بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 369
“Falsafah Ajaran Islam” & Nubuatan Al-Quran Mengenai Kebangkitan “Kaum-kaum Purbakala” dan Para Rasul
Allah di Akhir Zaman
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai para pelaku amal shaleh yang disebut ‘adil,
firman-Nya:
اِنَّ
اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَ یَنۡہٰی عَنِ
الۡفَحۡشَآءِ وَ الۡمُنۡکَرِ وَ
الۡبَغۡیِ ۚ یَعِظُکُمۡ لَعَلَّکُمۡ تَذَکَّرُوۡنَ ﴿ ﴾
Sesungguhnya
Allah menyuruh berlaku adil, berbuat
ihsan, dan memberi seperti kepada kaum kerabat, serta melarang dari perbuatan keji, mungkar,
dan pemberontakan. Dia nasihat
kepada kamu supaya kamu mengambil pelajaran. (An-Nahl [16]:91).
Selanjutnya mengenai makna ihsān -- yang merupakan tingkat kedua
atau tingkat yang lebih
tinggi -- berupa anugerah kenyataan mengenai Dzat Ilahi, yaitu para pelaku amal
shaleh yang disebut ihsan yang disebut muhsin (QS.2:113;
QS.4:126; QS.31:23), firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ اصۡبِرۡ
وَ مَا صَبۡرُکَ اِلَّا بِاللّٰہِ وَ لَا تَحۡزَنۡ
عَلَیۡہِمۡ وَ لَا تَکُ فِیۡ ضَیۡقٍ مِّمَّا
یَمۡکُرُوۡنَ ﴿﴾ اِنَّ اللّٰہَ مَعَ الَّذِیۡنَ اتَّقَوۡا وَّ الَّذِیۡنَ ہُمۡ
مُّحۡسِنُوۡنَ ﴿﴾٪
Dan bersabarlah engkau, dan sama sekali
tidaklah kesabaran engkau kecuali dengan pertolongan Allah. Dan janganlah engkau bersedih atas kekafiran mereka dan janganlah dada engkau menjadi sempit karena makar buruk mereka, اِنَّ اللّٰہَ مَعَ
الَّذِیۡنَ اتَّقَوۡا وّ الَّذِیۡنَ ہُمۡ مُّحۡسِنُوۡنَ َ -- Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan. (An-Nahl [16]:128-129).
Lihat pula QS.45:20-22.
Tingkat ketiga yang lebih tinggi lagi
dari muhsin disebut pelaku amal shaleh yang disebut īyta-I
dzil-qurba (memberi seperti kepada lkarib-kerabat), firman-Nya:
اِنَّ
اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَ یَنۡہٰی عَنِ
الۡفَحۡشَآءِ وَ الۡمُنۡکَرِ وَ
الۡبَغۡیِ ۚ یَعِظُکُمۡ لَعَلَّکُمۡ تَذَکَّرُوۡنَ
﴿ ﴾
Sesungguhnya
Allah menyuruh berlaku adil, berbuat
ihsan, dan memberi seperti kepada kaum kerabat, serta melarang dari perbuatan keji, mungkar,
dan pemberontakan. Dia nasihat
kepada kamu supaya kamu mengambil pelajaran. (An-Nahl [16]:91).
Tiga Macam Perintah dan Tiga Macam Larangan
Ayat ini mengandung tiga macam perintah dan tiga macam larangan, yang secara singkat membahas
semua macam derajat perkembangan akhlak
dan keruhanian manusia, bersama segi kebaikan dan keburukannya masing-masing. Ayat ini menganjurkan berlaku adil, berbuat baik (ihsan) kepada orang lain, dan berlaku kasih-sayang seperti terhadap kaum
kerabat; dan melarang berbuat hal
yang tidak senonoh (fahsya) berbuat keburukan
(munkar) dan pelanggaran yang nyata
(baghyi).
Keadilan mengandung
arti bahwa seseorang harus memperlakukan
orang-orang lain seperti ia diperlakukan oleh mereka. Ia hendaknya
membalas kebaikan dan keburukan orang-orang lain secara setimpal menurut besarnya dan ukurannya yang diterima olehnya dari
mereka.
Lebih tinggi dari ‘adl
(keadilan) adalah derajat ihsan (kebaikan) bila manusia harus berbuat kebaikan kepada orang-orang lain tanpa
mengindahkan macamnya perlakuan baik
yang diterima dari mereka, atau sekalipun ia diperlakukan buruk oleh mereka. Perbuatannya tidak boleh digerakkan oleh
pertimbangan-pertimbangan menuntut balas.
Pada derajat perkembangan akhlak terakhir dan tertinggi,
ialah ītā’i dzil qurbā (memberi seperti kepada kerabat), seorang beriman
diharapkan untuk berlaku baik
terhadap orang-orang lain, bukan sebagai membalas
sesuatu kebaikan yang diterima dari
mereka (adil), begitu pun tidak dengan pertimbangan untuk berbuat lebih baik (ihsan) dari kebaikan yang ia peroleh, melainkan
untuk berbuat kebaikan yang
ditimbulkan oleh dorongan fitri,
seperti ia berbuat baik kepada
orang-orang yang mempunyai perhubungan
darah yang dekat sekali.
Keadaan pada derajat ini serupa dengan keadaan
seorang ibu yang menyusui anak yang kecintaan
terhadap anak-anaknya bersumber pada dorongan fitri. Sesudah orang mukmin
mencapai derajat ini perkembangan akhlaknya
menjadi sempurna, yang disebut martabat An-Nafs-ul-Muthmainnah
(jiwa yang tentram – QS.89:28-31).
Ketiga derajat akhlak ītā’i
dzil qurbā (memberi seperti kepada kerabat) ini merupakan segi baiknya dari perkembangan akhlak manusia. Segi buruknya digambarkan dengan tiga
perkataan juga, yakni fahsyā (perbuatan yang tidak senonoh), munkar
(keburukan yang nyata), dan baghy (pelanggaran keji).
Keburukan yang disebut munkar
mengandung arti, bahwa keburukan-keburukan yang orang-orang
lain juga melihat dan mengutuknya
walaupun mereka boleh jadi tidak menderita sesuatu kerugian atau pelanggaran atas hak-hak
mereka sendiri oleh si pelaku dosa
itu.
Akan tetapi baghy
merangkum semua dosa dan keburukan, yang tidak hanya nampak, dirasakan, dan dicela
oleh orang-orang lain, melainkan juga menimbulkan kemudaratan yang nyata
pada mereka. Ketiga kata yang sederhana ini meliputi segala macam dosa.
Penjelasan Al-Masih Mau’ud
a.s. Dalam Buku “Falsafah Ajaran
Islam”:
Sehubungan
dengan tiga tingkatan akhlak
mulia yang disebut amal shaleh dan kebalikannya
tersebut, Al-Masih Mau’ud a.s. -- Pendiri Jemaat Ahmadiyah -- menjelaskan dalam buku beliau yang sangat
monumental Islam Ushul
Ki Filasafi yang diterjemahkan
Falsafah Ajaran Islam -- (The Philosophy of The Teachings of
Islam):
Bersikap “Adil”
“Akhlak
berikutnya dari akhlak-akhlak berbuat kebaikan adalah 'adl (عَدْلٌ), dan yang ketiga ialah ihsān sedangkan yang keempat adalah ītai-dzil-qurba . Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
Yakni, Allah
Ta'ala memerintahkan agar kamu berbuat kebaikan sebagai balasan terhadap kebaikan
orang lain. Dan apabila kamu mendapat kesempatan serta memungkinkan untuk
berbuat lebih dari adil maka berbuatlah ihsān (kebajikan).
Dan apabila lebih dari ihsān (kebajikan) kamu mendapat
kesempatan serta memungkinkan berbuat baik seperti kepada kaum
kerabat -- yang timbul dari dorongan
thabi’i (alami) -- maka berbuatlah kebaikan dengan kasih-sayang
alami.
Allah Ta’ala melarang kamu
melampaui batas-batas kewajaran,
atau dalam peluang berbuat ihsān (kebajikan) kamu menampakkan kemunkaran yang tidak
diterima oleh akal. Yakni, kamu berbuat ihsaan yang tidak pada
tempatnya, atau kamu tidak mau berbuat ihsān padahal dikehendaki oleh keadaan; atau kamu
agak lalai dalam akhlak īta-i-dzil-qurba pada tempat yang
sepatutnya; atau melimpahkan kasih-sayang berlebih-lebihan sampai
melampaui batas (An-Nahl,
91). Di dalam ayat suci ini diuraikan
tiga derajat berbuat kebaikan:
Derajat pertama ialah berbuat kebaikan untuk membalas kebaikan
orang lain. Derajat berbuat adil ini
merupakan derajat terendah. Serendah-rendah derajat orang sopan
ia dapat pula memiliki akhlak ini, yakni ia berbuat kebaikan
terhadap orang-orang yang telah berbuat kebaikan kepadanya.
Berbuat “Ihsān”
(Kebajikan)
Derajat
kedua adalah lebih sulit daripada derajat pertama. Yakni
pertama-tama ia sendiri yang berbuat kebaikan, dan tanpa adanya hak pada seseorang ia memberikan
manfaat kepada orang itu sebagai ihsān
( اِحْساَنٌ= kebajikan). Dan ini merupakan akhlak derajat
menengah.
Kebanyakan orang berbuat kebaikan
kepada orang-orang miskin. Dalam
berbuat ihsaan itu terselip suatu
aib terselubung, yakni orang yang berbuat ihsaan mempunyai
pikiran bahwa ia telah berbuat ihsaan, dan sekurang-kurangnya sebagai
imbalan ihsān tersebut dia menginginkan ucapan terima-kasih atau doa. Dan apabila orang yang telah
menerima kebaikannya itu melawan maka dia menyebut orang itu
tidak tahu membalas budi. Kadangkala disebabkan oleh ihsaan-nya seorang telah meletakkan beban yang tak terpikulkan pada orang lain dan mengungkit-ungkit ihsaan
tersebut kepadanya. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman untuk
memperingatkan orang-orang yang berbuat ihsaan:
لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ
بِالْمَنِّ وَالْأَذَى
Yakni, “Hai
orang-orang yang berbuat ihsān (kebajikan), janganlah kamu merusak sedekah-sedekah kamu – yang seharusnya
diberikan berdasar hati tulus – dengan
menyebut-nyebut ihsaan
(kebajikan) serta dengan menyakiti hatinya”
(Al-Baqarah, 265).
Kata shadaqah (صَدَقَةٌ) berasal dari kata shidq ( صِدْ قٌ= ketulusan). Jadi jika
di dalam hati tidak ada rasa tulus
serta ikhlas maka sedekah itu tidak lagi merupakan sedekah
(shadaqah) melainkan suatu perbuatan riya
(pamer). Ringkasnya, di dalam diri orang
yang berbuat ihsān (kebajikan)
terdapat suatu kekurangan, yaitu kadangkala apabila ia sedang emosi ia
mengungkit-ungkit kebaikannya.
Itulah sebabnya Allah Ta'ala
memperingatkan orang-orang yang berbuat ihsān (kebajikan).
Memberi
Tanpa Perhitungan Seperti Kepada Kaum Kerabat
Derajat
ketiga berbuat kebaikan yang telah diterangkan oleh Allah Ta'ala
ialah, hendaknya jangan sampai ada anggapan telah melakukan ihsaan (kebajikan) dan tidak
mengharapkan balasan terima kasih, melainkan hendaklah kebajikan itu dilakukan atas dorongan rasa
kasih sebagaimana terhadap kerabat
terdekat اِيْتَاءِ ذِيس الْقُرْبَى (ītā’i dzil qurbā).
Misalnya,
seorang ibu berbuat kebaikan
terhadap anaknya semata-mata
hanya karena dorongan rasa kasih. Inilah
derajat terakhir dalam rangka berbuat
kebaikan itu, yang tidak mungkin
lagi ada langkah lebih dari itu. Akan
tetapi Allah Ta'ala telah mengaitkan semua
jenis perbuatan baik itu
dengan tempat dan keadaan
yang tepat.
Di
dalam ayat tersebut di atas, telah
diterangkan dengan jelas, apabila kebaikan-kebaikan itu dilakukan tidak pada tempatnya
masing-masing maka akan berubah
menjadi keburukan. Dari 'adl akan berubah menjadi fahsya,
yaitu demikian rupa melampui batas
sehingga keadaannya berubah menjadi buruk. Demikian pula dari ihsān
akan berubah menjadi munkar,
yaitu keadaan yang ditolak oleh akal dan hati-nurani. Dan dari iitaii-dzil-qurba
akan berubah menjadi baghyu, yaitu dorongan rasa kasih yang tidak pada tempatnya
itu akan menimbulkan keadaan yang buruk.
Pada dasarnya yang disebut baghyu itu adalah hujan yang turun melampaui
batas dan membinasakan sawah-ladang. Atau, sikap keterlaluan yang melebihi
hak semestinya merupakan baghyu
juga. Ringkasnya, di antara ketiga derajat
tersebut apabila tidak dilakukan pada tempat yang tepat akan berubah
menjadi buruk keadaannya. Untuk
itulah pada ketiga derajat tersebut
telah dipersyaratkan ketepatan tempat dan keadaan.
Di sini hendaklah diingat, bahwa 'adl atau ihsān atau rasa
kasih ītai-dzil-qurba itu sendiri tidak dapat disebut akhlak, melainkan
itu semua merupakan keadaan-keadaan dan potensi-potensi alami
di di dalam manusia, yang juga terdapat
pada diri kanak-kanak sebelum akalnya
bekerja. Akan tetapi bagi akhlak
terdapat persyaratan akal, kemudian persyaratan penerapan segala potensi
alami yang tepat sesuai keadaan dan tempatnya.”
Kebangkitan Kembali “Kaum-kaum
Purbakala” di Akhir Zaman
Orang-orang berdosa penghuni
Sijjīn, disebabkan dosa-dosa mereka akan tetap luput dari makrifat Dzat Ilahi maka pada Hari Pembalasan mereka tidak akan
melihat Wajah Allah Swt., yang
merupakan “nikmat surgawi” yang sangat khusus bagi pelaku perbuatan ihsān
dan īta-i
dzil-qurba dan mereka akan dibangkitkan
dalam keadaan “buta” (QS.17:73;
QS.20:125-129), firman-Nya:
عٰلِمُ
الۡغَیۡبِ وَ الشَّہَادَۃِ الۡکَبِیۡرُ
الۡمُتَعَالِ ﴿﴾ سَوَآءٌ
مِّنۡکُمۡ مَّنۡ اَسَرَّ الۡقَوۡلَ وَ مَنۡ جَہَرَ بِہٖ وَ مَنۡ ہُوَ
مُسۡتَخۡفٍۭ بِالَّیۡلِ وَ سَارِبٌۢ
بِالنَّہَارِ ﴿﴾ لَہٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنۡۢ بَیۡنِ یَدَیۡہِ وَ مِنۡ
خَلۡفِہٖ یَحۡفَظُوۡنَہٗ مِنۡ اَمۡرِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ لَا یُغَیِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتّٰی
یُغَیِّرُوۡا مَا بِاَنۡفُسِہِمۡ ؕ وَ
اِذَاۤ اَرَادَ اللّٰہُ بِقَوۡمٍ سُوۡٓءًا فَلَا مَرَدَّ لَہٗ ۚ وَ مَا لَہُمۡ مِّنۡ
دُوۡنِہٖ مِنۡ وَّالٍ ﴿﴾
Dia-lah Yang mengetahui yang tersembunyi dan yang nampak, Dia Maha
Besar, Maha Luhur. Sama saja dari antara kamu siapa yang merahasiakan perkataan-nya dan siapa yang menzahirkannya, dan begitu
pula siapa yang bersembunyi pada
waktu malam, dan siapa yang berjalan
pada siang hari. Untuk
dia yakni rasul ada
pergiliran malaikat-malaikat
di hadapannya dan di
belakangnya, mereka menjaganya
atas perintah Allah. اِنَّ اللّٰہَ لَا یُغَیِّرُ مَا
بِقَوۡمٍ حَتّٰی یُغَیِّرُوۡا مَا بِاَنۡفُسِہِمۡ -- Sesungguhnya Allah
tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mere-ka sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka. وَ اِذَاۤ اَرَادَ
اللّٰہُ بِقَوۡمٍ سُوۡٓءًا فَلَا مَرَدَّ
لَہٗ -- Dan
apabila Allah menghendaki untuk menghukum
suatu kaum maka tidak ada yang dapat
menghindarkannya, وَ مَا لَہُمۡ مِّنۡ
دُوۡنِہٖ مِنۡ وَّالٍ -- dan tidak ada bagi mereka
penolong selain dari Dia. (Ar-Rā’d
[13]:10-12).
Kembali kepada Surah Al-Muthafiffīn sehubungan
dengan keadaan hati
orang-orang berdosa yang “berkarat” sehingga mereka menganggap bahwa Al-Quran merupakan kumpulan “dongeng kaum-kaum purbakala”
belaka, mengenai hal tersebut Allah Swt. berfirman:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ﴿﴾ وَیۡلٌ لِّلۡمُطَفِّفِیۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ
اِذَا اکۡتَالُوۡا عَلَی النَّاسِ
یَسۡتَوۡفُوۡنَ ۫﴿ۖ﴾ وَ اِذَا کَالُوۡہُمۡ
اَوۡ وَّزَنُوۡہُمۡ یُخۡسِرُوۡنَ
﴿ؕ﴾ اَلَا یَظُنُّ
اُولٰٓئِکَ اَنَّہُمۡ مَّبۡعُوۡثُوۡنَ ۙ﴿﴾ لِیَوۡمٍ عَظِیۡمٍ ۙ﴿﴾ یَّوۡمَ یَقُوۡمُ النَّاسُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ؕ﴿﴾ کَلَّاۤ
اِنَّ کِتٰبَ الۡفُجَّارِ
لَفِیۡ سِجِّیۡنٍ ؕ﴿﴾ وَ مَاۤ اَدۡرٰىکَ مَا سِجِّیۡنٌ ؕ﴿﴾ کِتٰبٌ مَّرۡقُوۡمٌ ؕ﴿﴾ وَیۡلٌ یَّوۡمَئِذٍ لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ ﴿ۙ﴾ الَّذِیۡنَ یُکَذِّبُوۡنَ بِیَوۡمِ الدِّیۡنِ ﴿ؕ﴾ وَ مَا یُکَذِّبُ بِہٖۤ اِلَّا کُلُّ مُعۡتَدٍ اَثِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ اِذَا تُتۡلٰی
عَلَیۡہِ اٰیٰتُنَا قَالَ اَسَاطِیۡرُ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ؕ﴾ کَلَّا بَلۡ ٜ رَانَ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ مَّا کَانُوۡا
یَکۡسِبُوۡنَ ﴿﴾ کَلَّاۤ
اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ یَوۡمَئِذٍ لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ ﴿ؕ﴾ ثُمَّ
اِنَّہُمۡ لَصَالُوا الۡجَحِیۡمِ
﴿ؕ﴾ ثُمَّ یُقَالُ ہٰذَا الَّذِیۡ کُنۡتُمۡ بِہٖ
تُکَذِّبُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Aku baca
dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Celakalah bagi orang-orang yang mengurangi timbangan, yaitu
orang-orang yang apabila menerima
takaran dari orang lain mereka
meminta penuh, tetapi apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi. Apakah mereka tidak yakin bahwasanya mereka akan dibangkitkan, pada
suatu Hari yang besar? Yaitu hari ketika umat manusia
akan berdiri di hadapan Rabb (Tuhan) seluruh alam. کَلَّاۤ اِنَّ
کِتٰبَ الۡفُجَّارِ لَفِیۡ
سِجِّیۡنٍ -- sekali-kali
tidak, sesungguhnya kitab para pendurhaka adalah di dalam Sijjīn. ؕ وَ مَاۤ
اَدۡرٰىکَ مَا سِجِّیۡنٌ -- dan apakah yang engkau ketahui, apa Sijjīn itu? کِتٰبٌ مَّرۡقُوۡمٌ -- Yaitu sebuah kitab tertulis. وَیۡلٌ یَّوۡمَئِذٍ لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ -- Celakalah pada hari itu bagi orang-orang
yang mendustakan, الَّذِیۡنَ یُکَذِّبُوۡنَ بِیَوۡمِ
الدِّیۡنِ -- yaitu
orang-orang yang mendustakan Hari
Pembalasan. وَ مَا یُکَذِّبُ
بِہٖۤ اِلَّا کُلُّ مُعۡتَدٍ اَثِیۡمٍ -- dan
sekali-kali tidak ada yang mendustakannya kecuali setiap pelanggar batas lagi sangat berdosa. اِذَا تُتۡلٰی عَلَیۡہِ اٰیٰتُنَا
-- apabila Tanda-tanda
Kami dibacakan kepadanya ia berkata:
قَالَ اَسَاطِیۡرُ الۡاَوَّلِیۡنَ -- “Al-Quran
ini dongeng
orang-orang dahulu!” کَلَّا بَلۡ ٜ رَانَ
عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ مَّا کَانُوۡا یَکۡسِبُوۡنَ
-- Sekali-kali tidak,
bahkan apa yang mereka usahakan telah menjadi karat pada hati mereka. کَلَّاۤ اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ یَوۡمَئِذٍ
لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ -- Sekali-kali
tidak, bahkan sesungguhnya pada hari
itu mereka benar-benar terhalang dari melihat Rabb (Tuhan) mereka. ثُمَّ
اِنَّہُمۡ لَصَالُوا الۡجَحِیۡمِ -- kemudian sesungguhnya mereka
pasti masuk ke dalam Jahannam. ثُمَّ یُقَالُ ہٰذَا
الَّذِیۡ کُنۡتُمۡ بِہٖ تُکَذِّبُوۡنَ
-- kemudian dikatakan: “Inilah apa yang senantiasa kamu dustakan.” (Al-Muthafiffīn [83]:1-18).
Kebangkitan Kembali “Kaum-kaum
Purbakala” di Akhir Zaman
Dengan demikian jelaslah, jika
Allah Swt. di dalam Al-Quran
mengemukakan kisah-kisah kaum purbakala yang kepada mereka Allah Swt. telah
mengutus para Rasul Allah -- termasuk
kisah Nabi Musa a.s. dengan Fir’aun -- bukanlah
berarti bahwa Al-Quran merupakan “dongeng
kaum-kaum purbakala”, sebagaimana yang disangka
atau dituduhkan oleh orang-orang yang
tidak memahami kesempurnaan Al-Quran
(QS.6:26; QS.8:32; QS.16:25; QS.23:84;
QS.25:6; QS27:69; QS.46:18; QS.68:16;
QS.83:13), melainkan di dalam Al-Quran bukan saja penuh
dengan berbagai petunjuk dan hikmah serta
khazanah-khazanah ilmu-ilmu pengetahuan alam dan ilmu-ilmu
ruhani, juga di dalamnya terkandung nubuatan-nubuatan (QS.18:110; QS.31:8), termasuk nubuatan-nubuatan mengenai kedatangan
kedua kali secara ruhani Nabi
Besar Muhammad saw. (QS.62:3-4), kedatangan kedua kali secara
ruhani para rasul Allah lainnya (QS.77:12)
juga kedatangan misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58), yaitu dalam rangka mewujudkan kejayaan Islam yang ke dua kali di Akhir Zaman ini (QS.61:10), yakni Mirza
Ghulam Ahmad a.s.. atau Al-Masih Mau’ud a.s., yang dalam kenyataannya pendakwaan beliau sebagai Rasul Akhir Zaman mendapat penentangan keras dan zalim dari berbagai fihak,
seakan-akan di Akhir Zaman ini kaum-kaum purbakala yang dikisahkan
dalam Al-Quran kembali terjadi (berulang) di Akhir Zaman ini, mengenai hal tersebut
Allah Swt. berfirman:
اِنَّمَا
تُوۡعَدُوۡنَ لَوَاقِعٌ ؕ﴿﴾ فَاِذَا النُّجُوۡمُ طُمِسَتۡ ۙ﴿﴾
وَ اِذَا السَّمَآءُ فُرِجَتۡ ۙ﴿﴾ وَ اِذَا الۡجِبَالُ
نُسِفَتۡ ﴿ۙ﴾ وَ اِذَا
الرُّسُلُ اُقِّتَتۡ﴿ؕ﴾ لِاَیِّ
یَوۡمٍ اُجِّلَتۡ ﴿ؕ﴾ لِیَوۡمِ الۡفَصۡلِ ﴿ۚ﴾ وَ مَاۤ اَدۡرٰىکَ مَا یَوۡمُ الۡفَصۡلِ ﴿ؕ﴾ وَیۡلٌ
یَّوۡمَئِذٍ لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ ﴿﴾ اَلَمۡ
نُہۡلِکِ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ؕ﴾ ثُمَّ
نُتۡبِعُہُمُ الۡاٰخِرِیۡنَ ﴿﴾ کَذٰلِکَ نَفۡعَلُ
بِالۡمُجۡرِمِیۡنَ ﴿﴾ وَیۡلٌ یَّوۡمَئِذٍ
لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya apa yang telah
dijanjikan kepada kamu niscaya akan
terjadi. Maka
apabila cahaya bintang-bintang
telah pudar, dan apabila langit terbelah, dan apabila gunung-gunung dihancurkan, وَ اِذَا
الرُّسُلُ اُقِّتَتۡ﴿ -- dan apabila rasul-rasul didatangkan pada
waktu yang ditentukan. لِاَیِّ یَوۡمٍ اُجِّلَتۡ -- hingga hari
apakah ditangguhkan? لِیَوۡمِ الۡفَصۡلِ -- Hingga Hari
Keputusan. وَ
مَاۤ اَدۡرٰىکَ مَا یَوۡمُ
الۡفَصۡلِ -- Dan apa
yang engkau ketahui mengenai Hari
Keputusan itu? وَیۡلٌ یَّوۡمَئِذٍ
لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ -- Celakalah
pada hari itu bagi orang-orang yang
mendustakan. اَلَمۡ نُہۡلِکِ
الۡاَوَّلِیۡنَ -- Tidakkah Kami
telah membinasakan kaum-kaum dahulu? ثُمَّ نُتۡبِعُہُمُ
الۡاٰخِرِیۡنَ -- Kemudian
Kami mengikutkan mereka
orang-orang yang datang kemudian. کَذٰلِکَ
نَفۡعَلُ بِالۡمُجۡرِمِیۡنَ -- demikianlah perlakuan
Kami terhadap orang-orang berdosa. وَیۡلٌ یَّوۡمَئِذٍ
لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ -- Celakalah pada hari itu bagi orang-orang
yang mendustakan.(Al-Mursalāt [77]:8-20).
Ada pun makna وَ
اِذَا الرُّسُلُ اُقِّتَتۡ -- “dan apabila rasul-rasul didatangkan pada
waktu yang ditentukan,” yaitu ketika seorang pembaharu samawi yakni Rasul
Allah datang dengan kekuatan dan jiwa
para Rasul Allah, seolah-olah memakai jubah-jubah mereka, yakni kedatangan Rasul Akhir Zaman dari
kalangan umat Islam (QS.61:10), yang atas perintah
Allah Swt. mendakwakan diri sebagai kedatangan kedua kali para Rasul Allah
dari setiap agama dengan nama yang berlainan, sebagaimana yang didakwakan oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s. di Akhir Zaman ini.
Mengapa demikian? Sebab di Akhir Zaman ini seakan-akan “kaum-kaum purbakala” yang kepada mereka
para Rasul Allah telah diutus
(QS.7:35-37) – telah “bangkit”
kembali dengan berbagai jenis keburukan (kejahatan) serta kesesatan
yang mereka lakukan dahulu, firman-Nya: اَلَمۡ نُہۡلِکِ
الۡاَوَّلِیۡنَ -- tidakkah Kami
telah membinasakan kaum-kaum dahulu? ثُمَّ نُتۡبِعُہُمُ
الۡاٰخِرِیۡنَ -- Kemudian
Kami mengikutkan mereka
orang-orang yang datang kemudian. کَذٰلِکَ
نَفۡعَلُ بِالۡمُجۡرِمِیۡنَ -- demikianlah perlakuan
Kami terhadap orang-orang berdosa. وَیۡلٌ یَّوۡمَئِذٍ
لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ -- Celakalah pada hari itu bagi orang-orang
yang mendustakan.(Al-Mursalāt [77]:17-20).
Oleh sebab itu tidak perlu heran jika dalam kenyatananya di Akhir Zaman ini berbagai bentuk azab Ilahi yang pernah menimpa kaum-kaum purbakala kembali terjadi.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 21 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar