بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab
226
Tingkatan-tingkatan Nikmat Surgawi “Memandang Wajah”
Allah Swt. yang Tidak Berkesudahan
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam
akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai bagian lain buku Kisyti Nuh (Bahtera Nuh) dimana Mirza
Ghulam Ahmad a.s. lebih jauh menjelaskan tentang Kemahakuasaan Allah Swt.:
“Tuhan
adalah Tuhan yang amat setia, dan bagi mereka yang
tetap setia Dia menampakkan kejadian-kejadian ajaib. Dunia ingin menelan mereka, dan tiap lawan
mau mengganyang mereka, tetapi Dia Yang
menjadi Kawan mereka menyelamatkan mereka dari tiap tempat
kemusnahan, dan menganugerahi mereka kemenangan dalam tiap-tiap medan.
Alangkah bahagianya orang yang tidak
melepaskan tali silaturahim (perhubungan kasing-sayang) dengan
Tuhan semacam itu. Kepada-Nya
kita beriman. Kita telah mengenal Dia. Dia-lah
Tuhan bagi seluruh alam, dan Dia-lah
Yang telah menurunkan wahyu
kepadaku, dan Yang telah
memperlihatkan bagiku Tanda-tanda
perkasa, Yang telah
mengutusku sebagai Masih Mau’ud untuk zaman ini. Kecuali Dia tidak ada Tuhan lagi, tidak di langit tidak pula di bumi.
Barangsiapa yang tidak beriman kepada-Nya, jauhlah ia dari kebahagiaan dan ia
ada dalam cengkraman kemalangan. Kami
telah menerima wahyu dari Tuhan
kami laksana matahari berkilau-kilauan. Kami telah menyaksikan-Nya bahwa Dia-lah
Tuhan bagi alam
semesta, dan tidak ada Tuhan kecuali
Dia. Sungguh Perkasa lagi Berdiri Sendiri Tuhan Yang kami jumpai itu! Betapa hebatnya kekuasaan-kekuasaan yang dimiliki Tuhan
yang telah kami saksikan.
Sesungguhnya di hadapan Dia tiada
sesuatu yang mustahil, kecuali
apabila itu bertentangan dengan Kitab-Nya
dan janji-Nya.
Oleh karena itu apabila kamu berdoa, janganlah hendaknya kamu berbuat
seperti yang dilakukan orang-orang naturalis yang jahil, dan yang telah merancang suatu hukum kudrat alam menurut daya khayal mereka sendiri yang tidak mendapat pengesahan Kitab Ilahi. Mereka itu mardud (tertolak), doa-doa mereka sekali-kali tidak
akan terkabul. Mereka itu buta,
tidak melihat. Mereka itu mati, tidak hidup. Mereka mengemukakan di hadapan Tuhan suatu hukum yang mereka rancang
sendiri, dan mereka membatasi kudrat-kudrat-Nya yang tidak berhingga itu dan menganggap-Nya……, maka mereka
akan diperlakukan sesuai dengan keadaan
mereka sendiri.
Akan tetapi apabila kamu berdiri untuk
memanjatkan doa, maka
terlebih dulu kamu wajib meyakini bahwa Tuhan
kamu berkuasa atas tiap sesuatu, sesudah itu
barulah doa-doa kamu akan terkabul, dan kamu akan menyaksikan keajiban-keajaiban kudrat Ilahi
yang telah kami lihat. Dan kesaksian kami adalah berdasarkan
rukyat
(penglihatan) sendiri, dan bukan
berdasarkan dongeng-dongeng.
Bagaimanakah doa-doa orang semacam itu terkabul, dan juga
bagaimanakah ia akan mempunyai keberanian untuk memanjatkan doa pada waktu ia
dihadapkan kepada
kesulitan-kesulitan besar, kalau ia tidak percaya bahwa Tuhan
berkuasa atas tiap sesuatu? Sebab
hal itu bertentangan dengan hukum
kudrat yang dibuatnya
sendiri.
Tetapi, wahai orang-orang budiman! Hendaklah kamu jangan berbuat seperti itu! Tuhan kamu adalah Wujud Yang menggantungkan
bintang-bintang yang tak terhitung banyaknya di cakrawala tanpa
tiang sebatang pun, dan telah
menciptakan dunia dan langit dari serba tiada. Apakah kamu berprangsangka terhadap Dia bahwa Dia tidak akan berdaya untuk memenuhi
keperluan kamu?[1] Bahkan prasangka
kamu itu sendirilah yang akan merugikan diri kamu.
Dalam Wujud Tuhan kami terdapat keajaiban-keajaiban yang tak
terhingga banyaknya. Akan tetapi hanya
mereka yang menjadi kepunyaan Dia-lah – berkat ketulusan serta kesetiaan mereka -- dapat melihat keajaiban-keajaiban
itu. Dia tidak menampakkan keajaiban-keajaiban kepada orang
yang tidak mempercayai kekuasaan-Nya dan tidak setia kepada kesungguhan
hati terhadap-Nya.
Alangkah malangnya insan itu yang hingga kini belum
mengetahui juga bahwasanya ia mempunyai Satu Tuhan Yang berkuasa atas tiap sesuatu! Surga kita adalah Tuhan kita. Puncak kelezatan kita
terletak pada Tuhan kita, sebab kami telah melihat-Nya, dan segala kejuitaan
nampak pada Wujud-Nya. Harta
ini patut dimiliki, walaupun untuk memilikinya harus dengan jalan
mempertaruhkan jiwa. Permata
itu patut dibeli, sekalipun untuk memperolehnya harus dengan jalan meniadakan
segala wujud kita.
Wahai orang-orang
yang merugi! Bergegaslah lari menuju Sumber mata-air ini agar oleh mata-air itu dahaga kamu akan dilepaskan. Inilah Sumber
mata-air kehidupan yang bakal menyelamatkan
kamu sekalian. Apa gerangan yang harus kuperbuat, dan bagaimanakah harus
kusampaikan berita ini ke setiap kalbu
manusia? Dengan genderang bagaimana jenisnya
harus kuumumkan di pusat-pusat keramaian bahwa inilah Tuhan kamu, agar orang dapat mendengar?
Dengan obat apakah harus kuobati telinga orang-orang agar jadi terbuka untuk
mendengarnya?”
Wali Besar Perempuan Rabi’ah
al-Adawiyah
Pernyataan Al-Masih Mau’ud a.s. tentang hakikat surga yang hakiki yakni Allah Swt., beliau bersabda:
Alangkah malangnya insan
itu yang hingga kini belum mengetahui
juga bahwasanya ia mempunyai Satu Tuhan
Yang berkuasa atas tiap sesuatu! Surga
kita adalah Tuhan kita. Puncak
kelezatan kita terletak pada Tuhan kita, sebab kami telah melihat-Nya, dan
segala kejuitaan nampak pada Wujud-Nya. Harta
ini patut dimiliki, walaupun untuk memilikinya harus dengan jalan
mempertaruhkan jiwa. Permata
itu patut dibeli, sekalipun untuk memperolehnya harus dengan jalan meniadakan
segala wujud kita.
Ungkapan kalimat “Surga
kita adalah Tuhan kita. Puncak
kelezatan kita terletak pada Tuhan kita” Pendiri Jemaat Ahmadiyah tersebut sesuai
dengan ucapan Rabi’ah
al-‘Adawiyah, salah seorang sufi besar
perempuan, berikut ini berkenaan surga
dan neraka -- yang umumnya menjadi motivasi beribadah kepada Allah Swt. --
sehingga benar-benar merupakan Tauhid yang hakiki, tanpa diembel-embeli kedambaan akan surga
dengan segala gambaran kenikmatannya dan takut
akan siksaan dalam neraka
jahannam:
“Jika aku menyembah-Mu karena takut dari api
neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada
surga-Mu maka haramkanlah aku
darinya! Tetapi jika aku
menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat Wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu. ”
Ucapan kedua orang suci tersebut sesuai
dengan firman Allah Swt. berikut ini bahwa puncak kenikmatan surgawi adalah
ketika para penghuni surga mendapat perkenan Allah Swt. untuk memandang-Nya dan bercakap-cakap dengan-Nya,
firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ﴿٪﴾ وَیۡلٌ
لِّلۡمُطَفِّفِیۡنَ ۙ﴿ ﴾ الَّذِیۡنَ
اِذَا اکۡتَالُوۡا عَلَی النَّاسِ
یَسۡتَوۡفُوۡنَ ۫﴿ۖ﴾ وَ اِذَا
کَالُوۡہُمۡ اَوۡ وَّزَنُوۡہُمۡ یُخۡسِرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ اَلَا یَظُنُّ اُولٰٓئِکَ اَنَّہُمۡ مَّبۡعُوۡثُوۡنَ ۙ﴿﴾ لِیَوۡمٍ عَظِیۡمٍ
ۙ﴿﴾ یَّوۡمَ یَقُوۡمُ النَّاسُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ؕ﴿﴾
Aku baca
dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Celakalah
bagi orang-orang yang mengurangi
timbangan, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta penuh, tetapi apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain mereka mengurangi. Apakah
mereka tidak yakin bahwasanya mereka akan dibangkitkan, pada
suatu Hari yang besar? Yaitu hari ketika umat manusia
akan berdiri di hadapan Rabb (Tuhan)
seluruh alam. (Al-Muthaffifīn [83]:1-7).
Ada Hari
Hisab dalam kehidupan di akhirat, ketika manusia harus mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka
kepada Rabb (Tuhan) dan Majikan mereka, tetapi hari perhitungan datang atas suatu kaum di dunia ini juga, bilamana perbuatan-perbuatan jahat mereka melampaui batas-batas yang dapat dan
dengan demikian mereka menemui dua
pembalasan mereka.
Makna Sijjīn dan ‘Iliyyīn
Selanjutnya Allah berfirman:
کَلَّاۤ اِنَّ
کِتٰبَ الۡفُجَّارِ لَفِیۡ
سِجِّیۡنٍ ؕ﴿﴾ وَ مَاۤ
اَدۡرٰىکَ مَا سِجِّیۡنٌ ؕ﴿﴾ کِتٰبٌ مَّرۡقُوۡمٌ
ؕ﴿﴾ وَیۡلٌ یَّوۡمَئِذٍ لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ ﴿ۙ﴾ الَّذِیۡنَ
یُکَذِّبُوۡنَ بِیَوۡمِ الدِّیۡنِ ﴿ؕ﴾ وَ مَا یُکَذِّبُ
بِہٖۤ اِلَّا کُلُّ مُعۡتَدٍ اَثِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ اِذَا تُتۡلٰی عَلَیۡہِ اٰیٰتُنَا
قَالَ اَسَاطِیۡرُ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ؕ﴾
Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab para pendurhaka adalah di dalam sijjīn. Dan apakah
yang engkau ketahui apa sijjīn
itu? Yaitu
sebuah kitab tertulis. Celakalah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, yaitu
orang-orang yang mendustakan Hari
Pembalasan. Dan
sekali-kali tidak ada yang
mendustakannya kecuali setiap pelanggar
batas lagi sangat berdosa, apabila Tanda-tanda
Kami dibacakan kepadanya ia berkata:
“Inilah dongeng orang-orang dahulu!”
(Al-Muthaffifīn
[83]:8-14).
Sijjīn dianggap oleh sementara ahli tafsir
Al-Quran dengan keliru sebagai suatu kata bukan bahasa Arab, namun menurut
beberapa sumber terkemuka seperti Farra’, Zajjaj, Abu Ubaidah, dan Mubarrad,
kata itu memang bahasa Arab yang diambil dari kata sajana. Lisan menganggapnya
sama dengan sijn (penjara).
Sijjīn adalah buku registrasi di dalamnya tercatat segala perbuatan jahat yang dilakukan oleh para penjahat yang konon tersimpan di alam akhirat. Kata itu berarti pula sesuatu yang keras, hebat, dan dahsyat; berkesinambungan, lestari
atau kekal abadi (Lexicon Lane).
Kata sijjīn menunjukkan bahwa hukuman
bagi orang-orang kafir durjana itu
akan amat keras dan kekal. Atau ayat ini dapat berarti bahwa orang-orang durjana yang ditempatkan di
dalam suatu tempat hina lagi nista, dan keputusan itu tidak dapat
dibatalkan lagi.
Atau, sijjīn dan ‘illiyyīn
-- yang dikemukakan dalam ayat
selanjutnya -- itu mungkin dua
bagian yang dituturkan Al-Quran;
yang pertama membicarakan orang-orang
yang menolak Amanat Allah serta hukuman yang akan dijatuhkan kepada
mereka, sedang ‘illiyyīn membicarakan hamba-hamba Allah yang bertakwa
serta ganjaran-ganjaran yang akan
dianugerahkan kepada mereka. Jadi maksud ayat ini ialah bahwa keputusan yang tercantum di dalam kedua
bagian Al-Quran itu tidak dapat diubah
atau diganti.
Yang
dimaksud dengan dongeng orang-orang
terdahulu dalam ayat اِذَا
تُتۡلٰی عَلَیۡہِ اٰیٰتُنَا قَالَ اَسَاطِیۡرُ الۡاَوَّلِیۡنَ
-- “apabila Tanda-tanda Kami dibacakan kepadanya ia berkata: “Inilah dongeng orang-orang
dahulu!” maksudnya adalah Al-Quran yang di dalamnya memuat
kisah para rasul Allah, yang
bukan saja merupakan fakta sejarah
yang benar tetapi juga di dalam kisah-kisah
tersebut selain mengandung berbagai petunjuk
serta hikmah, juga merupakan nubuatan (kabar gaib) yang
akan kembali terjadi.
Menurut Allah Swt. dalam Al-Quran bahwa hanya “orang-orang yang disucikan-Nya” yakni
para wali (sahabat) Allah sajalah
yang dapat “menyentuh” kedalaman khazanah-khazanah ruhani Al-Quran (QS.56:76-80)
yang tidak terbatas tersebut (QS.18:110; QS.31:28), khususnya para rasul Allah (QS.3:180; QS.72:27-29).
Dosa “Menghitamkan” Hati
Dalam ayat-ayat
selanjutnya Allah Swt. mengemukakan penyebab kebutaan mata ruhani mereka
yang menganggap Al-Quran sebagai “dongeng
orang-orang dahulu” tersebut,
firman-Nya:
کَلَّا بَلۡ
ٜ رَانَ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ مَّا کَانُوۡا یَکۡسِبُوۡنَ ﴿﴾ کَلَّاۤ اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ یَوۡمَئِذٍ
لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ ﴿ؕ﴾ ثُمَّ
اِنَّہُمۡ لَصَالُوا
الۡجَحِیۡمِ﴿ؕ﴾ ثُمَّ یُقَالُ ہٰذَا الَّذِیۡ کُنۡتُمۡ بِہٖ تُکَذِّبُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Sekali-kali
tidak, bahkan apa
yang mereka usahakan telah menutupi hati mereka. Sekali-kali tidak, bahkan sesungguhnya
pada hari itu mereka benar-benar terhalang dari melihat Rabb
(Tuhan) mereka. Kemudian sesungguhnya mereka
pasti masuk ke dalam Jahannam, kemudian
dikatakan: “Inilah apa yang
senantiasa kamu dustakan.” (Al-Muthaffifīn [83]:15-18).
Sehubungan
makna kata رَانَ (rāna – menutupi/karat) dalam firman Allah Swt. tersebut dalam
hubungannya “terhalang melihat Allah
Swt.”, dalam hadist Jarir radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, bersabda:
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian
sebagaimana kalian melihat bulan
ini, tidak terhalangi dalam melihatnya.” (HR. Bukhari).
Juga hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata:
“Sesungguhnya para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah.
Apakah kami akan melihat Rabb kami pada
hari kiamat nanti?” Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam balik bertanya,”Apakah kalian akan
berdesak-desakan ketika melihat bulan
pada malam purnama?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah.” Beliau
bertanya lagi,”Apakah kalian juga akan berdesak-desakan ketika melihat matahari yang tanpa diliputi oleh
awan?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah.” Maka Beliau
bersabda,”Sesungguhnya begitu pula ketika kalian nanti melihat Rabb kalian”(HR. Bukhari).
Begitu juga hadits Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala
berfirman: “Apakah kalian menginginkan sesuatu sebagai tambahan? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan
wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan
menyelamatkan kami dari neraka?” Maka Allah
membuka hijab, dan penghuni surga
tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) Allah Ta’ala”.
(HR. Muslim).
Dalam Bab 223 sebelumnya telah dikemukakan hadit Nabi Besar Muhammad
saw. mengenai “hijab” Allah Swt. yang dikutip oleh Hujjatul Islam - Imam Ghazali dalam bukunya Misykatul-Anwar
(Pelita Cahaya-cahaya)
berkenaan ayat “Cahaya di atas cahaya” (QS.24:36) sehubungan
dengan makna “terbakarnya sayap malaikat
JIbril a.s.” atau pun “pingsannya”
Nabi Musa a.s. (QS.7:144):
“Allah Swt. memiliki 70.000 hijab (tirai penutup) cahaya dan kegelapan.
Seandainya Dia menyibakkannya niscaya cahaya-cahaya Wajah-Nya akan membakar
siapa saja yang memandangnya.
Dalam bahasa
Arab sebutan 7, 70, 700 dst mengisyaratkan kepada jumlah yang tak terbilang, dengan demikian penyebutan “70.000
hijab” secara kiasan mengisyaratkan
bahwa “Wajah” Allah Swt. memiliki lapisan-lapisan hijab yang tak terhingga
jumlahnya, dan setiap hijab
berikutnya lebih sempurna dalam segala seginya daripada hijab sebelumnya.
Dalam
Al-Quran Allah Swt. telah menegaskan bahwa
hal-hal gaib Allah Swt. atau rahasia-rahasia
gaib-Nya tidak dibukakan kepada siapa pun kecuali kepada Rasul-rasul Allah
(QS.3:180; QS.73:27-29), contohnya
adalah mengajarkan rahasia al-Asmā
(nama-nama) Allah Swt. kepada Adam sebagai Khalifah-Nya (QS.3:31-35).
Dua Tingkatan “Melihat
Wajah” Allah Swt. & Maka ‘Iliyyīn
Nikmat melihat
wajah Allah dianugerahkan kepada orang beriman melalui dua tingkat. Tingkat pertama ialah tingkat keimanan, ketika memperoleh keyakinan teguh kepada Sifat-sifat Allah walau pun Wujud Allah Swt. bagi mereka dalam keadaan gaib (QS.2:1-6;
QS.35:19; QS.36:12).
Tingkat kedua atau tingkat lebih tinggi berupa anugerah kenyataan mengenai Dzat Ilahi. Orang-orang berdosa disebabkan dosa-dosa mereka akan tetap luput dari makrifat Dzat Ilahi pada Hari
Pembalasan mereka tidak akan melihat Wajah
Allah Swt., firman-Nya:
وُجُوۡہٌ یَّوۡمَئِذٍ نَّاضِرَۃٌ ﴿ۙ﴾ اِلٰی رَبِّہَا نَاظِرَۃٌ ﴿ۚ﴾
Wajah-wajah pada hari itu
berseri-seri, kepada Rabb-nya
(Tuhan-nya) mereka memandang. (Al-Qiyāmah [75]: 23-24).
Orang-orang beriman yang bertakwa akan memandang kepada Rabb
(Tuhan) mereka, sambil mengharapkan memperoleh ganjaran untuk amal saleh
mereka, atau mereka akan dianugerahi mata
ruhani istimewa agar dapat melihat
Allah Swt. Penampakkan Allah Swt. akan
merupakan penjelmaan istimewa Allah Swt. yang akan disingkapkan kepada ruh manusia tidak terhalang oleh hijab duniawinya. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
کَلَّاۤ اِنَّ کِتٰبَ الۡاَبۡرَارِ لَفِیۡ عِلِّیِّیۡنَ ﴿ؕ﴾ وَ مَاۤ اَدۡرٰىکَ مَا عِلِّیُّوۡنَ ﴿ؕ﴾ کِتٰبٌ مَّرۡقُوۡمٌ
﴿ۙ﴾ یَّشۡہَدُہُ الۡمُقَرَّبُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Sekali-kali
tidak, sesungguhnya rekaman orang-orang
yang berbuat kebajikan (abrār) itu niscaya ada di dalam ‘illiyyīn, dan tahukah engkau
apa ‘illiyyūn itu?
Yaitu sebuah Kitab tertulis. Orang-orang yang didekatkan kepada Allah akan menyaksikannya. (Al-Muthaffifīn
[83]:19-23).
‘Illiyyūn
yang dianggap oleh sebagian orang berasal dari ‘ala, yang
berarti sesuatu itu tinggi atau menjadi tinggi,
maksudnya martabat-martabat paling mulia yang akan dinikmati oleh orang-orang beriman yang bertakwa. Menurut Al-Mufradat ‘illiyyūn itu
orang-orang bertakwa pilihan,
yang akan menikmati kelebihan ruhani
di atas orang-orang beriman.
Sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya, kata ‘Illiyyūn
itu dapat juga menampilkan bagian-bagian
Al-Quran yang mengandung nubuatan-nubuatan
mengenai kemajuan dan kesejahteraan besar orang-orang beriman.
Menurut Ibn ‘Abbas kata itu berarti surga
(Tafsir Ibnu Katsir), sedang Imam Raghib menganggap ‘illiyyūn itu
sebutan bagi para penghuninya.
Karena sijjīn itu mufrad (tunggal) dan ‘illiyyīn
jamak, maka nampak bahwa sementara hukuman
bagi orang-orang berdosa akan statis yakni tetap pada satu tempat,
sedangkan kemajuan ruhani orang-orang
bertakwa akan berkesinambungan tanpa rintangan dan akan mengambil bentuk
berbeda-beda. Mereka akan maju dari satu tingkat
ruhani kepada tingkat ruhani
lebih tinggi, sebagaimana tergambar dalam firman-Nya berikut ini:
یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا
تُوۡبُوۡۤا اِلَی اللّٰہِ تَوۡبَۃً نَّصُوۡحًا ؕ عَسٰی رَبُّکُمۡ اَنۡ یُّکَفِّرَ عَنۡکُمۡ سَیِّاٰتِکُمۡ وَ
یُدۡخِلَکُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ
تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ۙ یَوۡمَ لَا یُخۡزِی اللّٰہُ النَّبِیَّ
وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَہٗ ۚ
نُوۡرُہُمۡ یَسۡعٰی بَیۡنَ
اَیۡدِیۡہِمۡ وَ بِاَیۡمَانِہِمۡ
یَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَاۤ
اَتۡمِمۡ لَنَا نُوۡرَنَا وَ اغۡفِرۡ
لَنَا ۚ اِنَّکَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾
Hai orang-orang yang
beriman, bertaubatlah kepada Allah
dengan seikhlas-ikhlas taubat. Boleh
jadi Rabb (Tuhan) kamu akan menghapuskan dari kamu
keburukan-keburukanmu dan akan
memasukkan kamu ke dalam kebun-kebun
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak akan
menghinakan Nabi maupun orang-orang
yang beriman besertanya, نُوۡرُہُمۡ یَسۡعٰی بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ
بِاَیۡمَانِہِمۡ -- cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka dan di sebelah
kanan mereka, mereka akan berkata: رَبَّنَاۤ اَتۡمِمۡ لَنَا نُوۡرَنَا
وَ اغۡفِرۡ لَنَا ۚ اِنَّکَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ
-- Hai Rabb (Tuhan) kami, sempurnakanlah
bagi kami cahaya kami, dan maafkanlah
kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa
atas segala sesuatu.”(At-Tahrīm [66]:9).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 31 Maret
2014
[1] Tuhan berkuasa mengerjakan tiap sesuatu. Ya, Kitab Ilahi
mengamukakan mengenai peraturan berkenaan dengan doa, bahwa Dia memperlakukan
manusia yang shalih dengan amat kasih-sayang bagaikan seorang sahabat. Yakni,
adakalanya Dia melepaskan Kehendak-Nya Sendiri
dan mengabulkan doa orang itu , sebagaimana Dia Sendiri berfirman: "Berdoalah kepada-Ku dan Aku akan menjawab doa kamu" - QS. Al-Mu'min [40]:61). Tetapi kadangkala Dia ingin agar kehendak-Nya diikuti sebagaimana Dia berfirman: "Niscaya Kami akan menguji kamu dengan sesuatu ketakutan dan kelaparan" (Al-Baqarah [2]:156).
Hal demikian niscaya dilakukan-Nya agar
kadang-kadang Dia memperlakukan manusia sesuai dengan doanya untuk memberi
kemajuan kepadanya dalam keyakinan dan kemakrifatan. Dan
kadangkala Dia berlaku menurut kehendak-Nya Sendiri dan menganugerahkan kepada
orang itu baju kehormatan ridha-Nya serta mengangkat martabatnya serta
dengan mencintai orang itu Dia memberi
kemajuan kepadanya pada jalan petunjuk. (Pen.)