بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab
211
Ciri “Orang-orang
Miskin yang “Mahrum” & Kisah
Dua Orang Perempuan dengan Anjing dan
Kucing yang Kehausan
dan Kelaparan
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai makna kata faqara dalam ayat اَلشَّیۡطٰنُ یَعِدُکُمُ الۡفَقۡرَ وَ
یَاۡمُرُکُمۡ بِالۡفَحۡشَآءِ -- “Syaitan menjanjikan yakni menakut-nakuti kamu dengan kefaqiran dan menyuruh
kamu berbuat kekejian” (QS.2:268) berarti:
ia membuat lubang ke dalam mutiara; faqura berarti, ia menjadi miskin
dan kekurangan dan faqira berarti, ia mengidap penyakit tulang punggung.
Jadi faqr berarti kemiskinan; kekurangan atau keperluan yang sangat
memberatkan kehidupan si miskin; kesusahan atau kecemasan atau kegelisahan
pikir (Lexicon Lane).
Padahal kenyataan membuktikan
tidak pernah ada orang-orang yang membelanjakan hartanya dan jiwanya di
jalan Allah yang pernah disia-siakan oleh Allah Swt., sebagaimana
pernyataan kalimat selanjutnya وَ اللّٰہُ یَعِدُکُمۡ مَّغۡفِرَۃً
مِّنۡہُ وَ فَضۡلًا ؕ وَ اللّٰہُ وَاسِعٌ
عَلِیۡمٌ -- “sedangkan Allah menjanjikan kepada kamu ampunan dan karunia dari-Nya. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya, Maha Mengetahui,” firman-Nya:
ٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡفِقُوۡا مِنۡ طَیِّبٰتِ مَا کَسَبۡتُمۡ وَ مِمَّاۤ
اَخۡرَجۡنَا لَکُمۡ مِّنَ الۡاَرۡضِ ۪ وَ لَا تَیَمَّمُوا الۡخَبِیۡثَ مِنۡہُ تُنۡفِقُوۡنَ وَ لَسۡتُمۡ
بِاٰخِذِیۡہِ اِلَّاۤ اَنۡ تُغۡمِضُوۡا فِیۡہِ ؕ وَ اعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ غَنِیٌّ حَمِیۡدٌ ﴿﴾
اَلشَّیۡطٰنُ یَعِدُکُمُ الۡفَقۡرَ وَ یَاۡمُرُکُمۡ بِالۡفَحۡشَآءِ ۚ وَ اللّٰہُ
یَعِدُکُمۡ مَّغۡفِرَۃً مِّنۡہُ وَ
فَضۡلًا ؕ وَ اللّٰہُ وَاسِعٌ عَلِیۡمٌ ﴿﴾ۖۙ
Hai
orang-orang yang beriman, belanjakanlah
barang-barang baik yang kamu usahakan dan
juga apa pun yang Kami keluarkan dari bumi bagi kamu, dan janganlah
kamu memilih darinya yang buruk-buruk
lalu kamu membelanjakan
di jalan Allah, padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya kecuali sambil
memi-cingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah Maha Kaya, Maha Terpuji. Syaitan menjanjikan yakni menakut-nakuti kamu dengan kefaqiran dan menyuruh
kamu berbuat kekejian, sedangkan Allah
menjanjikan kepada kamu ampunan dan karunia dari-Nya. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya, Maha Mengetahui. (Al-Baqarah [2]:268-269).
Sabda Nabi Besar
Muhammad Saw.: Kāda al-faqru an yakūna kufran (Nyaris Kefaqiran Menjadikan Kekufuran)
Dengan demikian dalam ayat 269 Allah Swt. melenyapkan
prarasa takut yang dibisikkan syaitan
bahwa membelanjakan harta dengan
sukarela di jalan Allah dapat menjadikan seseorang jatuh miskin; sebaliknya ayat itu menerangkan dengan tegas bahwa bila orang-orang kaya tidak membelanjakan
dengan sukarela dalam urusan yang
baik akibatnya ialah terjadinya faqr (kefakiran/kemiskinan) nasional, artinya negeri
akan menderita dalam bidang ekonomi dan akan mengalami kemerosotan akhlak.
Mengapa demikian? Sebab jika bila keperluan ekonomi anggota-anggota
masyarakat yang kurang beruntung tidak terpenuhi secara layak, mereka akan cenderung menempuh fahsya’
(cara yang buruk dan bertentangan dengan akhlak baik) untuk mencari nafkah mereka, sebagaimana sabda
Nabi Besar Muhammad saw: kaada al-faqru an
yakuuna kufran
(nyaris kefaqiran menjadikan kekufuran).
Pembelanjaan harta di jalan Allah
hendaknya dilakukan sesuai dengan situasi
dan kondisi yang tepat, yaitu dapat dilakukan
secara terang-terangan atau dengan
cara sembunyi-sembunyi, sebab yang
disebut “amal shaleh” adalah suatu tindakan yang jika dilakukan akan
memberikan dampak positif, baik
kepada pelaku kebajikan mau pun kepada pihak
yang jadi obyek perbuatan baik (amal
shaleh) tersebut, firman-Nya:
یُّؤۡتِی الۡحِکۡمَۃَ مَنۡ یَّشَآءُ ۚ وَ مَنۡ یُّؤۡتَ الۡحِکۡمَۃَ فَقَدۡ اُوۡتِیَ خَیۡرًا کَثِیۡرًا ؕ وَ مَا یَذَّکَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾ وَ مَاۤ اَنۡفَقۡتُمۡ مِّنۡ نَّفَقَۃٍ اَوۡ
نَذَرۡتُمۡ مِّنۡ نَّذۡرٍ
فَاِنَّ اللّٰہَ
یَعۡلَمُہٗ ؕ وَ مَا
لِلظّٰلِمِیۡنَ
مِنۡ اَنۡصَارٍ ﴿﴾ اِنۡ تُبۡدُوا الصَّدَقٰتِ فَنِعِمَّا ہِیَ ۚ وَ اِنۡ تُخۡفُوۡہَا وَ
تُؤۡتُوۡہَا
الۡفُقَرَآءَ فَہُوَ خَیۡرٌ لَّکُمۡ ؕ وَ یُکَفِّرُ عَنۡکُمۡ مِّنۡ سَیِّاٰتِکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ
بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِیۡرٌ ﴿﴾
Dia memberi hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki dan barangsiapa diberi hikmah maka sungguh
ia telah diberi berlimpah-limpah kebaikan, dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. Dan belanja (infaq) apa pun yang kamu
belanjakan atau nazar apa pun yang
kamu nazarkan di jalan Allah
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya,
dan bagi orang-orang zalim
sekali-kali tidak ada seorang penolong
pun. Jika kamu memberikan sedekah-sedekah
secara terang-terangan maka hal itu baik, tetapi jika kamu menyembunyikannya dan kamu memberikannya kepada orang-orang fakir maka hal itu lebih baik bagi kamu, dan Dia
akan menghapuskan dari kamu be-berapa
kesalahan kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Al-Baqarah [2]:2270-272).
Ayat
ini berarti bahwa perintah mengenai pembelanjaan kekayaan untuk bersedekah yang merupakan rahasia kemajuan dan kesejahteraan nasional itu berdasar atas
hikmah (kebijakan) yang dalam
Al-Quran disebut “amal shaleh” yang berhubungan
dengan pelaksanaan haququl ‘ibād.
Ada
sebuah hadits yang menerangkan berkenaan dengan nazhar, bahwa Nabi Besar
Muhammad saw. tidak
menyetujui sumpah yang bersyarat guna pelaksanaan amal kebajikan yang tidak diwajibkan,
tetapi jika seseorang berbuat demikian maka menepati sumpah itu menjadi wajib
baginya.
Jangan Hanya Menunggu
yang Datang Meminta, Tetapi Harus Aktif
Mencari yang Membutuhkan Pertolongan
Dalam
firman-Nya tersebut Allah Swt. menyatakan
bahwa sangat bijaksana syariat
Islam menganjurkan kedua bentuk
pemberian sedekah, baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam (dirahasiakan). Dengan memberi
sedekah secara terang-terangan, orang
memperlihatkan contoh baik kepada
orang-orang lain yang mungkin akan menirunya.
Pemberian sedekah secara diam-diam
itu dalam beberapa keadaan lebih baik,
karena dengan demikian seseorang mencegah
diri dari membeberkan kemiskinan saudara-saudaranya
yang tidak begitu beruntung, dan pula dalam memberikan secara rahasia itu sedikit sekali peluang untuk
berbangga.
Hal lainnya yang dikemukakan firman
Allah Swt. tersebut adalah bahwa dalam pembelanjaan harta di jalan Allah
tersebut hendaknya jangan hanya menunggu
kedatangan orang-orang yang membutuhkan
bantuan, tetapi harus secara aktif
mencari orang-orang yang layak diberi
bantuan, sebab dalam Surah lain dikemukakan bahwa di antara “orang-orang miskin” tersebut yang
termasuk dalam golongan “sā-ilin” (yang
berani meminta) dan ada pula yang termasuk golongan “mahrum” (yang tidak dapat atau tidak berani meminta), firman-Nya:
وَ فِیۡۤ اَمۡوَالِہِمۡ حَقٌّ لِّلسَّآئِلِ وَ الۡمَحۡرُوۡمِ﴿﴾
Dan dalam harta benda mereka ada hak bagi mereka yang meminta dan bagi yang
mahrum (mereka yang tidak meminta). (Adz-Dzāriyāt [51]:20)
Firman-Nya lagi:
وَ الَّذِیۡنَ فِیۡۤ اَمۡوَالِہِمۡ
حَقٌّ مَّعۡلُوۡمٌ ﴿۪ۙ﴾ لِّلسَّآئِلِ وَ الۡمَحۡرُوۡمِ﴿﴾
Dan orang-orang yang dalam
harta mereka ada bagian yang ditentukan untuk orang miskin, untuk
yang meminta dan mahrum (yang
tidak meminta). (Al-Ma’ārij
[70]:25-26).
Menurut Allah Swt. dalam ajaran Islam (Al-Quran), baik orang-orang yang dapat menyatakan keperluan mereka atau pun yang tidak
dapat, semuanya mempunyai bagian
sebagai hak dalam harta orang Islam yang kaya. Dengan demikian harta orang Islam merupakan amanat, yang orang-orang miskin pun mempunyai hak menikmati manfaatnya. Karena itu
bila ia memenuhi keperluan saudaranya yang miskin, pada hakikatnya ia tidak berbuat kebajikan kepada mereka
melainkan hanyalah menunaikan kewajiban
membayar utang kepada mereka dan mengembalikan
lagi apa yang memang telah menjadi hak
mereka.
Kata al-mahrūm, dalam pengertian imbuhannya bukan hanya
mencakup orang-orang miskin -- yang karena rasa harga dirinya atau rasa
malunya -- tidak mau meminta
sedekah (QS.2:274), akan tetapi juga binatang-binatang tunawicara (bisu). Kata itu telah dianggap di
sini mempunyai arti, seseorang yang terhalang dari mencari nafkah oleh kelemahan jasmani (sakit-sakit) atau
beberapa sebab lain yang serupa.
Dalam dua hadits
yang berbeda, Nabi Besar Muhammad saw. menceritakan tentang dua orang perempuan yang satu masuk surga hanya karena ia memberi minum
anjing yang sangat kehausan di pinggir sebuah sumur di gurun padahal ia
adalah seorang pelacur, sedangkan satu lagi
adalah perempuan baik-baik tetapi
masuk neraka
gara-gara mengerangkeng seekor kucing sehingga mati
kelaparan
karena tidak bisa mencari makan:
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa
Rasulullah saw. bersabda: “Ketika ada seekor anjing yang hampir saja
mati karena kehausan berputar-putar mengitari sumur, tiba-tiba ada seorang
pelacur dari Bani Israil yang melihat anjing tersebut, lalu dia melepas
sepatunya dan mengambilkan air untuk anjing itu, kemudian ia memberinya minum
sehingga ia diampuni karena perbuatannya itu. (Bukhari & Muslim).
Berkenaan
dengan kucing yang mati kelaparan:
Abdullah bin Umar r.a
yang meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Seorang wanita
disiksa karena seekor kucing yang dikurungnya hingga kucing tersebut mati dan wanita itu pun
masuk neraka, wanita tersebut tidak memberinya makan dan minum saat dia mengurungnya dan tidak membiarkannya untuk memakan buruannya” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Makna Kata “Khair”
Berkenaan Pembelanjaan Harta & Ciri
Orang Miskin yang “Mahrum”
Sehubungan dengan pentingnya orang-orang Muslim yang kaya membalanjakan harta kekayaan di jalan Allah Swt. selanjutnya Dia berfirman:
لَیۡسَ عَلَیۡکَ ہُدٰىہُمۡ وَ لٰکِنَّ
اللّٰہَ یَہۡدِیۡ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ مَا تُنۡفِقُوۡا مِنۡ خَیۡرٍ فَلِاَنۡفُسِکُمۡ ؕ وَ مَا تُنۡفِقُوۡنَ اِلَّا ابۡتِغَآءَ وَجۡہِ اللّٰہِ ؕ وَ مَا تُنۡفِقُوۡا مِنۡ خَیۡرٍ یُّوَفَّ اِلَیۡکُمۡ وَ اَنۡتُمۡ لَا تُظۡلَمُوۡنَ﴿﴾
Sekali-kali bukanlah tanggungjawab engkau memberi petunjuk
kepada mereka tetapi Allah-lah yang
memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan harta apa pun yang kamu
belanjakan maka manfaatnya adalah
untuk diri kamu, dan tidaklah kamu
membelanjakannya melainkan untuk mencari
keridhaan Allah. Dan harta
apa pun yang kamu belanjakan niscaya akan
dikembalikan kepada kamu dengan penuh dan kamu tidak akan dizalimi. (Al-Baqarah [2]:273).
Penggunaan kata khair dalam ayat
وَ مَا تُنۡفِقُوۡا مِنۡ خَیۡرٍ فَلِاَنۡفُسِکُمۡ -- “Dan harta apa
pun yang kamu belanjakan maka manfaatnya adalah untuk diri kamu” yang berarti pula: sesuatu atau
segala yang baik (Lexicon Lane),
meluaskan ruang lingkup infak yang tidak membatasinya pada belanja uang saja. Kata itu meliputi pula perbuatan baik dalam setiap bentuk atau cara.
Kata-kata وَ مَا تُنۡفِقُوۡنَ اِلَّا ابۡتِغَآءَ وَجۡہِ اللّٰہِ -- “dan tidaklah
kamu membelanjakannya melainkan untuk mencari
keridhaan Allah” ini merupakan bukti
besar akan kebaikan fitriah para
sahabat Nabi Besar Muhammad saw.. Hal
itu berarti bahwa mereka tidak memerlukan
perintah untuk membelanjakan kekayaan
di jalan Allah. Mereka itu sebelumnya pun senantiasa berbuat demikian karena
dorongan hasrat naluri untuk mendapat
ridha Ilahi.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai orang-orang miskin yang -- karena memiliki “rasa malu” yang tinggi
-- mereka tidak berani mengemukakan
kebutuhan hidupnya:
لِلۡفُقَرَآءِ الَّذِیۡنَ اُحۡصِرُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ
لَا یَسۡتَطِیۡعُوۡنَ ضَرۡبًا
فِی الۡاَرۡضِ ۫ یَحۡسَبُہُمُ الۡجَاہِلُ اَغۡنِیَآءَ مِنَ
التَّعَفُّفِ ۚ تَعۡرِفُہُمۡ بِسِیۡمٰہُمۡ ۚ لَا یَسۡـَٔلُوۡنَ النَّاسَ
اِلۡحَافًا ؕ وَ مَا تُنۡفِقُوۡا مِنۡ خَیۡرٍ فَاِنَّ اللّٰہَ
بِہٖ عَلِیۡمٌ ﴿﴾٪ اَلَّذِیۡنَ یُنۡفِقُوۡنَ اَمۡوَالَہُمۡ بِالَّیۡلِ وَ
النَّہَارِ سِرًّا
وَّ عَلَانِیَۃً فَلَہُمۡ اَجۡرُہُمۡ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ ۚ وَ لَا خَوۡفٌ
عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾ؔ
Infak
tersebut bagi orang-orang fakir yang terikat di jalan Allah, mereka tidak mampu bergerak bebas di muka bumi.
Orang yang tidak berpengetahuan
menganggap mereka itu kaya, karena
mereka menghindarkan diri dari
meminta-minta. Engkau dapat
mengenali mereka dari wajahnya, mereka tidak suka me-minta kepada manusia dengan mendesak-desak. Dan
harta apa pun yang kamu
belanjakan maka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahuinya. Orang-orang
yang membelanjakan harta mereka pada
malam dan siang dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, bagi mereka ada ganjarannya di sisi Rabb-nya (Tuhan-nya), dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah
[2]:274—275).
Jadi, menurut firman-Nya tersebut
terdapat segolongan “orang-orang miskin” tetapi karena mempertahankan kehormatan dirinya dari “meminta-minta” sehingga orang-orang yang jahil
(tuna pengetahuan) menyangka mereka itu sebagai orang-orang yang keadaan ekonominya mencukupi, padahal tidak demikian: لَا یَسۡـَٔلُوۡنَ النَّاسَ اِلۡحَافًا -- “Engkau
dapat mengenali mereka dari wajahnya,
mereka tidak suka meminta kepada
manusia dengan mendesak-desak.”
Keadaan kadang-kadang memaksa orang untuk diam
terkurung dalam satu tempat, mereka tidak
mampu mencari rezeki. Orang-orang demikian khususnya layak mendapatkan pertolongan dari anggota-anggota
masyarakat yang lebih baik keadaannya. Ada dua macam manusia terutama termasuk dalam
golongan ini:
(a) Mereka yang dengan sukarela berkhidmat kepada seorang hamba pilihan Allah (Rasul Allah) dan
tak pernah pisah dari pergaulannya
agar mendapat faedah ruhani dari pergaulan itu. Di zaman nabi Besar Muhammad
saw. golongan ini disebut ahli shufah,
salah satu di antaranya adalah Abu Hurairah r.a..
(b) Mereka yang karena terkurung
dalam lingkungan yang tidak bersahabat, menjadi mahrum
(luput) dari sarana keperluan hidup.
Sima
dalam ayat تَعۡرِفُہُمۡ بِسِیۡمٰہُمۡ -- “Engkau
dapat mengenali mereka dari wajahnya”, berarti tanda
atau ciri yang membedakan, atau raut wajah yang menjadi tanda atau ciri yang memperbedakan (Aqrab-al-Mawarid).
Ayat 274
ini secara sepintas lalu memuji
orang-orang yang memelihara
rasa-harga-diri dengan mencegah diri dari minta-minta dan mengandung arti ketidakpantasan
kebiasaan meminta-minta, seperti
nampak dari kata-kata ta’affuf (mencegah diri dari hal-hal yang kurang
pantas atau haram) dan ilhaf (dengan mendesak-desak). Nabi Besar Muhammad saw. mencela kebiasaan meminta-minta.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 13 Maret
2014
tulisannya bagus sih. cuma kok backgroudnya hitam pakai font putih? bikin sakit mata mas. ga nyaman bacanya
BalasHapus