Sabtu, 06 Desember 2014

"Falsafah Ajaran Islam" & Nubuatan Al-Quran Mengenai Kebangkitan "Kaum-kaum Purbakala" di Akhir Zaman



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   369

“Falsafah Ajaran Islam” & Nubuatan Al-Quran Mengenai Kebangkitan   Kaum-kaum Purbakala” dan Para Rasul Allah di Akhir Zaman 

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam  akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan mengenai     para pelaku amal shaleh yang disebut ‘adil, firman-Nya:
اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَ یَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ  وَ الۡمُنۡکَرِ وَ الۡبَغۡیِ ۚ یَعِظُکُمۡ   لَعَلَّکُمۡ   تَذَکَّرُوۡنَ ﴿ ﴾
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat ihsan, dan  memberi  seperti kepada kaum kerabat,   serta melarang dari perbuatan keji, mungkar, dan pemberontakan.  Dia nasihat kepada kamu  supaya kamu mengambil pelajaran. (An-Nahl [16]:91).
        Selanjutnya mengenai makna ihsān -- yang merupakan tingkat kedua atau tingkat yang  lebih tinggi   -- berupa anugerah kenyataan mengenai Dzat Ilahi, yaitu para pelaku amal shaleh yang disebut ihsan  yang disebut muhsin (QS.2:113;  QS.4:126;  QS.31:23),  firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ اصۡبِرۡ وَ مَا صَبۡرُکَ  اِلَّا بِاللّٰہِ وَ لَا تَحۡزَنۡ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا تَکُ فِیۡ  ضَیۡقٍ مِّمَّا یَمۡکُرُوۡنَ ﴿﴾  اِنَّ اللّٰہَ مَعَ الَّذِیۡنَ اتَّقَوۡا وَّ الَّذِیۡنَ ہُمۡ مُّحۡسِنُوۡنَ ﴿﴾٪
Dan bersabarlah engkau, dan sama sekali tidaklah kesabaran engkau kecuali dengan pertolongan Allah.  Dan janganlah engkau bersedih atas kekafiran mereka dan janganlah dada engkau menjadi sempit karena makar buruk mereka,  اِنَّ اللّٰہَ مَعَ الَّذِیۡنَ اتَّقَوۡا وّ الَّذِیۡنَ ہُمۡ مُّحۡسِنُوۡنَ َ --   Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan. (An-Nahl [16]:128-129). Lihat pula QS.45:20-22.
        Tingkat ketiga yang lebih tinggi lagi dari muhsin disebut pelaku amal shaleh yang disebut  īyta-I dzil-qurba (memberi seperti kepada lkarib-kerabat), firman-Nya:
اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَ یَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ  وَ الۡمُنۡکَرِ وَ الۡبَغۡیِ ۚ یَعِظُکُمۡ   لَعَلَّکُمۡ   تَذَکَّرُوۡنَ 
﴿ ﴾
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat ihsan, dan  memberi  seperti kepada kaum kerabat,   serta melarang dari perbuatan keji, mungkar, dan pemberontakan.  Dia nasihat kepada kamu  supaya kamu mengambil pelajaran. (An-Nahl [16]:91).

Tiga Macam Perintah dan Tiga Macam Larangan

        Ayat ini mengandung tiga macam perintah dan tiga macam larangan, yang secara singkat membahas semua macam derajat perkembangan akhlak dan keruhanian manusia, bersama segi kebaikan dan keburukannya masing-masing. Ayat ini menganjurkan berlaku adil, berbuat baik (ihsan) kepada orang lain, dan berlaku kasih-sayang seperti terhadap  kaum kerabat; dan melarang berbuat hal yang tidak senonoh (fahsya)  berbuat keburukan (munkar) dan pelanggaran yang nyata (baghyi).
        Keadilan mengandung arti bahwa seseorang harus memperlakukan orang-orang lain seperti ia diperlakukan oleh mereka. Ia hendaknya membalas kebaikan dan keburukan orang-orang lain secara setimpal menurut besarnya dan ukurannya yang diterima olehnya dari mereka.
        Lebih tinggi dari ‘adl (keadilan) adalah derajat ihsan (kebaikan) bila manusia harus berbuat kebaikan kepada orang-orang lain tanpa mengindahkan macamnya perlakuan baik yang diterima dari mereka, atau sekalipun ia diperlakukan buruk oleh mereka. Perbuatannya tidak boleh digerakkan oleh pertimbangan-pertimbangan menuntut balas.
        Pada derajat perkembangan akhlak terakhir dan tertinggi, ialah ītā’i dzil qurbā (memberi seperti kepada kerabat), seorang beriman  diharapkan untuk berlaku baik terhadap orang-orang lain, bukan sebagai membalas sesuatu kebaikan yang diterima dari mereka (adil), begitu pun tidak dengan pertimbangan untuk berbuat lebih baik (ihsan) dari kebaikan yang ia peroleh, melainkan untuk berbuat kebaikan yang ditimbulkan oleh dorongan fitri, seperti ia berbuat baik kepada orang-orang yang mempunyai perhubungan darah yang dekat sekali.
      Keadaan  pada derajat ini serupa dengan keadaan seorang ibu yang menyusui anak yang kecintaan terhadap anak-anaknya bersumber pada dorongan fitri. Sesudah orang mukmin mencapai derajat ini perkembangan akhlaknya menjadi sempurna, yang disebut martabat An-Nafs-ul-Muthmainnah (jiwa yang tentram – QS.89:28-31).
     Ketiga derajat akhlak ītā’i dzil qurbā (memberi seperti kepada kerabat) ini merupakan segi baiknya dari perkembangan akhlak manusia. Segi buruknya digambarkan dengan tiga perkataan juga, yakni fahsyā (perbuatan yang tidak senonoh), munkar (keburukan yang nyata), dan baghy (pelanggaran keji).
        Keburukan yang disebut munkar mengandung arti,  bahwa keburukan-keburukan yang orang-orang lain juga melihat dan mengutuknya walaupun mereka boleh jadi tidak menderita sesuatu kerugian atau pelanggaran atas hak-hak mereka sendiri oleh si pelaku dosa itu.
          Akan tetapi baghy merangkum semua dosa dan keburukan, yang tidak hanya nampak, dirasakan, dan dicela oleh orang-orang lain, melainkan juga menimbulkan kemudaratan yang nyata pada mereka. Ketiga kata yang sederhana ini meliputi segala macam dosa.

Penjelasan Al-Masih Mau’ud a.s. Dalam Buku “Falsafah Ajaran Islam”:

       Sehubungan dengan  tiga tingkatan  akhlak mulia yang disebut amal shaleh  dan kebalikannya tersebut, Al-Masih Mau’ud a.s. -- Pendiri Jemaat Ahmadiyah   -- menjelaskan dalam buku beliau yang sangat monumental  Islam Ushul Ki Filasafi yang  diterjemahkan Falsafah Ajaran Islam -- (The Philosophy of The Teachings of Islam):

Bersikap “Adil”

      “Akhlak   berikutnya dari    akhlak-akhlak berbuat  kebaikan adalah   'adl (عَدْلٌ), dan yang ketiga ialah ihsān sedangkan  yang keempat adalah ītai-dzil-qurba  . Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
Yakni, Allah Ta'ala memerintahkan agar kamu   berbuat kebaikan  sebagai balasan terhadap kebaikan orang lain. Dan apabila kamu mendapat kesempatan serta memungkinkan untuk berbuat lebih dari adil maka berbuatlah ihsān  (kebajikan).  Dan apabila lebih dari  ihsān (kebajikan) kamu mendapat kesempatan serta memungkinkan berbuat baik seperti kepada kaum kerabat --  yang timbul dari dorongan thabi’i (alami) -- maka berbuatlah kebaikan dengan kasih-sayang alami.
         Allah Ta’ala melarang kamu melampaui batas-batas kewajaran, atau dalam peluang berbuat ihsān (kebajikan)  kamu menampakkan kemunkaran yang tidak diterima oleh akal. Yakni, kamu berbuat ihsaan yang tidak pada tempatnya, atau kamu tidak mau berbuat ihsān padahal  dikehendaki oleh keadaan; atau kamu agak lalai  dalam akhlak īta-i-dzil-qurba pada tempat yang sepatutnya; atau melimpahkan kasih-sayang berlebih-lebihan sampai melampaui batas (An-Nahl, 91). Di dalam  ayat suci ini diuraikan tiga derajat berbuat kebaikan:
        Derajat pertama ialah berbuat kebaikan untuk membalas kebaikan orang lain. Derajat berbuat  adil ini  merupakan derajat terendah. Serendah-rendah derajat orang sopan ia dapat pula memiliki  akhlak  ini, yakni ia berbuat kebaikan terhadap orang-orang yang telah berbuat kebaikan kepadanya.

BerbuatIhsān” (Kebajikan)

        Derajat kedua adalah lebih sulit daripada derajat pertama. Yakni pertama-tama ia sendiri  yang   berbuat kebaikan, dan  tanpa adanya hak pada seseorang ia memberikan manfaat kepada orang itu  sebagai ihsān ( اِحْساَنٌ= kebajikan). Dan ini merupakan akhlak derajat menengah.
      Kebanyakan orang berbuat kebaikan kepada orang-orang miskin. Dalam berbuat ihsaan itu  terselip suatu aib terselubung, yakni orang yang berbuat ihsaan mempunyai pikiran bahwa ia telah berbuat ihsaan, dan sekurang-kurangnya sebagai imbalan ihsān tersebut dia menginginkan ucapan terima-kasih atau doa. Dan apabila orang yang telah menerima kebaikannya itu melawan maka dia menyebut orang itu tidak tahu membalas budi. Kadangkala disebabkan oleh ihsaan-nya  seorang telah meletakkan beban yang tak terpikulkan pada orang lain dan mengungkit-ungkit ihsaan tersebut kepadanya. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman untuk memperingatkan orang-orang yang berbuat ihsaan:
لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى
Yakni, “Hai orang-orang yang berbuat ihsān (kebajikan),  janganlah kamu merusak   sedekah-sedekah kamu – yang seharusnya diberikan berdasar hati tulus  – dengan menyebut-nyebut  ihsaan (kebajikan) serta dengan menyakiti hatinya”  (Al-Baqarah, 265).
         Kata shadaqah (صَدَقَةٌ) berasal dari kata shidq  (  صِدْ قٌ= ketulusan).   Jadi jika di dalam hati tidak ada   rasa tulus serta ikhlas maka sedekah itu tidak lagi merupakan sedekah (shadaqah) melainkan suatu perbuatan  riya (pamer).  Ringkasnya, di dalam diri orang yang berbuat ihsān (kebajikan)  terdapat suatu kekurangan, yaitu kadangkala   apabila ia sedang emosi ia mengungkit-ungkit  kebaikannya. Itulah sebabnya  Allah Ta'ala memperingatkan orang-orang yang berbuat ihsān (kebajikan).

Memberi Tanpa Perhitungan Seperti Kepada Kaum Kerabat

      Derajat ketiga  berbuat kebaikan   yang telah diterangkan oleh Allah Ta'ala ialah, hendaknya jangan sampai ada anggapan telah melakukan  ihsaan (kebajikan) dan tidak mengharapkan balasan terima kasih, melainkan hendaklah kebajikan itu dilakukan atas dorongan rasa kasih sebagaimana terhadap kerabat terdekat  اِيْتَاءِ ذِيس الْقُرْبَى   (ītā’i dzil qurbā).
       Misalnya,  seorang ibu berbuat kebaikan  terhadap anaknya  semata-mata hanya karena dorongan rasa kasih. Inilah  derajat  terakhir dalam rangka berbuat kebaikan itu, yang   tidak mungkin lagi ada langkah  lebih dari itu. Akan tetapi Allah Ta'ala telah mengaitkan semua  jenis   perbuatan baik  itu  dengan   tempat dan keadaan yang tepat. 
        Di dalam ayat  tersebut di atas, telah diterangkan dengan jelas,  apabila  kebaikan-kebaikan itu  dilakukan tidak pada tempatnya masing-masing maka  akan berubah menjadi keburukan. Dari 'adl akan berubah menjadi fahsya, yaitu demikian rupa melampui batas  sehingga keadaannya berubah menjadi buruk. Demikian pula dari ihsān akan berubah menjadi munkar,  yaitu keadaan yang ditolak oleh akal dan   hati-nurani. Dan dari iitaii-dzil-qurba  akan berubah menjadi baghyu,  yaitu dorongan  rasa kasih yang tidak pada tempatnya itu akan menimbulkan keadaan yang buruk.
     Pada dasarnya yang disebut   baghyu itu adalah hujan yang turun melampaui batas dan membinasakan sawah-ladang. Atau, sikap keterlaluan yang melebihi hak semestinya  merupakan baghyu juga. Ringkasnya,   di antara ketiga derajat tersebut apabila tidak dilakukan pada tempat yang tepat akan berubah menjadi buruk  keadaannya. Untuk itulah pada  ketiga derajat tersebut telah dipersyaratkan ketepatan tempat dan keadaan.   
        Di sini hendaklah diingat,  bahwa 'adl atau ihsān atau rasa kasih  ītai-dzil-qurba    itu sendiri tidak dapat disebut  akhlak,  melainkan  itu semua merupakan keadaan-keadaan dan potensi-potensi alami di  di dalam manusia, yang juga terdapat pada diri kanak-kanak sebelum akalnya bekerja. Akan tetapi  bagi akhlak terdapat persyaratan akal, kemudian persyaratan penerapan segala potensi alami yang tepat sesuai keadaan dan tempatnya.”

Kebangkitan Kembali “Kaum-kaum Purbakala” di Akhir Zaman

    Orang-orang berdosa penghuni Sijjīn, disebabkan dosa-dosa mereka akan tetap luput dari makrifat Dzat Ilahi maka pada Hari Pembalasan mereka tidak akan melihat Wajah Allah Swt., yang merupakan “nikmat surgawi  yang sangat khusus bagi pelaku perbuatan  ihsān dan  īta-i dzil-qurba dan mereka akan dibangkitkan dalam keadaan “buta” (QS.17:73; QS.20:125-129), firman-Nya: 
عٰلِمُ الۡغَیۡبِ وَ الشَّہَادَۃِ  الۡکَبِیۡرُ الۡمُتَعَالِ ﴿﴾  سَوَآءٌ  مِّنۡکُمۡ مَّنۡ اَسَرَّ الۡقَوۡلَ وَ مَنۡ جَہَرَ بِہٖ وَ مَنۡ ہُوَ مُسۡتَخۡفٍۭ بِالَّیۡلِ وَ سَارِبٌۢ  بِالنَّہَارِ ﴿﴾  لَہٗ  مُعَقِّبٰتٌ مِّنۡۢ بَیۡنِ یَدَیۡہِ وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ  یَحۡفَظُوۡنَہٗ  مِنۡ اَمۡرِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ  لَا یُغَیِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتّٰی یُغَیِّرُوۡا مَا بِاَنۡفُسِہِمۡ ؕ وَ  اِذَاۤ   اَرَادَ  اللّٰہُ بِقَوۡمٍ سُوۡٓءًا فَلَا مَرَدَّ  لَہٗ ۚ وَ مَا لَہُمۡ  مِّنۡ  دُوۡنِہٖ مِنۡ  وَّالٍ ﴿﴾
Dia-lah Yang mengetahui yang tersembunyi dan yang nampak, Dia Maha Besar, Maha Luhur.  Sama saja dari antara kamu  siapa  yang merahasiakan perkataan-nya dan siapa yang menzahirkannya, dan begitu pula siapa yang bersembunyi pada waktu malam, dan siapa yang berjalan pada siang hari.  Untuk dia yakni rasul ada pergiliran malaikat-malaikat   di hadapannya dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. اِنَّ اللّٰہَ  لَا یُغَیِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتّٰی یُغَیِّرُوۡا مَا بِاَنۡفُسِہِمۡ  -- Sesungguhnya  Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mere-ka sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka. وَ  اِذَاۤ   اَرَادَ  اللّٰہُ بِقَوۡمٍ سُوۡٓءًا فَلَا مَرَدَّ  لَہٗ   -- Dan apabila Allah menghendaki untuk menghukum suatu kaum maka tidak ada yang dapat menghindarkannya, وَ مَا لَہُمۡ  مِّنۡ  دُوۡنِہٖ مِنۡ  وَّالٍ  -- dan tidak ada bagi mereka penolong selain dari Dia. (Ar-Rā’d [13]:10-12). 
     Kembali kepada Surah Al-Muthafiffīn  sehubungan dengan keadaan   hati orang-orang  berdosa yang     berkarat” sehingga  mereka menganggap  bahwa Al-Quran  merupakan kumpulan “dongeng kaum-kaum purbakala  belaka, mengenai hal tersebut Allah Swt. berfirman:
 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  وَیۡلٌ   لِّلۡمُطَفِّفِیۡنَ ۙ﴿﴾  الَّذِیۡنَ  اِذَا  اکۡتَالُوۡا عَلَی النَّاسِ یَسۡتَوۡفُوۡنَ ۫﴿ۖ﴾  وَ  اِذَا کَالُوۡہُمۡ  اَوۡ وَّزَنُوۡہُمۡ  یُخۡسِرُوۡنَ ﴿ؕ﴾  اَلَا یَظُنُّ  اُولٰٓئِکَ اَنَّہُمۡ مَّبۡعُوۡثُوۡنَ ۙ﴿﴾  لِیَوۡمٍ عَظِیۡمٍ ۙ﴿﴾  یَّوۡمَ یَقُوۡمُ النَّاسُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ؕ﴿﴾  کَلَّاۤ  اِنَّ  کِتٰبَ الۡفُجَّارِ لَفِیۡ  سِجِّیۡنٍ ؕ﴿﴾ وَ مَاۤ  اَدۡرٰىکَ مَا سِجِّیۡنٌ ؕ﴿﴾  کِتٰبٌ مَّرۡقُوۡمٌ ؕ﴿﴾  وَیۡلٌ یَّوۡمَئِذٍ لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ ﴿ۙ﴾  الَّذِیۡنَ یُکَذِّبُوۡنَ بِیَوۡمِ الدِّیۡنِ ﴿ؕ﴾  وَ مَا یُکَذِّبُ بِہٖۤ  اِلَّا کُلُّ مُعۡتَدٍ اَثِیۡمٍ ﴿ۙ﴾  اِذَا  تُتۡلٰی عَلَیۡہِ  اٰیٰتُنَا  قَالَ اَسَاطِیۡرُ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ؕ﴾  کَلَّا بَلۡ ٜ رَانَ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ مَّا کَانُوۡا یَکۡسِبُوۡنَ ﴿﴾  کَلَّاۤ  اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ یَوۡمَئِذٍ لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ ﴿ؕ﴾  ثُمَّ  اِنَّہُمۡ  لَصَالُوا الۡجَحِیۡمِ ﴿ؕ﴾  ثُمَّ یُقَالُ ہٰذَا الَّذِیۡ کُنۡتُمۡ بِہٖ تُکَذِّبُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Celakalah bagi orang-orang yang mengurangi timbangan,   yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta  penuh, tetapi apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi.   Apakah mereka tidak yakin  bahwasanya mereka akan dibangkitkan,  pada suatu Hari yang besar?   Yaitu hari ketika umat manusia akan berdiri di hadapan Rabb (Tuhan) seluruh alam. کَلَّاۤ  اِنَّ  کِتٰبَ الۡفُجَّارِ لَفِیۡ  سِجِّیۡنٍ --   sekali-kali tidak, sesungguhnya  kitab para pendurhaka adalah di dalam Sijjīn. ؕ  وَ مَاۤ  اَدۡرٰىکَ مَا سِجِّیۡنٌ   --  dan apakah yang engkau ketahui,  apa  Sijjīn itu?  کِتٰبٌ مَّرۡقُوۡمٌ  --  Yaitu sebuah kitab tertulis.   وَیۡلٌ یَّوۡمَئِذٍ لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ -- Celakalah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan,   الَّذِیۡنَ یُکَذِّبُوۡنَ بِیَوۡمِ الدِّیۡنِ  -- yaitu orang-orang yang mendustakan Hari Pembalasan.  وَ مَا یُکَذِّبُ بِہٖۤ  اِلَّا کُلُّ مُعۡتَدٍ اَثِیۡمٍ  --  dan sekali-kali tidak ada yang mendustakannya kecuali setiap pelanggar batas lagi sangat berdosa. اِذَا  تُتۡلٰی عَلَیۡہِ  اٰیٰتُنَا     --   apabila Tanda-tanda Kami dibacakan kepadanya  ia berkata:  قَالَ اَسَاطِیۡرُ الۡاَوَّلِیۡنَ  -- “Al-Quran ini  dongeng orang-orang dahulu!”  کَلَّا بَلۡ ٜ رَانَ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ مَّا کَانُوۡا یَکۡسِبُوۡنَ  -- Sekali-kali tidak, bahkan  apa yang mereka usahakan telah menjadi karat pada hati mereka. کَلَّاۤ  اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ یَوۡمَئِذٍ لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ   --  Sekali-kali tidak, bahkan sesungguhnya pada hari itu mereka benar-benar terhalang dari melihat Rabb (Tuhan) mereka.  ثُمَّ  اِنَّہُمۡ  لَصَالُوا الۡجَحِیۡمِ --   kemudian sesungguhnya  mereka pasti masuk ke dalam Jahannam.  ثُمَّ یُقَالُ ہٰذَا الَّذِیۡ کُنۡتُمۡ بِہٖ تُکَذِّبُوۡنَ  -- kemudian  dikatakan: “Inilah apa yang senantiasa kamu dustakan.”   (Al-Muthafiffīn [83]:1-18).

Kebangkitan Kembali “Kaum-kaum Purbakala” di Akhir Zaman

  Dengan demikian jelaslah,  jika Allah Swt.  di dalam Al-Quran mengemukakan kisah-kisah kaum purbakala  yang kepada mereka Allah Swt. telah mengutus  para Rasul Allah   -- termasuk kisah Nabi Musa a.s. dengan Fir’aun --  bukanlah  berarti bahwa Al-Quran merupakan “dongeng kaum-kaum purbakala”, sebagaimana yang disangka atau dituduhkan oleh orang-orang yang tidak memahami kesempurnaan Al-Quran (QS.6:26; QS.8:32;  QS.16:25; QS.23:84; QS.25:6; QS27:69;  QS.46:18; QS.68:16; QS.83:13), melainkan di dalam Al-Quran  bukan saja penuh dengan  berbagai petunjuk dan hikmah serta khazanah-khazanah ilmu-ilmu pengetahuan alam  dan ilmu-ilmu  ruhani, juga di dalamnya terkandung nubuatan-nubuatan (QS.18:110; QS.31:8), termasuk nubuatan-nubuatan  mengenai kedatangan kedua kali secara ruhani Nabi Besar Muhammad saw. (QS.62:3-4), kedatangan kedua kali  secara ruhani  para rasul Allah lainnya (QS.77:12)  juga kedatangan  misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58), yaitu    dalam rangka mewujudkan kejayaan Islam yang ke dua kali di Akhir Zaman ini (QS.61:10), yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s.. atau Al-Masih Mau’ud a.s.,  yang dalam kenyataannya pendakwaan beliau sebagai Rasul Akhir Zaman mendapat penentangan keras dan zalim dari berbagai fihak, seakan-akan  di Akhir Zaman ini   kaum-kaum purbakala yang  dikisahkan dalam Al-Quran kembali terjadi (berulang) di Akhir Zaman ini, mengenai hal tersebut Allah Swt. berfirman:
اِنَّمَا تُوۡعَدُوۡنَ  لَوَاقِعٌ ؕ﴿﴾   فَاِذَا النُّجُوۡمُ  طُمِسَتۡ ۙ﴿﴾  وَ  اِذَا السَّمَآءُ  فُرِجَتۡ ۙ﴿﴾  وَ  اِذَا  الۡجِبَالُ  نُسِفَتۡ ﴿ۙ﴾   وَ  اِذَا  الرُّسُلُ  اُقِّتَتۡ﴿ؕ﴾   لِاَیِّ  یَوۡمٍ اُجِّلَتۡ ﴿ؕ﴾  لِیَوۡمِ  الۡفَصۡلِ ﴿ۚ﴾  وَ  مَاۤ   اَدۡرٰىکَ مَا یَوۡمُ الۡفَصۡلِ ﴿ؕ﴾  وَیۡلٌ  یَّوۡمَئِذٍ  لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ ﴿﴾  اَلَمۡ  نُہۡلِکِ  الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ؕ﴾  ثُمَّ  نُتۡبِعُہُمُ   الۡاٰخِرِیۡنَ ﴿﴾  کَذٰلِکَ نَفۡعَلُ  بِالۡمُجۡرِمِیۡنَ ﴿﴾  وَیۡلٌ  یَّوۡمَئِذٍ  لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya apa yang telah dijanjikan kepada kamu niscaya  akan terjadi.    Maka apabila cahaya bintang-bintang telah pudar,    dan apabila langit terbelah, dan apabila gunung-gunung dihancurkan, وَ  اِذَا  الرُّسُلُ  اُقِّتَتۡ﴿ --   dan apabila rasul-rasul didatangkan  pada waktu yang ditentukan.  لِاَیِّ  یَوۡمٍ اُجِّلَتۡ  --   hingga hari apakah ditangguhkan? لِیَوۡمِ  الۡفَصۡلِ  --  Hingga Hari Keputusan. وَ  مَاۤ   اَدۡرٰىکَ مَا یَوۡمُ الۡفَصۡلِ --  Dan apa yang engkau ketahui mengenai Hari Keputusan itu? وَیۡلٌ  یَّوۡمَئِذٍ  لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ --  Celakalah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. اَلَمۡ  نُہۡلِکِ  الۡاَوَّلِیۡنَ  --  Tidakkah Kami telah  membinasakan kaum-kaum dahulu?  ثُمَّ  نُتۡبِعُہُمُ   الۡاٰخِرِیۡنَ --  Kemudian  Kami mengikutkan mereka orang-orang yang datang kemudian. کَذٰلِکَ نَفۡعَلُ  بِالۡمُجۡرِمِیۡنَ -- demikianlah perlakuan Kami terhadap orang-orang berdosa.  وَیۡلٌ  یَّوۡمَئِذٍ  لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ -- Celakalah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.(Al-Mursalāt [77]:8-20).
  Ada pun makna  وَ  اِذَا  الرُّسُلُ  اُقِّتَتۡ  -- “dan apabila rasul-rasul didatangkan  pada waktu yang ditentukan,” yaitu ketika seorang pembaharu samawi yakni Rasul Allah datang dengan kekuatan dan jiwa  para    Rasul Allah,   seolah-olah memakai jubah-jubah mereka, yakni kedatangan Rasul Akhir Zaman  dari kalangan umat Islam (QS.61:10),  yang atas perintah Allah Swt. mendakwakan diri sebagai kedatangan kedua kali para Rasul Allah dari   setiap agama dengan nama yang berlainan, sebagaimana yang didakwakan oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s. di Akhir Zaman ini.
     Mengapa demikian? Sebab di Akhir Zaman ini seakan-akan “kaum-kaum purbakala” yang kepada mereka para Rasul Allah telah diutus (QS.7:35-37) – telah “bangkit” kembali dengan berbagai jenis keburukan  (kejahatan)  serta kesesatan yang mereka lakukan dahulu, firman-Nya:  اَلَمۡ  نُہۡلِکِ  الۡاَوَّلِیۡنَ  --  tidakkah Kami telah  membinasakan kaum-kaum dahulu?  ثُمَّ  نُتۡبِعُہُمُ   الۡاٰخِرِیۡنَ --  Kemudian  Kami mengikutkan mereka orang-orang yang datang kemudian. کَذٰلِکَ نَفۡعَلُ  بِالۡمُجۡرِمِیۡنَ -- demikianlah perlakuan Kami terhadap orang-orang berdosa.  وَیۡلٌ  یَّوۡمَئِذٍ  لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ -- Celakalah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.(Al-Mursalāt [77]:17-20).
       Oleh sebab itu tidak perlu heran jika dalam kenyatananya di Akhir Zaman ini  berbagai bentuk azab Ilahi yang pernah menimpa kaum-kaum purbakala kembali terjadi.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  21 November 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar