بِسۡمِ اللّٰہِ
الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
220
Hakikat “Sidratul Muntaha” dan Hubungannya dengan Kesempurnaan Al-Quran
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai kesempurnaan
pribadi Nabi Besar Muhammad saw. dalam Surah An Najm ayat 1-8, وَ ہُوَ
بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی
-- “dan Dia mewahyukan
Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah,
berada di ufuk tertinggi,” yakni Nabi
Besar Muhammad saw. telah
mencapai batas tertinggi dalam mi’raj atau kenaikan ruhani beliau saw.,
ketika Allah Swt. menampakkan “Wujud-Nya”
(Tajalli Ilahiyyah) kepada beliau saw. dengan kebenaran dan keagungan
yang paling sempurna, yang mungkin dapat disaksikan
oleh manusia.
Atau, ayat ini dapat berarti
bahwa cahaya Islam ditempatkan pada
suatu tempat (‘ufuq) yang amat tinggi dan dari tempat itu dapat menyinari seluruh dunia. Kata pengganti huwa
dalam ayat وَ ہُوَ بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی --
“dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah, berada
di ufuk tertinggi,” dapat menunjuk kepada Allah Swt. dan kepada Nabi
Besar Muhammad saw... Lihat juga ayat 10.
‘Ufuq dalam bahasa Indonesia artinya “cakrawala” atau “garis pertemuan langit dan bumi”,
yang dalam segi ruhani mengisyaratkan
kepada batas tertinggi berbagai kemampuan manusia yang dianugerahkan
Allah Swt. guna menjangkau “langit ruhani”
atau “alam Ketuhanan”.
Kedekatan Nabi Besar Muhammad Saw. dengan
Allah Swt. Bagaikan “Seutas Tali dari Dua
Busur”
Sehubungan dengan makna ‘ufuq tersebut
dalam peristiwa mi’raj Nabi Besar Muhammad saw. digambarkan bahwa Nabi Adam
a.s. berada pada tingkatan langit
yang pertama, lalu Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. dan Nabi Yahya a.s.
pada tingkatan langit kedua, kemudian
Nabi Musa a.s. pada tingkatan langit
kelima, dan Nabi Ibrahim a.s. pada tingkatan langit keenam -- dalam
riwayat lain pada tingkatan langit
ketujuh -- sedangkan Nabi Besar
Muhammad saw. diceritakan terus “naik”(mi’raj)
ke tingkatan-tingkatan selanjutnya
yang lebih tinggi lagi, yang bahkan
diceritakan malaikat Jibril a.s. pun tidak mampu lagi mendampingi beliau saw., dengan alasan bahwa jika ia memaksakan diri naik
(mi’raj) ke tingkatan “langit Ketuhanan” yang lebih tinggi lagi bersama dengan Nabi Besar Muhammad saw.
maka seluruh “sayapnya” (QS.35:2)
akan “terbakar” oleh Cahaya
Tajalliyat Ilahi yang tidak sanggup
dihadapinya.
Makna “terbakarnya sayap”
Malaikat Jibril a.s. tersebut telah diterangkan
sehubungan dengan makna “pingsannya”
Nabi Musa a.s. ketika Allah Swt. bertajalli
(menampakkan keagungan-Nya) ke atas gunung
dalam pengalaman ruhani Nabi Musa
a.s. (QS.7:144).
Selanjutnya Allah Swt. menerangkan mengenai ketinggian mi’raj (kenaikan ruhani)
Nabi Besar Muhammad saw. – setelah Malaikat Jibril a.s. tidak sanggup lagi mendampingi beliau saw. dalam mi’raj
tersebut – firman-Nya:
ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾ فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی ۚ﴿﴾ فَاَوۡحٰۤی
اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ اَوۡحٰی ﴿ؕ﴾ مَا
کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا رَاٰی ﴿﴾ اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً
اُخۡرٰی
﴿ۙ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾
عِنۡدَہَا جَنَّۃُ الۡمَاۡوٰی ﴿ؕ﴾
اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی ﴿ۙ﴾ مَا
زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی ﴿﴾ لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ
الۡکُبۡرٰی ﴿﴾
Kemudian ia, Rasulullah, mendekati
Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya,
maka jadilah ia, seakan-akan, seutas tali dari dua
buah busur, atau lebih
dekat lagi. Lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang
telah Dia wahyukan. مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا
رَاٰی
-- Hati Rasulullah sekali-kali tidak berdusta apa yang dia lihat. Maka apakah
kamu membantahnya mengenai apa yang
telah dia lihat? وَ لَقَدۡ رَاٰہُ
نَزۡلَۃً اُخۡرٰی -- dan sungguh
dia benar-benar melihat-Nya kedua
kali, عِنۡدَ
سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی -- dekat pohon
Sidrah tertinggi, عِنۡدَہَا جَنَّۃُ الۡمَاۡوٰی -- yang di dekatnya ada surga tempat tinggal. اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی -- ketika pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu
yang menyelubungi. مَا زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی -- penglihatannya sekali-kali tidak menyimpang dan tidak
pula melantur. لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ الۡکُبۡرٰی
-- sungguh ia benar-benar melihat Tanda paling besar dari Tanda-tanda Tuhan-Nya. (An-Najm
[53]:9-19).
Makna “Seutas Tali Dua Buah Busur”
Makna ayat ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰی -- “Kemudian ia, Rasulullah, mendekati Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya,” ungkapan dalla al-dalwa berarti: ia menurunkan
ember ke dalam perigi, ia menarik ember ke atas atau keluar dari perigi, Tadalla
berarti: ia atau sesuatu itu merendah atau menurun; ia menghampiri atau
mendekati atau kian dekat (Lexicon Lane
dan Lisan-al-‘Arab).
Ayat ini berarti bahwa Nabi
Besar Muhammad saw. mendekati Allah Swt. dan Allah Swt. pun turun
mendekat kepada beliau. Ayat itu
dapat juga berarti bahwa Nabi Besar
Muhammad saw. mencapai kedekatan yang sedekat-dekatnya
kepada Allah Swt., dan setelah minum dengan sepuas-puasnya di sumber mata air ilmu-keruhanian Ilahi,
beliau saw. turun kembali dan memberikan ilmu
kepada segenap umat manusia.
Selanjutnya Allah Swt.
berfirman فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی --” maka jadilah ia,
seakan-akan, seutas tali dari
dua buah busur, atau lebih dekat lagi.” Kata qāb berarti:
(1) bagian busur antara bagian yang dipegang oleh
tangan dan ujungnya yang dilengkungkan;
(2) dari satu ujung busur ke ujung busur yang lain;
(3) ukuran atau ruang.
Orang Arab berkata bainahumā qāba qausaini, yakni di antara mereka
berdua adalah seukuran busur, yang
berarti bahwa perhubungan di antara
mereka sangat akrab.
Peribahasa Arab yang
mengatakan ramaunā ‘an qausin wāhidin, yakni “mereka
memanah kami dari satu busur”, yaitu
bahwa “mereka seia-sekata melawan
kami”. Oleh karena itu kata tersebut menyatakan kesepakatan sepenuhnya (Lexicon
Lane, Lisan-al ‘Arab
, dan Zamakhsyari).
Apa pun kandungan arti
kata qāb itu, ungkapan qāba qausaini menyatakan perhubungan yang sangat dekat antara dua orang. Ayat ini bermaksud bahwa Nabi Besar
Muhammad saw. terus naik (mi’raj) menaiki jenjang-jenjang ketinggian mikraj dan menghampiri
Allsh Swt. – yang juga bergerak turun “mendekati” beliau saw. -- sehingga jarak antara keduanya hilang
sirna atau fāna dan Nabi Besar Muhammad saw. seolah-olah
menjadi “seutas tali dari dua busur”.
Peribahasa ini
mengingatkan kita kepada suatu kebiasaan orang-orang Arab kuno. Menurut
kebiasaan itu, bila dua orang mengikat
janji persahabatan yang kokoh kuat mereka biasa menyatu-padukan busur-busur mereka dengan cara demikian, sehingga busur-busur itu nampak seperti satu dan kemudian mereka melepaskan anak panah dari busur yang telah dipadukan itu, dengan demikian mereka menyatakan
bahwa mereka itu seakan-akan telah
menjadi satu wujud, dan bahwa suatu serangan terhadap yang seorang akan
berarti serangan terhadap yang
lainnya juga.
Bila kata tadalla dianggap
mengenai Allah Swt. maka ayat ini akan berarti bahwa Nabi Besar Muhammad saw. naik (mi’raj) menuju Allah Swt. dan Allah Swt. turun kepada beliau
saw., sehingga kedua-duanya
seolah-olah telah menyatu menjadi “satu wujud”, yang kemudian telah disalah-tafsirkan menjadi faham Wihdatul wujud (Kesatuan wujud), pdahal yang benar adalah “Wihdatusy- Syuhud” (Kesatuan kesaksian)
atau “Kesatuan dalam Sifat-sifat”,
sebab mustahil wujud makhluk
(manusia) dapat bersatu dengan
Dzat (Wujud) Allah Swt. dalam makna
yang sebenarnya, melainkan dalam makna
kiasan.
Ungkapan ayat فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی --” maka jadilah ia,
seakan-akan, seutas tali dari
dua buah busur, atau lebih dekat lagi” tersebut mengandung pula arti lain yang
sangat indah dan halus, yaitu bahwa sementara di satu pihak Nabi Besar Muhammad saw. menjadi sama sekali fāna
(sirna) dalam Sifat-sifat Tuhan serta Pencipta-nya,
sehingga beliau saw. seakan-akan menjadi bayangan Allah Swt. Sendiri, inilah jenis fāna (kesirnaan) Nabi Besar Muhammad saw. yang pertama dalam
hal HaququlLāh.
Ada pun jenis fāna
(kesirnaan) Nabi Besar Muhammad saw. yang
kedua adalah setelah “bertemu”
dan “bersatu” dengan Allah Swt. kemudian beliau saw. turun kembali kepada umat manusia sebagai rahmat
bagi seluruh alam (QS.21:108) dan menjadi begitu penuh cinta dan dengan rasa kasih
serta merasa prihatin akan mereka (QS.6:36;
QS.9:6 & 128; QS.18:7; QS.26:4-5) melalui pelaksanaan haququl- ‘ibād, sehingga Sifat Ketuhanan dan sifat kemanusiaan
menjadi terpadu dalam diri beliau
saw., dan beliau saw. menjadi titik-pusat
tali kedua busur Ketuhanan dan kemanusiaan, yang diabadikan dalam bentuk “Dua Kalimah Syahadat”.
Kata-kata اَوۡ اَدۡنٰی
-- “atau lebih dekat
lagi,” mengandung arti bahwa perhubungan
antara Nabi Besar Muhammad saw. dengan
Allah Swt. menjadi kian dekat dan kian mesra lebih daripada yang dapat dibayangkan pikiran.
Peristiwa Mi’raj Berbeda Waktunya dengan Peristiwa Isra
Jadi ayat-ayat 8 sampai
18 Surah An-Najm menggambarkan mi’raj
Nabi Besar Muhammad saw. ketika beliau saw.
secara ruhani dibawa ke langit Ketuhanan dan dianugerahi pemandangan suatu penjelmaan ruhani Allah, dan secara ruhani beliau saw. naik sampai dekat sekali
kepada Khāliq-nya. Pada hakikatnya, mi’raj
merupakan dua pengalaman ruhani; yakni
(1) kenaikan ruhani Nabi Besar Muhammad saw. dan (2) turunnya tajalli (penampakan kebesaran)
Allah Swt. kepada beliau saw., itulah makna firman-Nya:
ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾ فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی ۚ﴿﴾ فَاَوۡحٰۤی اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ
اَوۡحٰی
﴿ؕ﴾ مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا
رَاٰی
﴿﴾ اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً
اُخۡرٰی
﴿ۙ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾
عِنۡدَہَا جَنَّۃُ الۡمَاۡوٰی ﴿ؕ﴾
اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی ﴿ۙ﴾ مَا
زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی ﴿﴾ لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ
الۡکُبۡرٰی ﴿﴾
Kemudian ia, Rasulullah, mendekati
Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya,
maka jadilah ia, seakan-akan, seutas tali dari dua
buah busur, atau lebih
dekat lagi. فَاَوۡحٰۤی
اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ اَوۡحٰی -- lalu Dia
mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan. مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا رَاٰی -- Hati Rasulullah sekali-kali tidak berdusta apa yang dia lihat. Maka apakah
kamu membantahnya mengenai apa yang
telah dia lihat? وَ لَقَدۡ رَاٰہُ
نَزۡلَۃً اُخۡرٰی -- dan sungguh
dia benar-benar melihat-Nya kedua
kali, عِنۡدَ
سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی -- dekat pohon
Sidrah tertinggi, عِنۡدَہَا جَنَّۃُ الۡمَاۡوٰی -- yang di dekatnya ada surga tempat tinggal. اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی -- ketika pohon
Sidrah diselubungi oleh sesuatu yang
menyelubungi. مَا زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی -- penglihatannya sekali-kali tidak menyimpang dan tidak
pula melantur. لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ الۡکُبۡرٰی
-- sungguh ia benar-benar melihat Tanda paling besar dari Tanda-tanda Tuhan-Nya. (An-Najm
[53]:9-19).
Dalam pikiran umumnya umat Islam, mi’raj telah
dicampurbaurkan dengan isra’ (perjalanan Nabi Besar Muhammad saw. pada waktu malam ke Yerusalem – QS.17:2),
sedangkan masing-masing berlainan dan terpisah waktu terjadinya. Isra terjadi pada tahun ke-11 atau ke-12 tahun
Nabawi (Zurqani), padahal Nabi
Besar Muhammad saw. telah
lebih dahulu mengalami mi’raj
pada tahun ke-5, tidak lama sesudah hijrah
pertama ke Abessinia 6 atau 7 tahun sebelum terjadi isra’.
Penelaahan saksama dan
teliti mengenai rincian kedua peristiwa itu, sebagaimana disebut-sebut di dalam
hadits juga mendukung pendapat ini.
Untuk keterangan lebih terinci mengenai kedua peristiwa mi;raj dan isra’ keduanya merupakan kejadian ruhani yang terpisah
dan berbeda satu sama lain sekitar 6 atau 7 tahun, lebih dulu peristiwa mi’raj (Surah An Najm) barulah terjadi peristiwa Isra (Surah Al-Isra
– Bani Israil).
Kesempurnaan Wahyu Al-Quran
Mā dalam
ayat فَاَوۡحٰۤی
اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ اَوۡحٰی -- “Lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan” kadang-kadang dipergunakan untuk menyatakan kehormatan, keheranan,
atau untuk memberikan tekanan arti (Aqrab-al-Mawarid).
Ayat ini mengandung arti bahwa Allah menurunkan wahyu Al-Quran kepada
hamba-Nya, dan alangkah bagus lagi hebatnya wahyu
itu!
Ayat مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا رَاٰی -- Hati Rasulullah sekali-kali tidak berdusta apa yang dia lihat” bahwa pada hakikatnya ialah apa yang telah dilihat oleh Nabi Besar Muhammad saw. dalam peristiwa mi’raj tersebut adalah
pengalaman hakiki, pengalaman itu kebenaran sejati dan bukan tipuan khayal beliau saw...
Makna ayat
وَ لَقَدۡ رَاٰہُ
نَزۡلَۃً اُخۡرٰی -- “dan
sungguh dia benar-benar melihat-Nya kedua kali” bahwa kasyaf
(pengalaman ruhani) Nabi Besar Muhammad
saw. itu suatu pengalaman ruhani berganda.
Makna ayat عِنۡدَ سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی -- dekat pohon
Sidrah tertinggi, yaitu
bahwa pada waktu mi’raj, Nabi
Besar Muhammad saw. telah mencapai martabat qurb Ilahi (kedekatan kepada
Allah) sangat tinggi, sehingga sungguh berada di luar jangkauan otak manusia untuk memahaminya;
atau ayat ini dapat berarti bahwa pada martabat itu terbentang di hadapan
beliau samudera luas tanpa tepi – samudera makrifat Ilahi, hakikat-hakikat serta kebenaran-kebenaran
abadi; sadir yang diambil dari akar kata yang sama berarti bahwa makrifat
Ilahi yang dilimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad saw. akan seperti halnya pohon Sidrah memberikan kesenangan dan naungan kepada para musafir
ruhani yang merasa kakinya letih dan payah.
Lebih-lebih karena daun pohon Sidrah memiliki khasiat mengawetkan mayat dari proses pembusukan, ayat ini dapat berarti bahwa ajaran
Islam (Al-Quran) yang diwahyukan
Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw. tidak hanya kebal (terpelihara) terhadap bahaya
kerusakan (QS.15:10), melainkan juga
baik sekali guna menolong dan memelihara umat
manusia terhadap kerusakan akhlak dan ruhani.
Kata-kata “yang menutupi” dalam ayat
اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی -- “ketika pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu
yang menyelubungi”, maknanya ialah penjelmaan Ilahi atau tajalliyyati
Ilahiyah yang paling sempurna, yang
mengenainya hanya Nabi Besar Muhammad
saw. sajalah yang mampu menerima dan mengamalkannya, sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya:
اِنَّا
عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ
اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ
کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾
لِّیُعَذِّبَ اللّٰہُ الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ وَ
الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا
رَّحِیۡمًا ﴿٪﴾
Sesungguhnya Kami
telah menawarkan amanat syariat
kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya
enggan memikulnya dan mereka takut
terhadapnya, akan sedangkan insan
(manusia) memikulnya, اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا
-- sesungguhnya ia sanggup
berbuat zalim dan abai terhadap dirinya. Supaya Allah akan menghukum orang-orang munafik lelaki dan orang-orang munafik perempuan, dan
orang-orang musyrik lelaki
dan orang-orang musyrik perempuan, dan Allah senantiasa kembali dengan kasih sayang kepada orang-orang lelaki dan perempuan-perempuan yang beriman, dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Ahzāb [33]:73-74).
Mengenai
firman Allah Swt. ini telah dijelaskan dalam Bab sebelumnya mengenai makna zhalim
dan jahul berkenaan dengan Insan Kamil (manusia sempurna) yakni Nabi Besar Muhammad saw. dan
hubungannya dengan makna “pingsannya” Nabi Musa a.s. dalam QS.7:144.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 21 Maret
2014
ALLAH SWT TIDAK ADA MENETAPKAN KIBLAT PERTAMA BUAT UMAT MUSLIM:
BalasHapusMASJID AQSA, YERUSALAM, PALESTINA BUKAN KIBLAT PERTAMA DAN BUKAN PULA MASJIDIL AQSA (QS. 17:1)
" .... Dan KAMI TIDAK MENETAPKAN KIBLAT YANG MENJADI KIBLATMU (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. [SQS. Al-Baqarah, 2:143]
1. Apa dasarnya Bait Suci (II) di Yerusalam, Palestina bisa menjelma jadi Masjid Aqsa padahal bait itu sudah hancur sejak thn 70 M.
2. Dalam Al Quran tidak ada sinyal bahwa Masjid Aqsa yang dibangun oleh Umar bin Khatab (637-638 M) adalah kiblat pertama umat Muslim (QS. 2:143)
3. Tidak ada kewenangan bagi Khalifah Umar bin Khatab untuk menjadikan areal bukit BAIT sebagai daerah suci seperti 'jadi' anggapan bagi umat Yahudi.
Dengan shalat di Masjid Al Aqsha, dikenal sebagai Bukit Bait oleh umat Yahudi, Umar dipandang telah menyucikan kembali tempat tersebut setelah sebelumnya dijadikan tempat pembuangan sampah oleh umat Kristen. *)
Dengan uraian di atas maka Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukan ziarah atau berkunjung ke kota Yerusalam, Palestina kemudian ke Masjid Aqsa karena memang belum ada karena memang baru dibangun oleh Khalifah Umar bin Khatab setelah nabi wafat.
Dengan demikian bahwa Masjid Aqsa di Yerusalam, Palestina ini bukanlah yang dimaksud sebagai Masjidil Aqsa yang termuat dalam Al Quran, QS. 17:1.
https://minanews.net/begitu-berharganya-al-aqsa-bagi-umat-islam/
*) https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Umar_(Yerusalem)
BalasHapusMELIHAT DAN BERJUMPA MALAIKAT KETIKA MENERIMA WAHYU DAN ISRA' KE MASJIDIL AQSA
Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi.
maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).
Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan
Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.
Maka apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya?
Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,
(yaitu) di Sidratil Muntaha.
Di dekatnya ada surga tempat tinggal,
Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
Penglihatannya (muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.
(SQS. An Najm, Bintang, 53:8-18)
Dalam Shahih Muslim juga terdapat riwayat yang menyebutkan tentang sidratul muntaha yang berbunyi:
ثُمَّ انْطَلَقَ بِي جِبْرِيلُ حَتَّى نَأْتِيَ سِدْرَةَ الْمُنْتَهَى فَغَشِيَهَا أَلْوَانٌ لَا أَدْرِي مَا هِيَ
Artinya: ‘Kemudian Jibril beranjak pergi bersamaku hingga kami mendatangi Sidrah al-Muntaha, lalu berbagai warna menutupinya hingga aku tidak mengetahui apakah hakikatnya.’ (HR: Muslim, no.163).
Pada akhirnya sidratul muntaha adalah salah satu esensi alam ciptaan Allah Swt yang wajib diimani dan telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Akan tetapi sifat dan keadaan yang rinci bagaimana wujud sidratul muntaha itu termasuk perkara ghaib yang tidak dapat kita ketahui. Kita cukup menerimanya sejauh yang telah disebutkan dalam hadis-hadis Rasulullah Saw.