihat. Maka apakah
kamu membantahnya mengenai apa yang
telah dia lihat? وَ لَقَدۡ رَاٰہُ
نَزۡلَۃً اُخۡرٰی -- dan sungguh
dia benar-benar melihat-Nya kedua
kali, عِنۡدَ
سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی -- dekat pohon
Sidrah tertinggi, عِنۡدَہَا جَنَّۃُ الۡمَاۡوٰی -- yang di dekatnya ada surga tempat tinggal. اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی -- ketika pohon
Sidrah diselubungi oleh sesuatu yang
menyelubungi. مَا زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی -- penglihatannya sekali-kali tidak menyimpang dan tidak
pula melantur. لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ الۡکُبۡرٰی
-- sungguh ia benar-benar melihat Tanda paling besar dari Tanda-tanda Tuhan-Nya. (An-Najm
[53]:9-19).
Kesempurnaan
Penglihatan Hati Nabi Besar Muhammad
Saw.
Ayat مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا
رَاٰی
-- Hati Rasulullah sekali-kali tidak berdusta apa yang dia lihat” bahwa pada hakikatnya ialah apa yang telah dilihat oleh Nabi Besar Muhammad saw. dalam peristiwa mi’raj tersebut adalah
pengalaman hakiki, pengalaman itu kebenaran sejati dan bukan tipuan khayal beliau saw..
Makna ayat
وَ لَقَدۡ رَاٰہُ
نَزۡلَۃً اُخۡرٰی -- “dan
sungguh dia benar-benar melihat-Nya kedua kali” bahwa kasyaf
(pengalaman ruhani) Nabi Besar Muhammad
saw. itu suatu pengalaman ruhani berganda.
Makna ayat عِنۡدَ سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی -- dekat pohon
Sidrah tertinggi, yaitu
bahwa pada waktu mi’raj, Nabi
Besar Muhammad saw. telah mencapai martabat qurb Ilahi (kedekatan kepada
Allah) sangat tinggi, sehingga sungguh berada di luar jangkauan otak manusia untuk memahaminya;
atau ayat ini dapat berarti bahwa pada martabat itu terbentang di hadapan
beliau samudera luas tanpa tepi – samudera makrifat Ilahi, hakikat-hakikat serta kebenaran-kebenaran
abadi; sadir yang diambil dari akar kata yang sama berarti bahwa makrifat
Ilahi yang dilimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad saw. akan seperti halnya pohon Sidrah memberikan kesenangan dan naungan kepada para musafir
ruhani yang merasa kakinya letih dan payah.
Lebih-lebih karena daun pohon Sidrah memiliki khasiat mengawetkan mayat dari proses pembusukan, ayat ini dapat berarti bahwa ajaran Islam (Al-Quran) yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw. tidak hanya kebal (terpelihara) terhadap bahaya
kerusakan (QS.15:10), melainkan juga
baik sekali guna menolong dan memelihara umat
manusia terhadap kerusakan akhlak dan ruhani,
firman-Nya:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّکۡرَ
وَ اِنَّا لَہٗ
لَحٰفِظُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya
”Kami-lah Yang menurunkan
peringatan ini, dan sesungguhnya Kami-lah
pemeliharanya. (Al-Hijr
[15]:10).
Firman-Nya
lagi:
اِنَّ الدِّیۡنَ
عِنۡدَ اللّٰہِ الۡاِسۡلَامُ ۟ وَ مَا اخۡتَلَفَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ
اِلَّا مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَہُمُ الۡعِلۡمُ بَغۡیًۢا بَیۡنَہُمۡ ؕ وَ مَنۡ
یَّکۡفُرۡ بِاٰیٰتِ اللّٰہِ فَاِنَّ اللّٰہَ سَرِیۡعُ الۡحِسَابِ ﴿﴾
Sesungguhnya
agama yang benar di sisi Allah adalah Islam, dan sekali-kali tidaklah berselisih orang-orang yang diberi Kitab melainkan setelah ilmu datang kepada mereka
karena kedengkian di antara mereka.
Dan barangsiapa kafir kepada Tanda-tanda
Allah maka sesungguh-nya Allāh
sangat cepat dalam menghisab. (Ali ‘Imran [3]:20).
Semua agama senantiasa menanamkan kepercayaan Tauhid
Ilahi dan kepatuhan kepada kehendak-Nya, namun demikian hanya dalam
Islam
(Al-Quran) sajalah paham kepatuhan kepada kehendak
Ilahi mencapai kesempurnaan,
sebab kepatuhan sepenuhnya meminta pengejewantahan penuh Sifat-sifat Allah Swt. dan hanya pada Islam sajalah pengenjewantahan demikian telah terjadi.
Jadi dari semua tatanan keagamaan hanya Islam yang berhak disebut agama Tuhan pribadi (agama Allāh) dalam
arti yang sebenarnya. meminta pengejawantahan penuh Sifat-sifat Allah Swt. dan hanya pada Islam sajalah
pengejawantahan demikian telah terjadi. Jadi
dari semua tatanan keagamaan
hanya Islam yang berhak disebut agama Allah, dalam arti kata yang
sebenarnya.
Arti Ikmāl (Menyempurnakan)
dan Itmām (Melengkapkan)
Semua agama yang benar, lebih atau kurang, dalam bentuknya yang asli adalah agama Islam, sedang para pengikut agama-agama itu adalah Muslim dalam arti kata secara
harfiah (QS.22:79), tetapi nama Al-Islam
tidak diberikan sebelum tiba saat bila agama
menjadi lengkap dalam segala ragam seginya, karena nama itu dicadangkan untuk syariat
yang terakhir dan mencapai kesempurnaan
dalam Al-Quran, firman-Nya:
اَلۡیَوۡمَ
اَکۡمَلۡتُ لَکُمۡ دِیۡنَکُمۡ وَ اَتۡمَمۡتُ عَلَیۡکُمۡ نِعۡمَتِیۡ وَ رَضِیۡتُ
لَکُمُ الۡاِسۡلَامَ دِیۡنًا
Hari ini telah Ku-sempurnakan agama kamu bagimu, dan telah
Kulengkapkan nikmat-Ku atas kamu, dan telah
Kusukai Islam sebagai agama bagi kamu.
(Al-Māidah
[5]:4).
Ikmāl (menyempurnakan) dan itmām
(melengkapkan) merupakan akar-akar kata (masdar), yang pertama berhubungan
dengan kaifiat (kualitas) dan yang kedua berhubungan dengan kammiat (kuantitas).
Kata yang pertama menunjukkan bahwa ajaran-ajaran
serta perintah-perintah mengenai
pencapaian kemajuan jasmani, ruhani, dan akhlak manusia telah terkandung dalam Al-Quran dalam bentuk yang
paripurna; sedang yang kedua menunjukkan bahwa tidak ada suatu keperluan manusia yang lepas dari
perhatian (diabaikan).
Kata Ikmāl (menyempurnakan) berhubungan
dengan perintah-perintah yang
bertalian dengan segi fisik atau keadaan lahiriah manusia, sedang itmām (melengkapkan) berhubungan dengan segi ruhaniah dan batiniahnya.
Atad dasar kenyataan tersebut dalam
Surah lain Allah Swt. berfirman mengenai pentingnya umat manusia menerima dan mengamalkan agama Islam (Al-Quran), firman-Nya:
وَ مَنۡ یَّبۡتَغِ غَیۡرَ الۡاِسۡلَامِ دِیۡنًا فَلَنۡ
یُّقۡبَلَ مِنۡہُ ۚ وَ ہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ مِنَ الۡخٰسِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan barangsiapa
mencari agama yang bukan agama Islam,
maka agama itu tidak akan pernah diterima darinya, dan
di akhirat ia termasuk orang-orang yang
rugi. (Ali ‘Imran [3]:86).
Kata-kata “yang
menutupi” dalam ayat
اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی -- “ketika pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu
yang menyelubungi”, maknanya ialah penjelmaan Ilahi atau tajalliyyati
Ilahiyah yang paling sempurna, yang
mengenainya hanya Nabi Besar Muhammad
saw. sajalah yang mampu menerima dan mengamalkannya, sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya:
اِنَّا
عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ
اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ
کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾
لِّیُعَذِّبَ اللّٰہُ الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ
وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا
رَّحِیۡمًا ﴿٪﴾
Sesungguhnya Kami
telah menawarkan amanat syariat
kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya
enggan memikulnya dan mereka takut
terhadapnya, akan sedangkan insan
(manusia) memikulnya, اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا
-- sesungguhnya ia sanggup
berbuat zalim dan abai terhadap dirinya. Supaya Allah akan menghukum orang-orang munafik lelaki dan orang-orang munafik perempuan, dan
orang-orang musyrik lelaki
dan orang-orang musyrik perempuan, dan Allah senantiasa kembali dengan kasih sayang kepada orang-orang lelaki dan perempuan-perempuan yang beriman, dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Ahzāb [33]:73-74).
Perbedaan Kesempurnaan
Tingkatan Fanafillāh yang Dialami
Para Wali Allah dan Para Nabi Allah
Mengenai
firman Allah Swt. ini telah dijelaskan dalam Bab sebelumnya mengenai
makna zhalim dan jahul
berkenaan dengan Insan Kamil
(manusia sempurna) yakni Nabi Besar Muhammad saw. dan hubungannya dengan makna
“pingsannya” Nabi Musa a.s. dalam QS.7:144
akibat hebatnya “gunjangan” yang ditimbulkan oleh hancurnya gunung karena tidak mampu
menerima Tajalliyat Ilahiyah (Penjelmaan Keagungan Tuhan), firman-Nya:
وَ لَمَّا جَآءَ مُوۡسٰی لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ
اَرِنِیۡۤ اَنۡظُرۡ اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ وَ لٰکِنِ
انۡظُرۡ اِلَی الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ
فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ
لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ دَکًّا وَّ
خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ
اَفَاقَ قَالَ سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ
اِلَیۡکَ وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿﴾
Dan tatkala Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan dan Rabb-Nya (Tuhan-nya) bercakap-cakap
dengannya, ia berkata: “Ya Rabb-ku
(Tuhan-ku), perlihatkanlah kepadaku
supaya aku dapat memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau tidak akan pernah dapat melihat-Ku tetapi pandanglah
gunung itu, lalu jika ia tetap ada
pada tempatnya maka engkau pasti akan dapat melihat-Ku.” فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا -- maka tatkala Rabb-nya
(Tuhan-nya) menjelmakan
keagungan-Nya pada gunung itu Dia
menjadikannya hancur lebur, dan Musa
pun jatuh pingsan. Lalu tatkala ia sadar kembali ia berkata: سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ اِلَیۡکَ
وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ -- “Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.” (Al-A’rāf
[7]:144).
Dari keberadaan para Rasul Allah di setiap tingkatan langit yang berbeda-beda ketinggiannya
dalam peristiwa mi’raj Nabi Besar
Muhammad saw., dan dari peristiwa ruhani
“pingsannya” Nabi Musa a.s. tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa tingkatan fāna
fillāh yang dialami para wali Allah dan para nabi Allah tidak sama
kesempurnaannya.
Oleh karena itu keliru
jika ada yang beranggapan bahwa ketika
seorang wali Allah yang mengalami “kemabukan ruhani” pada saat mengalami fāna fillāh -- seperti yang dialami oleh Abu Yaziz al-Bisthami dan Mansyur “Al-Hallaj” -- bahwa
mereka telah mencapai tingkatan puncak “persatuan”
(manunggal) dengan Allah Swt. sebagaimana yang dipercayai atau disalah-tafsirkan
oleh golongan penganut faham Wihdatul
Wujud atau hulul ajaran Syeikh Ibnu ‘Arabi
atau pun ajaran Abu Yaziz al-Bisthami
dan Mansyur “Al-Hallaj.”
Kenapa demikian? Sebab dari ayat ثُمَّ
دَنَا فَتَدَلّٰی -- “Kemudian ia, Rasulullah, mendekati Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya, فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ اَوۡ
اَدۡنٰی
-- “maka jadilah ia, seakan-akan, seutas tali dari dua buah busur, atau lebih dekat lagi” (QS.53:9-10) diketahui, bahwa
terjadinya “pertemuan” (manunggal) antara
seseorang hamba Allah Swt. dengan
Allah Swt. dalam tingkatan fāna fillāh adalah karena Allah Swt. bergerak “turun mendekati” hamba-hamba-Nya yang bergerak “naik mendekati”
kepada-Nya.
Dengan demikian tingkatan kualitas fāna fillāh Nabi
Adam a.s. berbeda dengan Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. dan Nabi Yahya a.s., demikian juga antara fāna
fillāh Nabi Musa a.s.
berbeda kualitasnya dengan fāna
fillāh Nabi Ibrahim a.s.., terlebih
lagi jika dibandingkan dengan kualitas fāna
fillāh sempurna Nabi Besar Muhammad saw. (QS.6:162-164) yang telah mencapai “Sidratul Muntaha”, firman-Nya:
ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾ فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی ۚ﴿﴾ فَاَوۡحٰۤی اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ
اَوۡحٰی
﴿ؕ﴾ مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا
رَاٰی
﴿﴾ اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً
اُخۡرٰی
﴿ۙ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾
عِنۡدَہَا جَنَّۃُ الۡمَاۡوٰی ﴿ؕ﴾
اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی ﴿ۙ﴾ مَا
زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی ﴿﴾ لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ
الۡکُبۡرٰی ﴿﴾
Kemudian ia, Rasulullah, mendekati
Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya,
maka jadilah ia, seakan-akan, seutas tali dari dua
buah busur, atau lebih
dekat lagi. فَاَوۡحٰۤی
اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ اَوۡحٰی -- lalu Dia
mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan. مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا رَاٰی -- Hati Rasulullah sekali-kali tidak berdusta apa yang dia lihat. Maka apakah
kamu membantahnya mengenai apa yang
telah dia lihat? وَ لَقَدۡ رَاٰہُ
نَزۡلَۃً اُخۡرٰی -- dan sungguh
dia benar-benar melihat-Nya kedua
kali, عِنۡدَ
سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی -- dekat pohon
Sidrah tertinggi, عِنۡدَہَا جَنَّۃُ الۡمَاۡوٰی -- yang di dekatnya ada surga tempat tinggal. اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی -- ketika pohon
Sidrah diselubungi oleh sesuatu yang
menyelubungi. مَا زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی -- penglihatannya sekali-kali tidak menyimpang dan tidak
pula melantur. لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ الۡکُبۡرٰی
-- sungguh ia benar-benar melihat Tanda paling besar dari Tanda-tanda Tuhan-Nya. (An-Najm
[53]:9-19).
Itulah sebab ketika Nabi Musa a.s. menyaksikan
penjelmaan Tajalliyyati Ilahiyah sempurna kepada Nabi Besar Muhammad saw.,
yang diperlihatkan Allah Swt. melalui
sebuah gunung -- yang kemudian hancur-lebur karena “tidak sanggup
memikulnya” (QS.33:73) – maka Nabi Musa a.s. rebah pingsan
karena beliau tidak
mampu mengalami “goncangannya” yang sangat dahsyat.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 23 Maret
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar